Ini adalah cerita tentang temanku, juga cerita tentang ibunya.
Cerita
ini berasal dari sebuah desa yang jauh, desa yang terpencil, sewindu
lalu ibukota kabupatennya pun sama sekali tak tertulis dalam peta
provinsi. Cerita ini berasal dari lubuk hatiku yang jauh, hatiku yang
dalam, yang telah lama terpahat kokoh di sana.
Ini
adalah cerita tentang temanku, juga cerita tentang ibunya. Aku hanya
mewakili temanku lewat tulisan. Sebab itu, tokoh aku di sini kita
maksudkan adalah seorang temanku. Bila kita telah bersepakat, ceritanya
ini kumulakan.
Ia
adalah segalanya untukku, untuk adik-adikku dan aku. Beliaulah selama
ini yang tak henti-henti menyemangati kami untuk terus belajar menimba
ilmu.
“Tuntutlah ilmu sampai hilangnya napasmu,” katanya.
Suami
ia—ayah kami, telah lama berpulang menghadap Ilahi semenjak aku masih
kecil. Saat itu aku baru saja akan memasuki sekolah dasar, ia bercerita
padaku suatu waktu.
Sepeninggal
ayah kami, ia tetap melanjutkan pekerjaan mereka sebagai seorang
petani. Seorang pekerja tani pada sebuah sawah sewaan, sawah ladang
berpindah. Ia bekerja seorang diri.
Sebelum merah fajar menyingsing, ia telah melangkahkan kaki menuju ladang tani. Dengan berhias terindak
di kepala, baju berlengan panjang, rambut kusut yang disanggul—serta
memikul keranjang reot yang berisi: buntalan makanan, sebilah parang
tumpul ukuran sedang, sebotol besar air kemasan yang isinya telah didaur
ulang (dengan air Sungai Musi), beberapa buah pakaian ganti, dan kaleng
merah bertutup hitam yang berisikan jarum—gunting kuku—kancing
baju—benang putih; semuanya di dalam keranjang reot itu.
Ia
berjalan memijak basah rerumput pinggir jalan yang usai bercinta dengan
embun semalam, dan kala senja menghampar sesaat sebelum azan magrib
barulah ia akan pulang. Ia pulang melewati jalanan yang sama. Kelelahan
sudah pasti.
Bilakah
sore wajah jalanan itu tak lagi serupa seperti pagi: kotor dan berdebu.
Debu-debu itu tidaklah diciptakan oleh mobil atau motor sebab tak ada
mobil atau motor yang melewati jalanan itu, namun oleh hewan-hewan
ternak yang di gembala liar—juga oleh gerobak tani pengangkut padi.
Anak-anak
akan meloncat riang hingga copot giginya bila kemudian ada motor yang
melewati jalanan itu. Mereka akan meloncat sembari berteriak, “Hey,
kawan-kawan… Ada gerobak setan. Bisa jalan sendiri tanpa ditarik, tidak
pula dorong!!
Bila
senja telah menyusup, saban malam ia selalu tidur larut untuk membuat
kue. Dengan hanya bercahayakan sinar lampu duduk bergoyang tak tenang
(tertiup angin malam yang menerobos bilik dinding bambu dapur kami yang
renggang) ia tetap semangat menciptakan kue. Kue ciptaan ia akan aku
jajakan keliling kampung pagi-pagi esoknya, sebelum berangkat sekolah
pastinya.
Begitulah
rutinitas ia setiap hari bila sedang aktif musim tani. Di kampung kami,
tidak setiap saat—sepanjang tahun makhluk yang berlabel petani akan
pergi ke sawah. Setelah merencam, masa
menyemai anakan padi, para petani yang termasuk juga ia hanya perlu
sesekali lagi saja pergi ke sawah guna menengok tanamannya itu;
memastikan tumbuh sesuai harapan.
Demikianlah
sederhananya kuriwayatkan pekerjaan ia sebagai ibuku. Pekerjaan dalam
sebelum merah fajar menyingsing, pekerjaan dalam saban pekat malam,
pekerjaan dalam yang begitu, selalu dalam begitu ceritanya, hampir akan
selalu...
Ibu.
Ibuku bernama Maroya. Waktu aku kecil Ibu memiliki geraian rambut
sepinggang, hitam bulu gagak, lurus namun tak lembab. Bolamatanya tak
jauh beda dengan kebanyakan mata orang-orang susah: terlihat berat,
hanya ketegarannya yang nyata dan sangat menyala itulah bedanya. Kulit
Ibu berwarna coklat terbakar sebagaimana layaknya kulit seorang petani
dan tentulah saja tidak akan halus mulus; banyak goresan-goresan luka
pada lengan—tangan Ibu. Luka itu, kukira mungkin karena tangan Ibu
tergores daun padi atau mungkin rumput berdaun tajam yang kerap menjadi
gulma di lahan pertanian : Imperata cylindrica, mungkin juga sebab goresan papan, keong di sawah, atau mungkin… Entahlah…
Yang pasti begitulah ibuku.
Ibuku.
Ibu lahir di sebuah desa yang bernama Air Itam, sebuah desa yang
terletak di Penukal Timur—Pendopo, Kabupaten Muara Enim, 53 tahun silam.
Bersama keluarga yakni almarhum kakek dan nenek, ibuku pergi
meninggalkan tanah kelahiran untuk merantau hingga akhirnya menetap di
Desa Lumpatan (1976, kampung kelahiranku ini masih merupakan sebuah desa
Swadaya).
Waktu
mereka merantau kala itu, kata Ibu, umurnya baru sekitar 18 Tahun. Tiga
tahun setelah menetap di Desa Lumpatan ini Ibu berkenalan dengan Ayah,
dan satu tahun kemudian mereka pun bersepakat untuk menikah. Aku adalah
buah kasih dari cinta mereka yang pertama setelah dua tahun pernikahan.
Sedih dan sayangnya aku, ayahku itu meninggal saat aku masih berusia
kanak hingga tak banyak kasihnya yang sempat kuingat.
Sebelum
kita lanjut, aku ingin memperkenalkan sekilas mengenai daerah
kelahiranku itu: Lumpatan, nama ini merupakan sebuah desa yang ada di
Kabupaten Mahalaya dari keseluruhan total 213 jumlah desa yang ada di
sana sekarang. Kabupaten Mahalaya memiliki luas wilayah 14. 265, 96
kilometer kubik, ditinjau dari Geografi, letak Kabupaten Mahalaya antara
1,30 – 40 Lintang Selatan dan 1030 – 1050 Bujur Timur, yang terbentang
di bagian tengah Negeri Batanghari Sembilan sampai bagian Timur. Zaman
dahulu, sekitar puluhan hingga belasan tahun yang lalu, Lumpatan masih
berupa pemukiman yang terbelakang.
Setelah
ayahku itu meninggal, tentu Ibu lah yang menjadi imam di rumah kami.
Ibu yang mencari nafkah untuk kami. Keluarga kami hidup dalam
kesederhanaan, miskin kata para tetangga. Ganyang
kata mereka pada Laysia. Namun, ibuku adalah wanita yang sangat lembut,
tegar, sabar dan penyayang. Meski keadaan hidup kami pas-pasan, tetapi
Ibu selalu saja ingin menyisihkan seperempat penghasilannya saban minggu
untuk bersedekah.
“Apa-apa
yang kita peroleh ini hanyalah titipan Yang Maha Kuasa, Nak!! Di dalam
rizki kita itu terdapat hak orang lain. Banyak-banyaklah memberi kelak
Tuhan akan mengasihi !!” Ujar Ibu ketika suatu kesempatan aku bertanya kenapa ia masih bisa-bisanya untuk bersedekah dalam keadaan sulit seperti itu.
Ibuku
itu… Ibuku itu memanglah begitu. Baginya, hidup ini tidaklah lebih dari
hanya sekedar permainan. Ia tidak pernah berpikir untuk serius mengejar
kesenangan duniawi. Ia juga tak pernah ambil hati bila terkadang kami
dihina. Cukuplah bisa lelap di malam dingin, ada nasi dalam belanga,
keluarga sehat tak punya hutang, jangan pernah mengusili orang lain agar
hati terasa tenteram (kalau orang mengusili kita itu urusan Tuhan),
karunia hidup sempurna bagi Ibu.
Sebagai anak aku ingat betul semua tentang Ibu. Masa-masa kecilku, katakanlah remajaku.
Dahulu,
bilakah libur sekolah seperti hari Minggu, aku terkadang pergi ikut Ibu
ke sawah. Sekedar ingin tahu cara bertani dan bercanda dengan alam.
Hampir
50 menit (mungkin juga terkadang lebih) jalan kaki kami lalui agar bisa
tiba di sawah kami, sawah sewaan kami. Keluar rumah, pergi ke arah
jalan belok Selatan, jalan kaki di atas jalanan tanah, jalan kaki
menyusuri pinggiran jalan yang berumput dan basah, menuju pinggiran Desa
Lumpatan, lalu menyeberang jalan dan masuk ke dalam daerah hutan,
menyusuri daerah hutan, ada jembatan dari gabungan dua batang pohon
kelapa, terus berjalan, keluar hutan, menyusuri jalan tanah yang keras
tanpa angkutan, jalannya kecil dan semakin mengecil, kemudian tiba di
areal persawahan, lewati dua petak sawah orang… kemudian kita akan tiba
di sawah kami. Menyenangkan. Melelahkan. Tersisa hanya kenangan.
Kenangan yang nantinya juga akan hilang bersama matiku, barangkali.
Ibuku,
Ibuku sangat aku sayangi. Ia tidak pernah berputus asa dalam berjuang
untuk menyekolahkan kami. Pekerjaan apa saja, asal halal Ibu lakoni demi
melihat buah hatinya bisa pergi mencari mutiara di sekolah. Ibuku,
beliau pernah bekerja menjadi pengangkong, tukang pikul papan—untuk
mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup kami anak-anaknya. Ibu juga
pernah menjadi kuli angkut pasir waktu itu, kala musim tani sedang
renggang. Semuanya hanya demi kami, dan demi kami anak-anaknya.
Karena
itulah bagaimana kutak menyayangi Ibu, bagaimana aku tak mencintai Ibu.
Mati-matian saat SMA aku berjuang agar bisa menjadi lulusan terbaik
Se-Kabupaten. Semua kulakukan dengan harapan agar aku bisa sukses dan
Ibu tak dihina lagi, dan Ibu tak berlelah lagi. Dan dalam singkat cerita
kemudian aku berhasil. Aku mendapatkan panggilan beasiswa untuk
melanjutkan pendidikan pada sebuah universitas ternama di negeri ini.
Dengan segala yang kami miliki aku pun berangkat untuk kuliah
(sebenarnya aku memaksa karena awalnya ibuku kurang berkenan). Akhirnya
Ibu mengijinkan. Walau berat hati aku meninggalkan ibu; berat hati ibu
melepaskanku.
Tak
perlu kurincikan bagaimana beratnya perjuangan hidupku waktu di kota,
bahkan terkadang aku mengamen bercucur peluh keliling jalan. Meski
memang mendapatkan beasiswa, namun jujur aku tak bisa segalanya
menggantungkan diri dari uang itu. Aku anak pertama, juga harus membantu
keluarga. Maka dari itu aku memang harus bekerja (namun tetap dengan
prinsipku: Halal). Apa pun kulakukan agar dapat mencukupi kebutuhan
hidupku; keluargaku, demi mimpi-mimpiku; keluargaku. Berusaha aku
berusaha membantu Ibu membiayai hidup kami. Dan tidak sampai empat tahun
kuliah aku menyelesaikan studiku, cumlaude.
Berkat kerja keras Ibu kini kami semua anak-anaknya bisa menjadi ‘orang’.
Kami tiga saudara. Adik pertamaku yang laki-laki itu telah berhasil
menjadi seorang PNS di Kabupaten, dan adik keduaku yang perempuan,
setahun lalu ia baru saja diangkat sebagai seorang guru tetap pada
sebuah SMP di desa kami (sekarang desa kami telah lumayan berkembang).
Terkadang, sering aku terkenang akan petuah-kata Ibu dahulu, “Tidaklah berputus kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka yang berusaha!!”
Rasanya,
semua kenangan yang terentang ini seperti baru saja kemarin terjadi.
Tuhan ya Tuhan, tak kusangka semua ini akan terjadi begitu cepat. Ibu,
aku sangat menyayangi Ibu. Tahu aku tahu persis bagaimana semua lelah
dan derita Ibu. Tanpanya, manalah mungkin seorang anak petani itu bisa
menjadi arsitek besar negeri ini. Hingga anak itu bisa menjadi orang
yang hebat. Hingga ia bisa berkarir dan sukses. Hingga adik-adiknya tak
dihina lagi. Hingga tak ada yang mencacimaki lagi. Hingga tak perlu
mengamen lagi, dan tidak disebelahmatakan lagi.
Kini
anak itu… Oh, keluarga itu telah menjadi makhluk yang berlabel hebat di
wajahnya. Bagaimana bisa kusia-siakan semua jerih keringat wanita itu.
Meski sekarang ia tak lagi ada di sini. Aku sayang dan akan selalu
sayang pada Ibu. Beristirahatlah dengan tenang Ibunda kasihku…
Putrimu
ini akan selalu mencintaimu dan juga anak-anakmu yang lain. Biar
kumenangis jauh darimu di sini. Biar aku sendiri mendekap sepi dan
rindu. Ya, memang beginilah kan hati kita, Ibu? Hati lembut para wanita
yang memang cenderung menggunakan otak kanan. Lelah, sedih serta hanya
kenangan. Kenangan yang nanti juga akan hilang bersama matiku. Namun,
biarlah hidup cerita ini. Biarlah aku hanya sekedar ingin.
“Tuhan,
kutitip Ibu dan Ayah padamu! Kuikhlaskan dengan semua rindu serta
sayangku. Tolong cintai dan jaga mereka sebab Engkaulah Maha Segala.
Damailah di sana bersama cinta kami dan cintamu ibu.”
Cerita ini berasal dari desa yang jauh. Dari seorang gadis manis temanku…***
Sekayu, Januari 2011
-
Dimuat Sastra Digital Edisi Desember 2011 / http://www.sastradigital.com/herdoni-syafriansyah