Senin, 28 Oktober 2013

PERLIP

Ini adalah cerita tentang temanku, juga cerita tentang ibunya. 

Cerita ini berasal dari sebuah desa yang jauh, desa yang terpencil, sewindu lalu ibukota kabupatennya pun sama sekali tak tertulis dalam peta provinsi. Cerita ini berasal dari lubuk hatiku yang jauh, hatiku yang dalam, yang telah lama terpahat kokoh di sana. 

Ini adalah cerita tentang temanku, juga cerita tentang ibunya. Aku hanya mewakili temanku lewat tulisan. Sebab itu, tokoh aku di sini kita maksudkan adalah seorang temanku. Bila kita telah bersepakat, ceritanya ini kumulakan. 

Ia adalah segalanya untukku, untuk adik-adikku dan aku. Beliaulah selama ini yang tak henti-henti menyemangati kami untuk terus belajar menimba ilmu.
“Tuntutlah ilmu sampai hilangnya napasmu,” katanya. 

Suami ia—ayah kami, telah lama berpulang menghadap Ilahi semenjak aku masih kecil. Saat itu aku baru saja akan memasuki sekolah dasar, ia bercerita padaku suatu waktu. 

Sepeninggal ayah kami, ia tetap melanjutkan pekerjaan mereka sebagai seorang petani. Seorang pekerja tani pada sebuah sawah sewaan, sawah ladang berpindah. Ia bekerja seorang diri. 

Sebelum merah fajar menyingsing, ia telah melangkahkan kaki menuju ladang tani. Dengan berhias terindak di kepala, baju berlengan panjang, rambut kusut yang disanggul—serta memikul keranjang reot yang berisi: buntalan makanan, sebilah parang tumpul ukuran sedang, sebotol besar air kemasan yang isinya telah didaur ulang (dengan air Sungai Musi), beberapa buah pakaian ganti, dan kaleng merah bertutup hitam yang berisikan jarum—gunting kuku—kancing baju—benang putih; semuanya di dalam keranjang reot itu. 

Ia berjalan memijak basah rerumput pinggir jalan yang usai bercinta dengan embun semalam, dan kala senja menghampar sesaat sebelum azan magrib barulah ia akan pulang. Ia pulang melewati jalanan yang sama. Kelelahan sudah pasti. 

Bilakah sore wajah jalanan itu tak lagi serupa seperti pagi: kotor dan berdebu. Debu-debu itu tidaklah diciptakan oleh mobil atau motor sebab tak ada mobil atau motor yang melewati jalanan itu, namun oleh hewan-hewan ternak yang di gembala liar—juga oleh gerobak tani pengangkut padi. 

Anak-anak akan meloncat riang hingga copot giginya bila kemudian ada motor yang melewati jalanan itu. Mereka akan meloncat sembari berteriak, “Hey, kawan-kawan… Ada gerobak setan. Bisa jalan sendiri tanpa ditarik, tidak pula dorong!!

Bila senja telah menyusup, saban malam ia selalu tidur larut untuk membuat kue. Dengan hanya bercahayakan sinar lampu duduk bergoyang tak tenang (tertiup angin malam yang menerobos bilik dinding bambu dapur kami yang renggang) ia tetap semangat menciptakan kue. Kue ciptaan ia akan aku jajakan keliling kampung pagi-pagi esoknya, sebelum berangkat sekolah pastinya. 

Begitulah rutinitas ia setiap hari bila sedang aktif musim tani. Di kampung kami, tidak setiap saat—sepanjang tahun makhluk yang berlabel petani akan pergi ke sawah. Setelah merencam, masa menyemai anakan padi, para petani yang termasuk juga ia hanya perlu sesekali lagi saja pergi ke sawah guna menengok tanamannya itu; memastikan tumbuh sesuai harapan. 

Demikianlah sederhananya kuriwayatkan pekerjaan ia sebagai ibuku. Pekerjaan dalam sebelum merah fajar menyingsing, pekerjaan dalam saban pekat malam, pekerjaan dalam yang begitu, selalu dalam begitu ceritanya, hampir akan selalu... 

Ibu. Ibuku bernama Maroya. Waktu aku kecil Ibu memiliki geraian rambut sepinggang, hitam bulu gagak, lurus namun tak lembab. Bolamatanya tak jauh beda dengan kebanyakan mata orang-orang susah: terlihat berat, hanya ketegarannya yang nyata dan sangat menyala itulah bedanya. Kulit Ibu berwarna coklat terbakar sebagaimana layaknya kulit seorang petani dan tentulah saja tidak akan halus mulus; banyak goresan-goresan luka pada lengan—tangan Ibu. Luka itu, kukira mungkin karena tangan Ibu tergores daun padi atau mungkin rumput berdaun tajam yang kerap menjadi gulma di lahan pertanian : Imperata cylindrica, mungkin juga sebab goresan papan, keong di sawah, atau mungkin… Entahlah… 

Yang pasti begitulah ibuku. 

Ibuku. Ibu lahir di sebuah desa yang bernama Air Itam, sebuah desa yang terletak di Penukal Timur—Pendopo, Kabupaten Muara Enim, 53 tahun silam. Bersama keluarga yakni almarhum kakek dan nenek, ibuku pergi meninggalkan tanah kelahiran untuk merantau hingga akhirnya menetap di Desa Lumpatan (1976, kampung kelahiranku ini masih merupakan sebuah desa Swadaya). 

Waktu mereka merantau kala itu, kata Ibu, umurnya baru sekitar 18 Tahun. Tiga tahun setelah menetap di Desa Lumpatan ini Ibu berkenalan dengan Ayah, dan satu tahun kemudian mereka pun bersepakat untuk menikah. Aku adalah buah kasih dari cinta mereka yang pertama setelah dua tahun pernikahan. Sedih dan sayangnya aku, ayahku itu meninggal saat aku masih berusia kanak hingga tak banyak kasihnya yang sempat kuingat. 

Sebelum kita lanjut, aku ingin memperkenalkan sekilas mengenai daerah kelahiranku itu: Lumpatan, nama ini merupakan sebuah desa yang ada di Kabupaten Mahalaya dari keseluruhan total 213 jumlah desa yang ada di sana sekarang. Kabupaten Mahalaya memiliki luas wilayah 14. 265, 96 kilometer kubik, ditinjau dari Geografi, letak Kabupaten Mahalaya antara 1,30 – 40 Lintang Selatan dan 1030 – 1050 Bujur Timur, yang terbentang di bagian tengah Negeri Batanghari Sembilan sampai bagian Timur. Zaman dahulu, sekitar puluhan hingga belasan tahun yang lalu, Lumpatan masih berupa pemukiman yang terbelakang. 

Setelah ayahku itu meninggal, tentu Ibu lah yang menjadi imam di rumah kami. Ibu yang mencari nafkah untuk kami. Keluarga kami hidup dalam kesederhanaan, miskin kata para tetangga. Ganyang kata mereka pada Laysia. Namun, ibuku adalah wanita yang sangat lembut, tegar, sabar dan penyayang. Meski keadaan hidup kami pas-pasan, tetapi Ibu selalu saja ingin menyisihkan seperempat penghasilannya saban minggu untuk bersedekah. 

“Apa-apa yang kita peroleh ini hanyalah titipan Yang Maha Kuasa, Nak!! Di dalam rizki kita itu terdapat hak orang lain. Banyak-banyaklah memberi kelak Tuhan akan mengasihi !!” Ujar Ibu ketika suatu kesempatan aku bertanya kenapa ia masih bisa-bisanya untuk bersedekah dalam keadaan sulit seperti itu. 

Ibuku itu… Ibuku itu memanglah begitu. Baginya, hidup ini tidaklah lebih dari hanya sekedar permainan. Ia tidak pernah berpikir untuk serius mengejar kesenangan duniawi. Ia juga tak pernah ambil hati bila terkadang kami dihina. Cukuplah bisa lelap di malam dingin, ada nasi dalam belanga, keluarga sehat tak punya hutang, jangan pernah mengusili orang lain agar hati terasa tenteram (kalau orang mengusili kita itu urusan Tuhan), karunia hidup sempurna bagi Ibu. 

Sebagai anak aku ingat betul semua tentang Ibu. Masa-masa kecilku, katakanlah remajaku.

Dahulu, bilakah libur sekolah seperti hari Minggu, aku terkadang pergi ikut Ibu ke sawah. Sekedar ingin tahu cara bertani dan bercanda dengan alam. 

Hampir 50 menit (mungkin juga terkadang lebih) jalan kaki kami lalui agar bisa tiba di sawah kami, sawah sewaan kami. Keluar rumah, pergi ke arah jalan belok Selatan, jalan kaki di atas jalanan tanah, jalan kaki menyusuri pinggiran jalan yang berumput dan basah, menuju pinggiran Desa Lumpatan, lalu menyeberang jalan dan masuk ke dalam daerah hutan, menyusuri daerah hutan, ada jembatan dari gabungan dua batang pohon kelapa, terus berjalan, keluar hutan, menyusuri jalan tanah yang keras tanpa angkutan, jalannya kecil dan semakin mengecil, kemudian tiba di areal persawahan, lewati dua petak sawah orang… kemudian kita akan tiba di sawah kami. Menyenangkan. Melelahkan. Tersisa hanya kenangan. Kenangan yang nantinya juga akan hilang bersama matiku, barangkali. 

Ibuku, Ibuku sangat aku sayangi. Ia tidak pernah berputus asa dalam berjuang untuk menyekolahkan kami. Pekerjaan apa saja, asal halal Ibu lakoni demi melihat buah hatinya bisa pergi mencari mutiara di sekolah. Ibuku, beliau pernah bekerja menjadi pengangkong, tukang pikul papan—untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup kami anak-anaknya. Ibu juga pernah menjadi kuli angkut pasir waktu itu, kala musim tani sedang renggang. Semuanya hanya demi kami, dan demi kami anak-anaknya. 

Karena itulah bagaimana kutak menyayangi Ibu, bagaimana aku tak mencintai Ibu. Mati-matian saat SMA aku berjuang agar bisa menjadi lulusan terbaik Se-Kabupaten. Semua kulakukan dengan harapan agar aku bisa sukses dan Ibu tak dihina lagi, dan Ibu tak berlelah lagi. Dan dalam singkat cerita kemudian aku berhasil. Aku mendapatkan panggilan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pada sebuah universitas ternama di negeri ini. Dengan segala yang kami miliki aku pun berangkat untuk kuliah (sebenarnya aku memaksa karena awalnya ibuku kurang berkenan). Akhirnya Ibu mengijinkan. Walau berat hati aku meninggalkan ibu; berat hati ibu melepaskanku. 

Tak perlu kurincikan bagaimana beratnya perjuangan hidupku waktu di kota, bahkan terkadang aku mengamen bercucur peluh keliling jalan. Meski memang mendapatkan beasiswa, namun jujur aku tak bisa segalanya menggantungkan diri dari uang itu. Aku anak pertama, juga harus membantu keluarga. Maka dari itu aku memang harus bekerja (namun tetap dengan prinsipku: Halal). Apa pun kulakukan agar dapat mencukupi kebutuhan hidupku; keluargaku, demi mimpi-mimpiku; keluargaku. Berusaha aku berusaha membantu Ibu membiayai hidup kami. Dan tidak sampai empat tahun kuliah aku menyelesaikan studiku, cumlaude

Berkat kerja keras Ibu kini kami semua anak-anaknya bisa menjadi ‘orang’. Kami tiga saudara. Adik pertamaku yang laki-laki itu telah berhasil menjadi seorang PNS di Kabupaten, dan adik keduaku yang perempuan, setahun lalu ia baru saja diangkat sebagai seorang guru tetap pada sebuah SMP di desa kami (sekarang desa kami telah lumayan berkembang). Terkadang, sering aku terkenang akan petuah-kata Ibu dahulu, “Tidaklah berputus kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka yang berusaha!!”
Rasanya, semua kenangan yang terentang ini seperti baru saja kemarin terjadi. Tuhan ya Tuhan, tak kusangka semua ini akan terjadi begitu cepat. Ibu, aku sangat menyayangi Ibu. Tahu aku tahu persis bagaimana semua lelah dan derita Ibu. Tanpanya, manalah mungkin seorang anak petani itu bisa menjadi arsitek besar negeri ini. Hingga anak itu bisa menjadi orang yang hebat. Hingga ia bisa berkarir dan sukses. Hingga adik-adiknya tak dihina lagi. Hingga tak ada yang mencacimaki lagi. Hingga tak perlu mengamen lagi, dan tidak disebelahmatakan lagi. 

Kini anak itu… Oh, keluarga itu telah menjadi makhluk yang berlabel hebat di wajahnya. Bagaimana bisa kusia-siakan semua jerih keringat wanita itu. Meski sekarang ia tak lagi ada di sini. Aku sayang dan akan selalu sayang pada Ibu. Beristirahatlah dengan tenang Ibunda kasihku… 

Putrimu ini akan selalu mencintaimu dan juga anak-anakmu yang lain. Biar kumenangis jauh darimu di sini. Biar aku sendiri mendekap sepi dan rindu. Ya, memang beginilah kan hati kita, Ibu? Hati lembut para wanita yang memang cenderung menggunakan otak kanan. Lelah, sedih serta hanya kenangan. Kenangan yang nanti juga akan hilang bersama matiku. Namun, biarlah hidup cerita ini. Biarlah aku hanya sekedar ingin. 

“Tuhan, kutitip Ibu dan Ayah padamu! Kuikhlaskan dengan semua rindu serta sayangku. Tolong cintai dan jaga mereka sebab Engkaulah Maha Segala. Damailah di sana bersama cinta kami dan cintamu ibu.” 

Cerita ini berasal dari desa yang jauh. Dari seorang gadis manis temanku…***

Sekayu,  Januari 2011
-
Dimuat Sastra Digital Edisi Desember 2011 /  http://www.sastradigital.com/herdoni-syafriansyah

Jumat, 28 Desember 2012

Fiksimini Herdoni Syafriansyah

Belajar Bikin Fiksimini
 Dunia yang Terjungkal

—Filosofi Bolakaki
Pesepak bola itu benar-benar memaknai bolakaki. Tidak kena bola ia menendang kaki.

—Cermin
Wanita itu memperkosa dirinya sendiri.

—Sesal
Kembalikan perawan nenekku.

—Doa yang Menipu
“Tuhan sekiranya dompetku kembali, akan kusedekahkan sebagian uang di dalamnya”. Setelah dompetnya kembali, ia pun meloncat girang … Hore!! Tuhan tertipu.

—Nekad
Sebab cintanya tak kesampaian, ia protes pada Tuhan dan minta tandatangan persetujuan.

—Ilusi
Lelaki itu mabuk berat. Ia marah dan kesal melihat kucing yang terus mengeong di rumahnya. Setelah ia menyembelih makluk mengeong itu, ternyata itu adalah anaknya.

—Kau dan Aku
Engkau datang di tengah malam. Mengetuk-ngetuk pintu. Mencari kepalamu yang tertinggal. Lalu kuberikan kepala nenekku.

—Kesulitan Stok
Ia menggorok leher kambing dan mengambil darahnya, guna menyelamatkan nyawa anaknya yang pendarahan akibat kecelakaan.

—Teknik Membela Diri
Untuk kesekian kali playboy itu kedapatan selingkuh. “Sumpah sayang, dia bukan siapa-siapa. Bila aku berbohong, potonglah kepalaku …,” sang gadis menimbang ragu, lalu pemuda itu mendesis sangat kecil … “potonglah kepala ku … cingku.”

—Menyelamatkan Diri
Tampomas terbakar, ia menerjunkan dirinya ke dalam api

—Yang Harus Dibasmi
Di sela-sela pidatonya seorang pejabat berujar, “daerah kita harus menjadi daerah yang aman dan makmur. Seluruh perusuh dan penyengsara rakyat harus kita basmi”. Selesai berucap, ia pun tewas tertembak.

—Pocong
Selesai bermake-up, pocong itu pergi ke pasar malam. “Hai … Aku cantik sekali ‘kan? ...” katanya kepada setiap orang, tetapi semua orang pada berlari dan pingsan.

—Psikopat
Karena lapar, ular itu memakan habis tubuhnya sendiri hingga taring dan kepalanya pun tiada bersisa.

—Ending Bahagia
Setelah mempertemukan kekasihnya dengan pria idamannya. Pemuda itu tewas tertabrak mobil. Sedang gadis itu lekat berpeluk mesra bersama prianya. Sungguh ending yang bahagia.

—Doa
Selalu diucapkan senin pagi, “Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.” Sebab itulah hingga kini ia tak dapat masuk ke dalam. Hanya diantar dan di doakan sebatas pintu gerbang ...

—Menulis Peribahasa
Mengidamkan kambing yang tak terbeli, satenya pun akhirnya jadi.

—Teka-Teki
Kalimat buntung dilempar setan bunting?

—Pintu

Anggota Dewan itu, didalam KTP kerjanya tani.

—Cinta Gila
Karena tak ingin orang yang ia cintai dimiliki oleh orang lain, maka sang gadis itu pun terpaksa membunuh siapa saja yang berusaha mendekati dan mencintai dirinya, termasuk keluarganya sendiri yang mencintai dirinya.

—Kami Kesasar
Kami kesasar, seorang perempuan tua di pinggir jalan menatap nanar. “Bu, maaf! Kalau mau ke ‘sini’ kami lewat mana? Perempuan tua itu tetap diam menatap kami nanar, hati kami semakin tak enak. Lalu seorang gadis kecil muncul dari dalam rumah, “Om …, Om, maaf, Ibu ini sudah lama gila!”

—Di Sebuah Kompleks Perumahan
Datang tiba-tiba …, “Berapa kamu dibayar untuk memotong rumput halaman rumah ini?” Sejenak terpana lalu pria itu berkata, “Dua puluh ribu!”. “Besok, kamu potong rumput halaman rumahku, empat puluh ribu!” dan lelaki itupun ngeloyor berlalu. Sang pria tajam menatap lelaki itu menahan muak. Setelah meludah ia berkata, “Besok, kupastikan mengusirmu dari kompleks perumahan milikku ini. Dasar bedebah!”

—Bertandang
Sebuah Peribahasa menyatakan : “rumah seorang kawan tak pernah terasa jauh”. Tapi, kalau jalannya becek dan buruk, tetap terasa jauh juga.

—Sampai Mati
“Tak perlu kamu berusaha, rejeki tidak kemana-mana ...”
... dan pria tua itu pun melarat sampai mati.

—Cintaku yang Malang
Katanya, cinta sejati adalah cinta pada pandangan pertama? ... Maka malang sekali nasib diriku yang buta.

—Amnesia
Suatu malam yang sangat malam menjelang pagi yang sangat pagi, ia menemukan istrinya tewas di dalam rumahnya yang berselimut gelap. Bertahun-tahun ia menyimpan lekat dendam dan mencari-cari siapa pelakunya. Tanpa ia sadar, sesungguhnya orang yang ia cari adalah dirinya sendiri.

—Ingin Pergi
Seluruh keluarganya kini bermuram. Bocah SD itu ingin menjadi bintang kelas. Lalu ia pergi dan tak pulang-pulang. Sebelum pergi, ia sempat pamit pada kakaknya. “Kak, aku ingin pergi ke langit menjadi bintang,” katanya.

—Jalan Tak Sampai
Sudah seminggu kau linglung berkelana mencari rumah dan istrimu. Namun di rumah, istri dan sebagian keluargamu lainnya, sesungguhnya telah ikhlas menerima kematianmu akibat ambruknya jembatan itu.

(Sekayu, Oktober – Desember 2011)

Cat :
Fiksimini merupakan suatu bentuk cerita rekaan (fiksi) dalam format yang sangat ringkas. Digagas dan dipopulerkan oleh Agus Noor (Cerpenis / Sastrawan Indonesia). Fiksimini berusaha menceritakan seluas mungkin dunia, dengan seminim mungkin kata. Ibarat dalam tinju, fiksimini serupa satu pukulan yang telak dan menohok.

Rabu, 14 Desember 2011

Ratih

Dalam dekapan gigil di malam pekat, seorang wanita menerobos aral penuh nekat. Lidah petir menjilat-jilat. Tinjuan guntur memecah angkasa gelap. Langit yang gulita sekilas berkejap-kejap. Kilat dan guntur turun lagi. Paras wanita itu sesekali tercuri. Wajahnya tegar bagai matahari, namun sungguh tiada berseri. Ia terlihat letih. Wanita itu masih muda. Umur sekitar duapuluhdua. Dan, ia terus melangkah …

Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Hujan mencucuri bajunya basah. Hujan membuat tubuhnya basah. Langit tersapu sepi tanpa bintang. Gigil menghempas menusuk tulang. Dingin mendekap alang kepalang. Jalanan yang tampak samar. Lolongan anjing yang lamat-lamat terdengar. Hitam yang memar. Kelopak jalan yang beriak. Jalanan berlubang yang terinjak. Air yang berkecipak. Angin yang berkesiuran. Daun gugur sepenuh jalan. Pepohonan yang sekilas terlihat. Pepohonan tepi jalan yang sekilas terlihat oleh kilat. Reranting yang berderak. Reranting yang patah. Hujan, gelap, sepi, dingin ….

***
Malam begitu mencekam. Suara tangisan itu menjadi-jadi. Malam begitu mencekam. Tangisan itu menyayat-nyayat hati. Sebuah kesedihan yang menyatu dengan suram tangis hujan. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Ia menatap ke arah luar. Hujan begitu derasnya. Memang tidak jelas sebab gelap, namun bunyinya begitu kuat. Ia menatap ke arah luar melalui bilik jendela kamar rumah kayunya. Ia menatap dengan nanar. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Sebentar-sebentar ia menatap lagi. Jelas sekali kini ia tengah menanti. Jelas sekali ia kini tengah menanti seseorang.

Malam begitu mencekam. Dari dalam gubuk yang kecil itu kini suara tangisan tersebut semakin menjadi-jadi. Tangisan seorang bayi. Wanita itu tengah menanti seseorang. Ia cemas secemas-cemasnya. Sejak malam kemarin lakinya pergi dan belum juga kembali. Sejak malam kemarin suaminya pergi dan hingga malam ini belum juga pulang. Dada wanita itu berdebar-debar keras. Tangisan bayi itu menjerit-jerit keras. Hati mereka sama-sama cemas.

Malam begitu mencekam. Sejauh mata memandang hanyalah gelap yang tampak di luar sana. Sesekali kilat yang menyambar menunjukan rupa ciptaan Tuhan. Dalam kilas cahaya itu, dia berharap bayang suaminya akan segera muncul memecah pekat malam. Sebenarnya, ia bukan mencemaskan perihal keadaan suaminya. Sebenarnya, ia tidak terlalu mencemaskan keadaan suaminya. Namun, yang ia pikirkan adalah keadaan putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Sejak pukul empat sejak sore tangisnya tak putus-putus, sedang hujan tak kunjung jua reda.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia ingin pergi mencari suaminya ke luar. Tetapi, kemanakah ia akan mencari di malam pekat serta hujan begini? Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia kembali menatap putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Bayi itu terlihat pucat dan menangis. Andai tidak sedang menangis, bayi itu akan terlihat begitu manis, alisnya tipis wajahnya simetris. Badannya mungil berselimutkan kain tebal yang lembut. Kain itu menutupi seluruh tubuhnya, hanya wajah dengan mata mungil yang menangis dan mulut kecilnya yang menjerit terlihat. Ibunya mendekat, mengusap dan mencium keningnya. Gadis mungil itu diam sejenak. Badan gadis kecil itu panas, ia terkena demam. Badan gadis kecil itu panas, pastinya ia terkena demam yang lumrah dialami bayi.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Bilakah tidak segera diobati ia takut akan terjadi apa-apa pada anaknya. Apakah ada yang dapat menjamin akan baik-baik saja anaknya tanpa diobati? Ratih, ibu bayi ini pun tak tahan lagi berdiam diri. Ia beranjak menuju lemari membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di sana guna mencari barangkali ada uangnya yang terselip, tersisa di sana. Ratih, ibu bayi ini pun tak bisa lagi berdiam diri. Ia kembali membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di lemari guna mencari barangkali ada sisa uangnya yang terselip, di sana. Meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja sama; meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja nihil ...

Ratih lelah, ia melangkah meletakkan kembali pantatnya di muka kasur berseprai putih yang lusuh itu. Ratih lelah, ia duduk di samping anaknya yang sedari tadi terus saja menangis tak henti. Ratih kembali mengecup kening anaknya. Mata gadis kecil itu begitu bening …

Ratih mendesah, ia merenung menggamit bibir. Matanya menerawang menatap ke atas. Jelas sekali kalau Anda perhatikan, atap rumah mereka sudah banyak yang berlubang. Air jatuh sesukanya berkecipak ke dalam rumah. Angin yang berhembus pelan begitu keramat pastilah akan membuat kuduk menjadi dingin dan merinding. Bila ia terus menghayati maka terbayang olehnya saat setahun lebih yang lalu.

Bermula pada sebuah acara pesta perkawinan temannya di kampung seberang, Ratih berkenalan dengan seorang pemuda. Pemuda itu sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang pemuda yang memang berbudi sangat baik. Satu bulan setelah perkenalan itu mereka telah resmi berpacaran.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Berulang kali kedua orangtua Ratih berusaha menasihati, mengingatkan anaknya itu bahwa sesungguhnya lelaki tersebut tidaklah benar-benar baik seperti apa yang terlihat padanya.

“Ratih, pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Ibu punya teman di dusun seberang yang persis tetangga dekatnya. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Kamu carilah lelaki yang lain saja, Ibu lebih setuju jika kamu dekat sama ustad Somad-anaknya Haji Afsya- syukur-syukur kamu bisa jadi mantunya Haji Afsya. ‘Kan Ayah dan Ibu jadinya bisa bangga itu punya mantu seorang Ustad.”

Ratih hanya terdiam. Telah khatam ratusan kali Ayah dan Ibunya menasehati, mengingatkan kepada dirinya bahwa lelaki itu tak baik – tak baik – selalu saja tak baik, namun Ratih tak pernah percaya dan tetap tak pernah mau mendengar. Akhirnya ia pun mengajak kekasihnya itu untuk kawin lari.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Ratih tak lagi peduli akan kata orangtuanya, ia merasa ia yang paling tahu dan juga pikirnya ia yang akan menjalani hidupnya itu. Sekiranya nanti akan ada masalah, biarlah itu menjadi masalah dan tanggungjawabnya.

Dua bulan setelah pernikahan ratih pun mengandung. Suaminya yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu pun makin bertambah menyayanginya. Sekarang mereka tinggal pada sebuah desa pemekaran yang baru berkembang, delapanpuluh kilometer jaraknya dari desa mereka yang dahulu.

Setelah mereka menikah dua bulan lalu, mereka menyewa sebuah gubuk ala kadarnya di desa kediaman mereka tersebut. Lelaki yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan memang seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu belum mendapatkan pekerjaan. Sehari-hari mereka menyambung hidup dengan hanya mengandalkan sisa uang dari hasil menjual perhiasan-perhiasan emas Ratih.

Menjelang usia kehamilan yang menginjak bulan kedelapan lelaki itu tetap saja belum mempunyai pekerjaan—bertani ia tak mau, berkebun juga ia tak mau—sehari-hari kerjanya hanya memancing atau menghilang dari rumah entah kemana. Namun, ia pernah pulang dengan senyuman bangga seraya memamerkan segenggam uang yang ia bilang dari hasil menjual ikan pancingan, tapi pernah pula ia kembali dengan raut muka semrawut seolah-olah baru saja tertimpa kesialan yang paling maha sial.

Hari-hari menyulam hari, waktu tak pernah mundur dan berhenti. Tibalah masanya Ratih melahirkan. Dengan dibantu oleh seorang dukun beranak di kampung setempat, bayi mungil itu lahir dengan selamat. Seorang bayi perempuan yang begitu manis: alisnya tipis, rambutnya tipis, kulitnya bersih klimis, matanya mungil bola tenis, wajahnya simetris, perpaduan yang sungguh harmonis. Manis … Manis … Manis … sangat manis!

Sekarang, ia kembali mendesah, menggamit bibir. Matanya menatap si mungil itu. Satu hari setelah ia melahirkan si mungil itu suaminya selalu keluyuran malam. Ia tak tahu dan tak berniat mencampuri urusan suaminya. Ia juga tak tahu persis kemana tujuan suaminya. Namun, kata orang-orang, suaminya suka nongkrong di pos ronda ujung desa. Kumpul-kumpul kata orang. Sekarang ia cemas secemas-cemasnya. Sudah sejak malam kemarin suaminya pergi dan belum juga kembali. Ia tak lagi punya persediaan uang. Persediaan susu anaknya yang terakhir pagi tadi telah habis. Dan anaknya kini terus menangis, sedang ASI-nya hanya mampu membuat bayi itu diam sekejap. Mungkin, bayi itu memang tak terlalu lapar. Mungkin ia menangis karena demam, karena panas badannya. Namun Ratih tak punya uang untuk membeli obat, untuk membawanya ke Puskesmas di kota. Hatinya kini cemas secemas-cemasnya.

“Aku harus mencari suamiku, ia harus tahu keadaan anaknya. Meski mungkin ia juga sedang tak punya uang, tapi aku percaya ia pasti bisa mengusahan solusinya. Yang jelas, ia harus tahu dulu bagaimana keadaan putrinya.”

Sejauh mata memandang hanyalah gelap. Ratih membulatkan tekad menjemput suaminya. Ia bingung harus kemana melangkahkan kaki, mencari suaminya di malam hujan begini, namun setidaknya dari pos ronda ia akan mengawali. Anaknya telah tertidur, mungkin kelelahan menangis, mungkin demam telah memberatkan matanya hingga ia lekas tertidur. Wajah anak itu pulas dan damai, namun ia terlihat malang.

Wanita itu keluar seorang diri. Tanpa payung. Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Ia berharap segera bertemu dengan suaminya. Tiba-tiba ia teringat keluarganya, ia teringat akan Ayah dan Ibu. Lalu muncul pikiran-pikiran liar, muncullah perkataan-perkataan, “pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Pria itu bukan pria baik, Nak. Dia suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk juga. Bukan pria baik, Nak! Bukan! ...”

Pikiran-pikiran itu menjadi sangat mengganggu. Entah kenapa kemudian Ratih merasa kepalanya terasa sangat menyut. Ia berjalan sempoyongan. Hujan, gelap, sepi, dingin … melintaslah wajah anaknya yang terlihat sangat malang. Tiba-tiba, Ratih merasa sangat ingin sekali membunuh suaminya. ***

(Sekayu, Mei – Oktober 2011) Herdoni Syafriansyah

ESOK KITA SELALU BERSAMA

Aku ucapkan salam paling indah kepada yang
terindah yang melewati indahnya gugur pelangi di senja hari.

Apa kabar dirimu di sana? ...

Apakah kau tahu … Jujur, aku merinduimu di setiap detik tergelar. Di sepenuh galau lalau waktu, rindu ini berdenyut ngilu nyesak mendesak ingin bertemu.

Apakah pernah kau merasakan rindu yang begitu berat seperti halnya rinduku kepadamu?

Sungguh, sekedar menatap manis rona wajahmu pada foto ini saja telah begitu menghangatkan aliran rasa cintaku. Andai saja engkau ada di sini, akan kupaut erat jari jemarimu yang lembut itu. Akan kurangkul engkau masuk ke dalam rumah hati kita, dan kupersilahkan kau duduk pada seliri merah itu, lalu kupandangi engkau puas-puas agar pupus beban rinduku. Bila sekiranya saja mata ini dapat memandang langsung keanggunan dirimu, maka pasti bermekarlah kelopak kuncup rindu hari-hari hatiku yang menunggu. Tetapi malang, semua ini seakan begitu sulit sekarang.

Perlip cintaku. Barangkali … bersamaku ada banyak sekali lara yang dikau rasa, ada banyak duka yang menyiksa. Dan setiap kali dulu kita bertemu, setiap kali aku menatap kamu, kenapa ya yang selalu tampak darimu itu hanyalah senyum, selalu saja senyum. Kau seolah tak pernah ada keluh, tak pernah ada susah. Kasihsayangmu terasa amat besar kepadaku, dan kasihsayangmu yang senantiasa hadir itu benar-benar telah membuat aku tertawan. Makhluk terkejam pun pasti akan tertawan bila disayangi, apalagi aku ini.

Dari sini aku membayangkan bening matamu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku serasa teduh dan damai bagai selingkup dedaunan yang mendamaikan bumi kala panas. Kasih sayang semulia halimun surga yang engkau berikan dan kesetiaanmu yang hadir dengan kepulan romansa merah muda itu adalah suatu kemestian yang terus membakar semangatku, membakar harap yang akan dan harus kita wujudkan: harapan indah bahagia bersama seorang kekasih yang mencintai dan yang kita cintai.

Gadisku, maafkan aku bila ada lara yang tergurat di hatimu. Akh, seharusnya tak perlu kutulis: bila ada, sebab tentunyalah pasti ada. Hanya saja, ya … wanita memang makhluk yang paling pandai menyembunyikan rasa. Rasa cinta, rasa sakit, rasa lara, rasa rindu, rasa ini, rasa itu … dan bermacam-macam rasa hati lainnya yang selalu pandai untuk kalian sembunyikan. Aku sendiri terkadang berpikir, darimana ya kalian bangsa wanita belajar semua itu?

Cinta … maafkan aku yang mungkin penuh lemah, penuh luka di tubuh ini. Ya Sayang, kadang-kadang terlintas juga di benakku bahwa mungkin ayahmu itu benar. Aku mungkin memang tak sepantas dengan peri seindah dirimu. Seelok kamu dan semanis kamu. Kamu seorang calon dokter muda yang punya masa depan cerah, sementara aku … hanyalah seorang penulis tak dikenal yang sekedar menambatkan hidupnya pada angan, dan berharap dapat membuatmu selalu bahagia kelak waktu. Oh ya, sehabis ini kau juga berniat melanjutkan studimu menuju spesialis pediatri, ‘kan? Astaga, memang apalah artinya aku ini dibandingkan dengan dirimu. Andai seandainya bukan karena kepercayaan dan keseriusan dirimu padaku, niscayalah aku tak akan sanggup bertahan.

Sabar ya Sayang!... Nanti kita pasti bersama. Sabar! Nanti kita akan terbang bahagia selaksa sepasang merpati yang membawa surat ini. Riang seperti merekalah kita pastinya nanti.

Dahulu, tiga tahun yang lalu kita berjumpa, tanpa sengaja— atau tepatnya Tuhan memang menyengaja. Aku tengah tamasya ke negerimu. Pada sebuah halte di depan kampusmu. Hari hujan, tajam menikam, kau berteduh dan akupun berteduh. Waktu itu kursi panjang di halte itu telah penuh. Siapapun yang baru datang seperti aku mau tidak mau pilihannya berdiri. Kau juga telah berdiri duluan. Kita berdiri bersampingan. Awalnya kita sama-sama tak saling memedulikan. Namun, kemudian entah sebab kenapa kau menoleh pandang padaku; aku menoleh kepadamu: mata kita beradu tatap.

Kau tersenyum manis, sangat manis, betapa sangat manis yang tentu saja kubalas dengan senyuman manis, sangat manis, dan betapa sangat manis pula. Lalu ada yang membuka suara, entah siapa. Kita pun memulai obrolan ringan, dan kemudian entah sebab kenapa kita berdua bisa segera menjadi akrab. Sepertinya, ai … bukan, aku yakin Tuhan memang menyengaja.

Sayang, aku di sini telah sangat lama menantimu. Merindui kamu. Menanti untuk dapat bertemu. Untuk dapat segera menatap senyuman manis di atas dagu tirusmu. Cuap-cuap lucu seorang dara yang teramat teduh di hati teruna pecintanya.

Telah begitu lama aku tidak melihat senyummu sesudah terakhir senja itu kita bersua. Pertemuan terakhir kita sebelum ini di kala senja yang indah dengan tebaran cahaya kasih sayang yang merona berbinar. Andai seandainya hidup tidak pernah punya masalah, alangkah cerianya paras megah semesta yang indah ini.

Sayangku, aku sangat dan sangat sayang padamu!! Mungkinkah adanya kita bisa menuntaskan mimpi-mimpi indah kita ini?! Mimpi indah akan hidup yang menyenangkan. Mimpi indah berdamping di pelaminan. Mimpi menjadi keluarga yang bahagia. Keluarga yang indah Perlipku.

Setelah sekian tahun waktu berlalu dari hari ini, ketika putra kita mulai mengucapkan kata ‘Mama’ kepadamu, saat kita bersama-sama melihat lucu-lucunya ia belajar berjalan, suap demi suap kasih sayang selalu dan terus selalu kau berikan kepadanya. Pada saat itu hidup kita telah berjalan indah, sungguh telah berjalan sangat indah. Kau bahagia, aku bahagia. Kita bahagia bersama-sama.

Mengapa aku memimpikannya? Sayangku, jauh di sana kau tentu telah mengerti. Betapa sudah terlalu banyak kebencian dan kekejian di dunia ini. Sudah terlalu banyak. Misalkan, lihatlah saja tentang berita-berita korupsi di teve yang tak pernah usai, tentang orang khianat yang sibuk berjanji-janji lalu tidak lagi peduli, tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang akan makin terlantar meski kata undang-undang mereka dipelihara (atau memang beginilah cara mereka memeliharanya? mungkin, kalau orang miskin habis tak akan ada lagi yang bisa dibodohi?), tentang kekerasan yang hancurkan sana hancurkan sini, tentang cerita-cerita pembunuhan, cerita-cerita perkosaan, cerita penganiayaan, cerita-cerita yang …

Akh, lupakanlah saja semuanya Sayangku. Semua cerita buruk itu tak penting karena memang hal-hal buruk itu tak perlu penting buat kita. Menurutmu, di dunia ini selain kita, apakah masih ada ya orang yang saling mengasihi dan menyayangi se-eksentrik kita? Apa iya hanya tersisa kita berdua pasangan kekasih yang benar-benar dapat tulus dan apa adanya dalam mencinta? Apakah zamannya yang sekarang telah salah ataukah kita ini yang telah salah zaman?

Kekasihku, bersamamu aku merindukan keluarga yang damai. Merindukan keluarga yang sejuk-sejuk menentramkan hati. Aku tahu Perlip pun pasti ingin begitu, iya ‘kan? Tetapi, kita berdua masih harus berjuang dan bersabar bersama ya sayang ... Jalan terjal bercuram berliku menikung masih penuh di muka kita. Untuk sementara hanya kasih sayang inilah yang bisa selalu dan akan selalu bisa kita ukirkan.

Nanti, aku dan kamu pasti bisa berlayar di atas kapal cinta kita yang indah itu, berdua kita menjadi nahkoda meski mungkin saja setiap waktu lidah-lidah ombak yang ganas selalu menderu menerjang kapal kita. Jangan sedih gadis manis. Hidup akan terasa indah kalau kita nikmati. Bersama berdua akan kita hadapi.

Hei, kamu tersenyum ya? Meski jauh darimu di sini aku tahu kamu pasti tersenyum. Hehe.. kamu memang harus begitu. Jangan pernah bersedih ya Sayang, aku bingung kalau kau bersedih. Perlip harus selalu yakin akan harapan kita, kelak di hari esok kita pasti akan bersama. Kita menikah dan pindah ke sebuah pulau paling indah yang memang sungguh sangat terindah. Pulau yang tak ada lagi tandingan indahnya di dunia ini, di semesta ini bahkan. Suatu pulau yang memiliki keindahan seindah surga di bagian terselubung kehidupan ini. Di sana nanti hanya akan ada kita: aku dan hanya kamu, juga anak-anak kita tentu. Tidak lebih dan seharusnya memang tak perlu menjadi lebih bagi kita para pecinta.

Nanti, bilakah sore menjelang kita berdua menikmati manisnya waktu. Menikmati sedapnya kebersamaan. Bersama dengan saling bersandar kita duduk di tepian pulau menatap getaran ombak yang berkecipak basah, menghirup pekat aroma laut bergaram, menjuntaikan kaki supaya terasa lebih santai, pasir-pasir yang putih, ombak berdebur menghantar mestika.

Lalu, kita juga menikmati mulus elusan angin yang sendu di pulau, menggenggam segelas cappuccino hangat lalu kita bagi berdua, tentu saja kita akan menatap pantulan indah keemasan matahari sore pada permukaan air yang terkadang lucu serupa telur buatanmu yang bergelombang, pastinya pula pada suatu sore akan turun gerimis lalu kita bermain kejar-kejaran dan tertawa dalam rinainya, mungkin pula suatu saat kita akan memancing tanpa umpan— hanya sekedar untuk menikmati kebersamaan, atau mungkin juga kita akan bersikap serius melukis kembang edelwais walau kita berdua sama-sama tak pernah bisa melukis. Haha …

Lalu sayangku kita pulang, pulang menuju gubuk dari bambu berhias bunga-bunga yang sudah aku dan kamu dirikan. Menikmati semua keadaan yang ada tanpa sepotong pun percakapan hangat yang terucap dari bibir, namun hati kita selalu mampu merasakan hangatnya.

Di sana, di pulau itu aku hanya ingin ada kita berdua yang pertama, lalu nanti keturunan kita tanpa siapapun yang lain, tanpa iblis juga inginnya. Setelah itu kita akan membangun sebuah peradaban yang baru: Peradaban Cinta Kasih. Kejahatan tidak boleh dan tidak akan pernah diajarkan di pulau kita. Andai seandainya di dunia ini tak pernah ada iblis, Sayang …

Saat-saat kamu jauh dariku seperti sekarang ini, aku minta kamu jangan terlalu berlebih ya memikirkan aku. Percayalah aku selalu baik-baik di sini. Kata seorang penyair yang bernama Afsya Kemilau, “hidup hanya mengulang kisah, menanti lelah dalam sejarah”.

Kita ini hidup hanyalah sebagai pengembaraan. Engkau hanyalah pengelana. Aku hanyalah pengelana. Kita sama-sama mengembara dalam dunia yang fana. Jiwa aku, jiwa kamu, jiwa kita ini tidaklah utuh sempurna, dan tak akan pernah bisa menjadi utuh sempurna. Maka jangan pernah kita mencari ujung pelangi. Segala kesempurnaan terkadang bukanlah jaminan hati yang bahagia, Sayangku. Kebahagian itu datang ketika kita berkenan bersyukur. Seperti aku bersyukur memilikimu.

Perlip, aku hanya ingin bahagia bersama denganmu. Cukup hanya seorang denganmu. Karenanya di sisa masa sepiku yang ada, aku akan selalu bersujud memohon berdoa kepada Tuhan. Sekiranya saja aku bisa pergi menghadap Tuhan, Sayang. Pastilah aku akan segeranya menemuinya.

Kita akan pergi bersama-sama agar semua malaikat dan bidadari tahu bahwa betapa kita berdua benar-benar saling mencintai. Pabila nanti kita sudah bertemu langsung dengan Tuhan, aku akan meminta dengan segala kerendahan hatiku agar Tuhan berkenan mempermudah hubungan kita.

Kemudian, bidadari serta malaikat yang melihat kita pasti akan turut berdoa pada Tuhan sebab haru pada kisah cinta kita. Coba sejenak pikirkan Sayang, aku yakin pertemuan pertama kita waktu itu bukanlah tanpa kesengajaan. Tuhan pasti memang merencanakannya. Oleh karena itu, bila kesusahan ini adalah mauNya, mari kita jalani saja dengan indah. Astaga, sepertinya aku ini terlalu terbawa hati hingga rasanya ada air di pelupuk mata ini.

Sungguh, betapa terjal langkah-langkah yang sudah kita lalui hingga bisa berdiri kini. Sekian tahun lebih kita mencari tujuan sama dengan sisi yang berbeda. Ai … Seandainya ayahmu itu bisa di ajak berkompromi. Aku memahami perihal rasa sayangnya kepadamu. Seumpama sebuah pelukan begitulah cara ia menyayangimu. Tetapi sedihnya adalah beliau memelukmu dengan sungguh sangat eratnya, hingga kau pun sulit untuk bernapas. Dan lebih celakanya beliau tak pernah sadar akan hal itu?

***
Sayang, tengoklah merah lembayung di ufuk kota kita ini. Entah sekian tahun ke depan apakah masih mungkin kita bisa menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang manis ini, setelah nanti akan ada banyak gedung-gedung yang berdiri dengan angkuh. Keangkuhan yang begitu buruk, yang membatasi indahnya karunia Tuhan. Keangkuhan juga selalu berusaha membatasi cinta lewat perbedaan, namun aku tahu ia tak akan pernah menang. Dari sini sayup-sayup senja telah mengaji pertanda petang ini akan berakhir, pertanda waktu masih mengalir, dan malam akan lahir, maka surat ini juga akan berhenti berakhir. Aku harus berdo’a untuk cinta kita, Sayang. Tersenyumlah. Percayalah gadisku. Esok kita selalu bersama, pasti selalu kita bersama…***

(Sekayu, April 2010 – Agustus 2011) / Dimuat Sumatera Ekpres dan Harian Muba November 2011.
-Herdoni Syafriansyah

Sabtu, 24 September 2011

Pulang

Sibak-sibak mentari menatap dunia, pelan per pelan panasnya mengikis embun sedu di pagi ini. Hari ini 7 Oktober 1991 aku akan kembali ke daerahku. Sudah lima tahun aku tidak kembali ke Sekayu, rindu aku sungguh telah begitu rindu.

Sibak-sibak mentari menatap dunia, pelan per pelan panasnya mengikis embun sedu di pagi ini. Hari ini 7 Oktober 1991, aku akan segera melunaskan rinduku. Sudah lima tahun aku tak menginjak tanah kelahiranku, rindu sungguh aku telah begitu rindu.

O ya, mungkin sebagian dari kalian merasa asing dengan nama Sekayu, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin— sekaligus menjadi ibukota Kabupatenannya. Atau ada juga yang tadinya mungkin mengira-ngira, pasti Sekayu daerah Semarang itu? Bukan, bukan daerah Semarang.

O ya, mungkin sebagian dari kalian merasa tak asing dengan nama Sekayu, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin— sekaligus menjadi ibukota Kabupatenannya. Atau ada juga yang tadinya mungkin mengira-ngira, pasti Sekayu daerah Semarang itu? Bukan, bukan daerah Semarang.

Sekayu, daerah dimana aku dilahirkan adalah nama dari sebuah kecamatan yang kemudian menjadi ibukota kabupatenan dari Musi Banyuasin, sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten yang memiliki empatbelas kecamatan.

Sekayu, daerah dimana aku dilahirkan adalah nama dari sebuah kecamatan yang kemudian menjadi ibukota kabupatenan dari Musi Banyuasin— sebuah kabupaten yang terletak di antara 1, 3 derajat sampai dengan 4 derajat Lintang Selatan dan 103 derajat sampai dengan 105 derajat 40’ Bujur Timur. Memiliki luas wilayah 14. 265, 96 km2 atau sekitar 15 % dari luas provinsi Sumatera Selatan.

Sumatera Selatan, daerah di mana Kabupaten Musi Banyuasin dilahirkan… Akh, kurasa tak perlu kita terlalu jauh menyimpang. Hari ini aku akan pulang, aku telah terlalu rindu.

***
Beberapa tahun yang lalu ada sebuah kisah cinta yang tercipta di daerah itu. Beberapa tahun yang lalu ada sebuah kisah cinta yang tercipta di daerah Sekayu. Kisah cinta seorang remaja tanggung yang jatuh hati kepada seorang gadis yang bernama Mutiara, Tara panggilannya. Kisah cinta seorang remaja belia yang jatuh hati kepada seorang pemuda yang bernama Afsya Kemilau, Afsya panggilannya.

Bak gayung bersambut pucuk cinta ulam pun sampai, mereka rupanya sama rasa. Tara pun jatuh hati kepada pemuda tanggung itu. Bak gayung bersambut pucuk cinta ulam pun sampai, mereka rupanya rasa sama. Afsya pun jatuh hati kepada gadis belia itu.

Mereka menjalin kasih dengan akur, dengan cinta kasih. Seperti kekasih dilanda cinta pada umumnya, mereka sungguh sangat berbahagia. Mereka menjalin kasih dengan akur, dengan cinta kasih. Seperti kekasih dilanda cinta pada umumnya, mereka bersama hampir tujuh tahun dan mereka hampir akan menikah. Namun …

Semenjak bertemu orang Palembang itu, aku menjadi sangat rindu pada Sekayu. Aku menjadi sangat rindu pada seorang gadis yang bernama Tara. Wanita yang seharusnya telah aku nikahi enam tahun lalu.

Semenjak bertemu Somad, orang Palembang yang pandai bermain gitar dan menyanyi itu aku menjadi sangat rindu pada Sekayu. Aku menjadi sangat rindu pada seorang gadis yang bernama Tara. Wanita yang seharusnya telah aku nikahi enam tahun lalu.

Sebab kami sama-sama orang rantauan maka kami pun cepat akrab. Sebab aku dan Somad sama-sama orang rantauan maka kami pun cepat dekat. Ia memperdengarkan aku sebuah lagu yang katanya lagu daerah Musi Banyuasin kini. Ia memperdengarkan aku sebuah lagu yang berjudul Kuyung Jauh yang katanya telah menjadi lagu daerah Musi Banyuasin kini.
Sejujurnya aku merasa tersinggung. Sejujurnya lirik lagu itu halus menyindirku.

Lagu ini sudah lama tersebar di Sekayu? Aku bertanya. Lagu itu sudah lama tersebar di Sekayu, Somad menjawab. Waktu aku pergi dahulu lagu itu belum ada. Aku bertanya siapa penciptanya … Waktu aku akan pergi setahun lalu lagu itu sudah ada, tapi tidak tahu siapa penciptanya.

Dan, kemudian lagu inilah yang terus memukulku tiap waktu untuk segera menyelesaikan kuliah dan segera melamar Tara. Lagu inilah yang setiap hari selalu menghantui pikiranku. Mengingatkan aku pada janji yang harus segera aku tunaikan akan dirinya.

:

Ngape kuyung ninggalke dusun …
Nyubo mencari di tempat ughang
Kite’ bepisah be taon-taon …
Ape dag indu di sanak kadang
Di sanak kadang ...


Akan selalu ada rindu pada setiap kepergian. Akan selalu ada nyala pada setiap kehilangan. Dan, jarak kita apakah ia saling mengucap?(2)

Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin aku tidak merindukan keluargaku? Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin aku tidak merindukan dirimu? Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin, Sayang …

Masih kecik mandi di Sungai
Batang tepian di tengah kampung
Amon cinto ngape nga laghai
Kapanke balek nag mangon kampung
Nag mangon kampung …


Setiap sore, menjelang senja matahari dengan cahaya keemasan berbinar menatap kita. Setiap sore, menjelang senja kita dengan tatapan berbinar menatap cahaya matahari keemasan. Aku dan kamu dan cintaku dan cintamu, selalu melakukan itu sebelum saling siram pada dinginnya Sungai Musi. Menghirup udara pepohonan, bersenda-gurau. Menatap dan mendengar gelak tawa ibu-ibu yang mencuci di atas batang tepian Sungai Musi. Kita berdua bersuka, bahagia bersama. Tapi, terkadang, kebersamaan itu seolah tak pernah berharga, hingga ketika kita benar-benar tak lagi bersama. Ketika itulah kita baru menyadari bahwa ada kasih sayang yang sesungguhnya benar-benar berharga.

Sanak jauh dulur pun jauh
Cuma ngunde badan sebatang
Amon kite’ samelah jauh
Atiku indu serte takenang
Serte takenang …


Kalau kita sama-sama jauh hatiku pun rindu juga terkenang. Aku terkenang manis masa-masa bersamamu. Kalau kita sama-sama jauh hatiku pun rindu juga terkenang. Setiap waktu bersamamu kurasakan wangi dalam hidupku, bagai lunas kesturi surga basah menyiram jiwaku.

Ingatlah musim Seluang mudik
Kite’ nangkul di pinggir Musi
Amon kuyung dag endak balek
Tandenye kuyung dag cinto lagi
Dag cinto Lagi ….


Aku, sekali pun kucoba berhenti tetaplah saja akan bermekar ingin ini. Aku, dalam derai-derai tapak langkahku. Air yang masih juga berkecipak lembut. Musim yang pergi akan selalu kembali. Aku di sini masih selalu menanti, bersabar dan menahan harap dalam dinding kerinduan yang terus bergaung, menggema ke seluruh penjuru pelosok-pelosok perkampungan hening jiwaku lewat lolongan dan erangan pemberontakannya.

Aku, sekali pun kucoba berhenti tetaplah saja bermekar ingin ini. Kucoba membujuk hati ini untuk bisa bersama-sama berenang mengikuti eratnya arus mengikat namun akhirnya tak bisa, aku tak bisa untuk sebuah harapan yang terus bergelolak membuncah merajai hatiku. Dengan semua kenyataan ini, maka tak perlu kau ragu lagi aku pasti kembali.

Malam ini, saat ini aku sungguh telah begitu lelah. Gerimis yang menari berguguran di luar terus saja membisiki batinku agar segera pergi ke peraduan tidur. Malam ini, saat ini aku sungguh telah begitu lelah. Dinginnya lembaran malam yang mendekapku di sini terus saja membisiki batinku agar segera pergi ke peraduan tidur.

Kutatap kering jam dinding yang tersenyum dengan sunggingnya yang terukir ke sudut kiri, sepertiga malam. Kutatap kerling jam dinding yang menggantung tepat di sudut atas tatapan bolamataku, sepertiga malam. Sepertiga malam dan bolamataku terasa sungguh sangat lelah, ingin segera kuhilangkan semua penat ini namun aku tak bisa. Aku tak bisa sebelum segala persiapan dan barang bawaan mudik ini selesai kurampungkan. Selesai kurampungkan saat ini, bilakah besok mungkin takkan sempat lagi. Harus kurampungkan saat ini, sebab aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin.

***
Aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin, menjumpai wanita yang mustinya aku nikahi enam tahun lalu. Aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin, menuju tanah yang tak pernah aku tapaki semenjak lima tahun lalu.

Aku harus segera kembali ke Sekayu, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu tahun ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu bulan ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu minggu ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu hari ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku.

Aku harus segera kembali … Aku harus segera kembali ke Sekayu tahun ini. Harus segera kembali ke Sekayu bulan ini. Segera kembali ke Sekayu minggu ini. Kembali ke Sekayu hari ini. Ke Sekayu saat ini. Aku harus segera kembali ke Sekayu, secepatnya!

Aku harus segera kembali ke Sekayu. Segera aku harus kembali, sebab aku mencintai : keluargaku, kamu, dan tanah kelahiranku.***

(Sekayu, 21 Agustus – September 2011) Herdoni Syafriansyah
-hanya sebuah cerpen sebagai kado buat Musi Banyuasin tercinta, met ultah ya-

Catatan Kaki

1.Kalimat yang bercetak miring dalam cerpen di atas adalah merupakan penggalan-penggalan dari syair lagu Kuyung Jauh. Lagu tersebut merupakan lagu daerah khas Musi Banyuasin.

2.Diambil dari salah satu penggalan puisi Herdoni Syafriansyah yang berjudul Aku Sekedar –2. Berikut versi lengkapnya :

AKU SEKEDAR ( 2 )
:Nda

masihkah engkau di sana
menanti aku
bersama petik gitar yang
pernah kuajarkan

masihkah engkau hapal eja namaku
bersama rapal abjad yang
pernah kubariskan

ternyata pertemuan
hanya menghadirkan
kehilangan
sebab, perjumpaan
sekedar mula
kepergian

masihkah di sana rambutmu terayun, Nda
bersama angin yang terurai merengkuh
kenangan

akan selalu ada rindu
pada setiap kepergian
akan selalu ada nyala
dalam setiap kehilangan
dan, jarak kita apakah ia
saling mengucap

Nda, masihkah engkau
di sana nunggui aku
bersama sepiring rindu
yang nyala
sesudah waktu
terlampau jauh
dari
sepi

Sekayu, 23 Juli 2011


-
Herdoni Syafriansyah lahir di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 7 Oktober 1991.
Ia adalah seorang muda pecinta sastra, penikmat kopi, dan penyuka pindang patin.

Rabu, 14 September 2011

Deradedapak

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Di sini, senja yang kelabu berpendar menipis tersingkir berganti pekat aroma malam. Udara yang dingin terasa mencucuk menembus hingga sumsum tulang rusuk. Perlahan kilau mulai meremang.

Meski hari mulai gelap, namun samar-samar masih bisa kulihat hijau daun jagung yang bergoyang kuyup. Enam kaki sebelah utara dari posisiku duduk santai memandang tenang. Derik-derik jangkrik sepertinya akan memulai pesta di antara damai malam hutan ladang. Langit ungu yang membentang terlukis cerah setelah sore hujan tumpah puas di daerah ini. Lampu duduk kami dinyalakan. Nyala apinya bergoyang terhembus angin. Uwak Anangku masuk ke dalam pondok. Ia selesai mandi di tepian, dari sebuah sungai kecil belakang gubuk kami.

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Kepenatan kuliah telah berakhir. Teman-teman mengajak ke Palembang, tidak aku ikuti. Aku lebih menginginkan nuansa kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan (tidak kukatakan). Kurasa suasana seperti itu lebih cocok untuk kunikmati sekarang.

Aku memang sudah tidak terlalu berlebihan lagi dalam perkara pergi jalan-jalan. Apalagi ke tempat yang tidak baru. Kalau nanti ada yang mau mengajak pergi ke sebuah kota, aku pengennya keluar provinsi. Tetapi, aku masih seorang pelajar yang belum mapan. Tentu aku tak punya banyak uang, serta juga tak punya tujuan tepat tempat yang bermanfaat. Kalau bisa, bila nanti pergi aku ingin dapat bertemu dengan seluruh –kalau bisa- sastrawan-sastrawan yang hebat.

Bilakah ada jodoh dari Tuhan, aku ingin bisa ikut Temu Sastrawan Indonesia. Sebab keadaan itulah maka libur kali ini aku memutuskan untuk sekedar bersantai ke rumah Uwak, Desa Sindu. Desa tempat Uwakku ini adalah daerah penghasil karet. Seluruh penduduk di sini menyambung hidupnya dengan menyadap karet dan berladang.

Tempat ini, Desa Sindu adalah wilayah yang masih berupa desa swadaya. Jalanan transportasinya masih berupa tanah merah dan rumah penduduk yang ada saling berjauhan, jarak terdekat mungkin sekitar 500 meter. Setiap satu rumah, dikelilingi oleh tanaman karet atau tanaman tani ataupun tanaman kebun. Sehingga, daerah ini akhirnya masih berupa sebuah hutan yang sangat luas. Hutan luas yang alamnya mengalirkan kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan.

Malam terus berjalan. Udara di sini begitu dingin. Bintang di langit satu-satu mulai muncul. Bintang kecil kedip-kedip. Paling benderang bintang utara ( bintang itu tak bergerak. Bergeming. Konstan. Semakin menyala…), aku masih duduk di teras depan memandang hamparan langit.

Di dalam pondok tak ada teve, tak ada lampu listrik, tak ada listrik, sebab di sini memang tak ada listrik… damai nuansa malam membuatku merasakan kesejukan hati.
Udara yang mengalir begitu tenang. Kalau di Sekayu, terkadang malam-malam begini, rumah-rumah mengeluarkan lantunan aneka musik. Sebelah kiri remik, kanan dangdut, di sana tembang lawas, di sini karaokean. “Ayo Bik, keong racun… Sikat…!!!”

Uwak menyuruhku masuk ke dalam. Aku menatap Uwak dengan lembut.

“Masih mau di luar, Uwak,” kataku, “biar menikmati malam”.

Tapi Uwak tak acuh, ia bersikeras agar aku harus masuk. Aku tersenyum, tak punya pilihan. Kuayunkan langkah ke dalam pondok. Tidak marah, tidak kesal, biasa saja. Lampu bergoyang meremang-remang. Bayangan pada dinding turut bergoyang. Di dalam pondok kami, Uwak Ine (sebutan kami untuk wanita istrinya Uwak Anang) rupanya sudah menghidangkan kopi panas dan singkong rebus. (Sesungguhnya aku tidaklah suka singkong, tapi aku sangat suka kopi).

Aku tersenyum menatap Uwak Ine. Jadi, ini toh pikirku alasan kenapa aku disuruh masuk? Kami duduk ala kadarnya menghampar di lantai. Uap harum mengepul saat aku mendaraskan air kopi ke dalam gelas. Gelasku terisi hingga kopinya hampir sejajar di bibir gelas.

Meski tak suka, tetap kucoba singkong itu. Kata Ibu, “kalau orang memberi harus hargai.”

Di tengah hangatnya kebersamaan kami, Uwak pun memulai percakapan. Kemudian Uwak bercerita kepadaku mengapa aku tidak boleh berada di luar pondok jika malam. Begitu mendengar, “tidak boleh berada di luar pondok jika malam”, sekejap di pikiranku terlintas wajah Si Jagur, anak ayam jago peliharaan adikku. Lalu, dengan khidmat akupun mulai mendengarkan cerita Uwak.

Maka beginilah yang ia ceritakan padaku malam itu:

Di hutan ini ada seekor makhluk yang mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh yang sama seperti manusia. Hanya saja matanya merah tajam menyala-nyala, kulitnya kuning serupa telur dan ditumbuhi duri-duri lancip yang panjang, tubuhnya setinggi balita, dan makhluk itu memiliki telapak kaki yang terbalik: tumit di depan; jari-jari kaki di belakang. Masyarakat asli sekitar menyebutnya dengan nama Deradedapak atau sekedar Derapak.

Bila malam mulai menitis, ia akan merayau manusia untuk dikunyah. Sebab itulah adalah haram bagi masyarakat Desa Sindu untuk keluar pondok kala malam. Uwak memang belum pernah melihat langsung makhluk bernama Deradedapak ini. Tetapi, begitulah turun temurun rupa kisah yang diwariskan itu. Kisah yang diwariskan kepada anak dan kepada para pendatang.

Waktu Uwak kemari satu tahun lalu pun juga diceritakan begitu. Bukankah di mana bumi dipijak di situ langit di junjung, di mana kita berada di situ kita berhukum? Lebih baik bila kita menuruti ketimbang kita melanggar larangan adat?

Uwak menyeruput kopi panasnya. Aku hanya tersenyum mengangguk. “Apa iya?” pikirku. Aku tak memercayai cerita Uwak. Bagiku dongeng perihal hantu itu tak pernah nyata. Sejak dahulu, orang-orang melayu memang terkenal ahli mendongeng.

Dahulu, waktu kecil, ibuku juga sering bercerita perihal serupa. Ia selalu bercerita padaku bermacam-macam kisah makhluk seperti— kisah hantu terang bulan, hantu gelap balam, hantu wewe magrib, hantu kemang, hantu kung, dan macam-macam kisah lainnya. Aku percaya waktu itu, tapi tidak untuk kini. Aku telah dewasa, juga mengenyam pendidikan sekolah.

Adanya jin aku percaya, tapi tak ada penjelasan ilmiah untuk semua cerita hantu tersebut. (Melainkan demi kepentingan orang tua dalam mendidik anak?). Deradedapak? Akh, itu tidaklah lebih dari hanya sekedar cerita yang diwariskan oleh orang-orang dulu, agar anaknya senantiasa berada di dalam rumah ketika gelap malam. Mungkin supaya terhindar dari bahaya hewan buas sekitar hutan. Ya, lebih baik kita pura-pura bodoh saja.

Malam merangkak perlahan. Derik jejangkrik semakin ramai berlomba-lomba. Laron-laron yang mati di sekitar temaram lampu pun semakin menumpuk. Aku merasa kantuk dan Uwak pun merasa kantuk. (Tak ada hal yang bisa dilakukan di tempat yang tak ada listrik—suasana hari yang malam—serta sempurna tidak boleh keluar pondok, kecuali tidur). Uwak Ine telah tidur, Uwak beranjak masuk ke bilik kamarnya. Dan aku pun ke kamarku.

Aku berbaring menggenggam ponsel. Mengutak-atik pilihan menunya. Biasanya saat di rumah, sebelum tidur aku selalu menyempatkan diri browsing situs-situs cerpen untuk mencari tambahan bacaan. Sekedar karena hobi dan menambah-nambah ilmu. Dan beberapa ruang bacaan yang beruntung karena sering mendapat kunjunganku, ialah: Tukang Kliping, Sriti.com, Lakonhidup. (Ya, ‘mereka bertiga’ sangat beruntung karena bisa mendapat kunjungan dari seorang calon penulis besar seperti aku).

Makin lama badan dan mataku terasa makin lelah. Tanpa listrik dan jaringan selular aku bisa apa? Ponsel kembali kusimpan pada saku celana kanan. Kantuk pelan-pelan mulai merayapi wajahku. Aku membebaskan kantuk, menguap…

Baru saja hendak lelap aku teringat sebuah buku kumpulan cerpen di dalam tas. Buku ini sebenarnya telah khatam akubaca, namun aku tak biasa tidur se ‘sore’ ini. Jam digital pada ponselku tadi, kalau aku tak salah ingat masih menunjukan angka 20.22 WIB.

Teringat akan buku itu membuat kantuk yang tadi menggelayut di kepalaku kini mendadak sirna. Bulan Celurit Api, sebuah kumcer tunggal kedua dari seorang cerpenis Sumsel bernama Benny Arnas. (Sebelum aku berangkat ke sini siang tadi, sebenarnya aku juga ingin membawa sebuah buku kumpulan sajak Eko Putra: Aku Serigala yang Merdeka Karena Cinta. Namun entah mengapa aku terlupa, aku merasa buku itu telah kumasukan ke dalam tas, namun ternyata sekarang tak ada).

Aku mengambil Bulan Celurit Api dan kembali telentang seperti tadi. Mengulang kembali membaca lembaran-lembaran cerpen dalam bukunya, bedanya sekarang aku ingin belajar untuk menganalisis karakter suatu tokoh yang ada dalam tiap-tiap cerita-cerita tersebut.

Menurutku: dengan menganalisis karakter suatu tokoh dalam suatu cerita fiksi, kita dapat belajar memahami karakter manusia secara tidak langsung, setidaknya untuk sekedar pembelajaranku yang masih tertatih-tatih dalam menulis ini. (Pendapat pertama itu aku kutip dari sebuah bacaan yang kemudian aku lupa entah di mana membacanya).

03.05
Angka penunjuk waktu yang tertera di ponselku. Aku mengucek-ngucek mataku dengan malas. Bulan Celurit Api tergeletak di samping lenganku. Tadi sepertinya aku tertidur, entah jam berapa. Aku merasa harus membuang sebagian air dalam tubuhku. Kata dokter aku mengidap nocturia, yaitu sebuah kondisi di mana penderitanya sering terbangun dari tidur untuk buang air kecil di malam hari. Aku ingin membuka pintu belakang dan kencing di luar, namun belum sempat aku menarik kunci pintu mendadak aku ingat akan cerita Uwak sebelum tidur tadi.

Tengkukku terasa merinding. Kucoba mengintip dahulu dari bilik dinding. Ada temaram yang agak terang sebab hari telah menjelang pagi. Pohon jambu klutuk yang samar. Kunang-kunang di kejauhan. Dan… tak dapat kupercaya apa yang kulihat. Jantungku berdegup kencang. Mendadak tubuhku terasa dingin. Nyaliku menciut. Kucari celah ruang di lantai, buru-buru kencing dalam ketakutan. Aku kembali berbaring berniat tidur, akan tetapi, kepanikan melebihi niatku.

***
Paginya aku melihat jejak langkah. Aku turun melalui dapur menyelidiki. Sebuah tapak yang seperti bermuara dari sungai di belakang pondok, lalu langkahnya menuju ke arah pondok, seolah berputar mengitari pondok, lalu menghilang ke arah utara kebun jagung Uwak. Aku tercenung memikirkan hal ini. Kesimpulanpun di dapat: hari itu juga aku pamit pulang ke Sekayu. (Rencanaku menginap di tempat Uwak awalnya empat hari).

Tak ada lagi malam-malam berikutnya di tempat Uwak. Ketika aku pamit dan menceritakan hal itu, kedua uwakku hanya tersenyum dan berkata kompak: menginaplah kembali di lain waktu. Aku pulang naik motorku. Jalanan tak diaspal penuh batu. Dalam hati aku hanya tertawa, dalam takut aku hanya tertawa, sungguh cerita itu...***


( Sekayu, Maret - April 2011 ) Herdoni Syafriansyah.

Selasa, 05 Juli 2011

Menunai Janji yang (Tak) Tertunai

Tidakkah gadis itu mengerti jikalau aku berjuang demi dia dan memang hanya demi dia ?

Oktober 1991

Pagi minggu, Amir yang baru saja selesai wisuda bersiap kembali menghirup udara desanya. Lima tahun sudah dirinya tak pernah kembali, tak melihat arus air desa yang bernyanyi pasang-surut. Bukan ia tak rindu sanak-saudara, bukan pula lupa kasih keluarga. Tapi demi seikat janji yang harus ditunaikan kepada orangtua pujaan. Janji pembuktian, keseriusan cinta seorang teruna kepada dara yang ingin sekali di pinangnya. Merindu agar sanggup bersanding di pelaminan kelak waktu. Gelar sarjana telah ia jabat, meski sekedar strata satu namun adalah prestasi gemilang bagi anggapan orang-orang desa Amir. Bagaimana tidak, di desa Amir, selain Pak Ipul— kades setempat— hanya kepala sekolah SMP Ayo Maju yang sanggup memajang gelar itu (tak ada SMA di desa Amir).

Berkemas Amir bersiap pulang, ia benamkan pakaiannya ke dalam tas besar yang dibawa kala merantau ke kota lima tahun lalu. Tas yang hanya bertambah lusuh di dekap waktu, tak terganti karena rezeki hasil kerja sambilannya hanya Amir manfaatkan untuk makan, membeli keperluan kuliah, dan sedikit lebih ada uang Amir luangkan untuk sedekah. Sebelum jarum jam menunjuk langit, tiga noktah di atas angka ke kiri Amir telah meninggalkan kota tersebut.

***
Merah lembayung di barat desa. Sore itu, sebuah catatan sejarah akan terhidang di kampung halaman Amir. Untuk pertama kalinya seorang dara asli desa setempat di persunting oleh seorang tentara, teristemewanya lagi tentara tersebut adalah seorang jenderal. Janur telah merunduk, tenda telah berdiri dimegahkan. Sebuah pesta terbesar, termegah nan juga termewah akan segera tercipta di kampung ini. Ibu-ibu meliuk membuat kue—memasak lauk—mengelap piring—dan sesekali meneriaki anaknya agar tidak terlalu jauh bermain, sedang para lelaki: asyik-masyuk bermain gaplek sembari menanak dan menanti masaknya air. Semua seakan begitu bersuka, begitu bahagia akan pernikahan yang akan di gelar esok tanpa sadar bahwa malam nanti adalah malam penuh lakon yang pelik.

***
Senyum mengepul berbaur tangis sembab yang meruah, tak terhindar lagi dari gurat tua wajah Aminah kala ia melihat anak laki sulungnya berdiri di muka pintu. Meski malam meremang-remang namun matanya masih pandai untuk mengenali raut cinta di wajah itu. Lima tahun sudah mereka tak bersua, tak bicara, tak memeluk, tak saling berkata “anakku-ibuku”—kini semua itu mereka khatamkan dalam pelukan, pelukan erat anak-ibu yang terpisah jarak berpaut waktu sekian lama. Pecahlah tangis mereka tak terbendung bak mendung melepas sesak gumpalan airnya yang tertahan.

“Bu, apa yang terjadi?” Seorang gadis terdengar berteriak diringi sayup-sayup berderap bunyi cepat melangkah.

“Sri… Lihatlah, Nak !! Lihat siapa yang datang ke rumah kita…”

Amir masuk ke dalam rumah kayu mereka yang telah lapuk itu. Matanya tertuju kepada seorang gadis ayu belasan tahun yang barusan berlari dan tengah berdiri menatap tajam dirinya.

“Owh… Kakak…!!” Pekik gadis itu setelah memastikan itu Amir dan langsung memeluknya.

Mereka segera bersapa kabar. Amir tersenyum mendengar riang adiknya. Ia keluarkan photo wisuda-nya beserta ijazah sarjana yang telah ia raih dari hasil perjuangan selama lima tahun. Sekiranya tidak harus bergempur dengan kerasnya hidup sendiri di kota, pastilah menjadi lulusan Cumlaude pun Amir sanggup.

“Bu, besok Amir akan ke rumah Tara. Menemui ayah dan ibunya untuk melamar Tara, lalu setelahnya Amir akan melamar kerja di kelurahan. Dengan gelar seorang sarjana pastilah Amir tak akan ditolak kerja di kelurahan.” Amir berujar disertai sumringah senyum kebahagiaan menatap keluarganya. Bahagia tak dialang tersirat di benaknya karena akan segera memetik manis ranumnya buah perjuangan yang telah sekian tahun ia tanam. Namun aneh, adik dan ibunya seperti tak menikmati kebahagiaan hatinya. Mereka hening, gigil, bisu, menunduk layu dan lesu. Amir pun menangkap keanehan rasa itu.

“Bu, ada apa ?! Tara masih hidup kan bu?!” ucap Amir pelan namun penuh desakan. Aminah terdiam, hanya menatap dalam-dalam wajah susah anaknya yang bisa ia lakukan. Tak kuasa ia jelaskan kebisuannya.

“Bu, ada apa… katakan padaku?! Kumohon bu!! Aku mohon…”

Oh!! semakin Amir mendesak, semakin bertambah pula gerimis rinai tangis di wajah Aminah, ibunya.

“Ayo bu… aku telah dewasa!! Ceritakan saja apa masalahnya!!” lagi-lagi Amir mendesak.

“Ibu, jadi rupanya Tara memang telah meninggal ya?!”

“Tidak kak, dia masih hidup. Dan mungkin sangat bahagia, tengah sangat berbahagia!!” ucap Sri yang segera memotong pembicaraan sebab tidak tega melihat kakaknya begitu tersiksa rasa keingintahuan. Satu dua detik berikutnya lepas melepaslah air mata Sri meruah di bening pipinya tak terhirau.

“Apakah ia bahagia karena telah tahu perihal kedatanganku malam ini?!”

Semua terdiam dan Amir sejenak tertegun.

“Oh… tidak !! Tak ada satu pun orang kampung ini yang tahu perihal kepulanganku hari ini. Jadi… jadi…” Amir terus berguman di dalam hati. “Adikku… tolong ceritakan sebenarnya perihal apa yang telah terjadi dan musabab apa kalian menangis dalam kebahagiaan Tara?”

“Bukan perihal bahagianya Tara yang membuat kami susah, Kak. Namun karena…” Sri tercekat, pedih semakin memerih di ceruk dingin hatinya.

“Karena apa adikku ?! Ayolah, jangan semakin kau buat bingung kakakmu yang lelah ini…”

“Besok, gadis itu akan, menikah. Dengan, seorang tentara, berpangkat Jenderal. Ya, Tara akan menikah kakakku,” ucap parau Sri terbata-bata dalam isak sedih diiringi tangis sedu sedan ibunya yang ikut memilu.

“Apa adikku, Tara akan menikah? Benarkah ?! Tidakkah gadis itu mengerti jikalau aku sedang berjuang demi ia. Kutinggalkan kampung halaman—rumah kita, demi menunai janji atas pintaan bapak-ibunya: ‘kan kusunting Tara kala aku bergelar sarjana dan telah bekerja.” Ya, adikku, itulah kata-kata yang aku ucapkan pada bapak pada ibunya atas ucapan mereka kala aku akan meminang Tara enam tahun lalu. Mereka menolakku dengan alasan takut jikalau Tara akan menderita bersamaku, karena kita miskin—sebab ayah telah tiada. Dengan kata-kata: sekiranya kau benar-benar sungguh hati pada anak kami, jadilah dahulu seorang sarjana. Bekerja dan berikan kami kepastian nafkah.

“ Sekarang… saat aku kembali, apakah ini yang harus aku dapatkan?! Telah lupakah ia akan secarik kertas yang pernah ia selipkan dalam hatiku?!” Amir berguman, “Oh… tidak !! aku harus menemui Tara!!”

Amir menurunkan tas besar yang ia sandang, diambilnya sebuah kertas yang masih terlipat rapi dari dalam kantong tas tersebut. Ia berdiri dan berusaha berlari sesegera mungkin.

“Amir!!”

Terhentilah pemilik kaki yang hendak melangkah itu mendengar ibunya memanggil.

“Kau tidak akan membuat kerusuhankan, Anakku?!”

Amir tersenyum, cukuplah senyumnya mewakili jawaban atas pertanyaan Ibu.

“Jaga diri!! kakak… ” Lirih peduli suara Sri.

Amir berlari keluar rumah. Segala daya ia kerahkan menempuh gelap malam walau tubuhnya serasa remuk tertelan lelah dan hatinya patah teriris perih. Demi cinta yang susah mati ia perjuangkan, demi kesungguhannya sebagai lelaki—sekuat tenaga Amir berlari, menghantam apapun yang menghalangi berharap secepat mungkin dapat menemui Tara. Terang bulan sebagai pemandu, dingin malam tak lagi ia peduli. Berlari dan terus berlari. Oh… masih hapal betul lelaki itu akan rumah kekasihnya yang berjarak hampir dua kilometer itu.

***
Sayup-sayup gelak tawa terdengar, keramaian orang-orang berkumpul telah terlihat. Amir mendesah berurai peluh. Sejenak lelaki itu berhenti mengatur napas, lalu kembali meneruskan langkahnya. Ia berjalan pelan dalam gelap menuju ke arah keramaian itu tapi tidak menghampirinya. Amir menghindar dari keramaian, ia menyelinap menuju ke jendela kamar dimana di sana ada seorang wanita yang tak pernah berhenti ia harapkan untuk bisa menjadi pengantinnya kelak waktu.

Tepat di samping jendela kamar Tara kini Amir berdiri. Di intipnya dari celah jendela kayu tersebut sang Kekasih tengah mewarnai kukunya bersama beberapa orang gadis desa sahabatnya. Amir mengeluarkan lipatan kertas yang ia taruh di kantung celana, lipatan kertas yang Tara berikan lima tahun lalu sebelum dirinya merantau untuk menjadi sarjana. Dengan penuh keyakinan Amir lemparkan lipatan kertas itu melalui lubang angin di atas jendela kamar Tara.

Plak...

Tepat di atas pangkuan Tara kertas itu terjatuh. Tara mengambilnya, membuka pelan lipatan kertas itu dan... berbinarlah mata gadis itu, antara pilu-haru-rindu dan bahagia-tawa-suka itulah warna yang terlukis dari rona binaran matanya. Tara menatap jendela, lalu meminta semua sahabatnya untuk keluar. Begitu semuanya pergi—segera Tara beranjak menuju jendela, membukanya dan... ya tamatlah cerita riwayat rindu mereka malam itu dalam lekat pelukan sepasang insan.

“Hey lelaki bodoh, kenapa lama sekali kau kembali?! Tak mengertikah engkau betapa berat aku menanti?! -Sergah manja Tara setelah melepas pelukannya.

Hidupku, kalaulah tidak karena menunai janji pada ayahmu—manalah mungkin aku akan pergi ke kota. Tak mengertikah engkau betapa pedih-perih hidup dalam perantauan?! Tak akan menangis seorang lelaki karena di pukul, namun tersiksa jauh dari keluarga… pun bagaimana tegarnya diriku tetaplah seorang manusia biasa pada umumnya. Tak tahukah engkau bagaimana kecemasanku meninggalkan adik perempuan dan ibuku sendiri di sini?! Setiap malam selalu aku berdoa agar tuhan menghindarkan adik dan ibuku dari apapun keburukan yang ada karena penjagaanku tak sampai terhalang jarak. Kuredam pedih perih itu demi menggapai harapan kita, harapan untuk bersama bersanding di pelaminan. Namun mengapa di saat aku pulang… kau lenyapkan harapan itu dengan hiasan janur di depan rumahmu?! Tak lagi pedulikah engkau akan sajak di tanganmu yang pernah kau berikan padaku lima tahun lalu ?!

Sejenak Tara menatap lembaran kertas di tangannya.

Saban waktu selalu aku membaca sajak itu hingga menjadikan aku benar-benar hapal akan tulisanmu itu—menjadikan ia sebagai penyemangatku, pengingatku akan dirimu, dan penepis godaan dari moleknya gadis-gadis kota. Akan aku bacakan sajak itu untukmu agar kau tahu kalau aku benar-benar mengingatnya.

:

Kepada: Dirimu

Demi Harapan Aku dan Kamu

Titiskan terista tertahan
canda-ilah gigil cerita
rapikan gugur tegarmu
sayangi dunia cintaku

bila waktu kian cemas
pelan
perlahankan langkahmu

Lihatlah lihat mereka kini
kau telah meraihnya
kau tahu arti malam
tak ‘kan ada tanpa siang

sabarlah cintaku

bila dunia memberi perih
tentu senyum setelahnya

jangan tangisi duriduri itu-sayang
jangan kau tangisi
karena di hadapanmu :
sayup-sayup keindahan telah terlukis

tak inginkah kau gapai teduh malammu
setelah terik siang menyengatmu

tersenyumlah cinta…

dunia selalu begitu


Oh, tak terbendung lagi aliran tangis di lekuk hidung gadis itu. Tak ia sangka sajak sederhana yang ia tulis lima tahun lalu masih tersimpan rapi dan bahkan telah terpateri di hati kekasihnya—yang bahkan ia sendiri pun tak pernah menghapalnya.

“Tara… aku tahu melalui sajakmu—kau berniat memberi semangat padaku. Berhasil, usaha itu berhasil sayang. Sesuai harapan bapakmu aku tak pernah kembali sebelum menjadi sarjana. Namun sedihnya, mengapa orang yang telah memberikan aku semangat untuk tidak menyerah itu justru menyerah di saat selangkah lagi mimpinya-kita akan tertunai.”

Tara menangis terisak pilu.

“Sedetik pun aku tak pernah menyerah cinta, tapi apalah dayaku tanpamu. Tiga bulan lalu tentara itu melamarku. Apa kau tahu kalau aku hanya bisa menangis ketika Ayah-Ibu mengiyakan lamarannya?! Lima tahun kau tak kembali, tak pernah ada kabar, oh… kukira kau pasti telah terpikat akan memesonanya gadis kota.”

“Bagaimana bisa aku menggantikan dirimu dengan sosok gadis lain? Kau adalah gadis yang telah belasan tahun aku harapkan untuk menjadi istriku. Belasan tahun aku setia padamu dan itu takkan berubah hanya karena kau tak di sampingku. Harusnya kau tahu dan seharusnya kau mengerti itu!!... Dan jelaskan padaku hidupku: bagaimana caranya untuk mengirim kabar bilakah aku tak boleh kembali oleh ayahmu sedang kantor pos apalagi jaringan telepon tak ada di kampung kita ini?!”

Tara terdiam, suasana hening untuk sesaat, lalu...

“Kupikir… aku akan segera bersanding dengan dirimu sepulang ini, ternyata…”

Amir kembali berujar namun tak selesai. Sesak menyesak terasa panas memukul dada hingga terlalu sulit ia untuk menyelesaikan kalimatnya. Airmata meleleh menggores pipi. Kebisuan menyelimuti pekat malam yang raya. Hening dan hanya suara jangkrik yang ramai keras berderik-derik. Gerimis pelan-pelan turun merinai-rinai. Sepertinya, malam yang basah ini akan menjadi semakin bisu.***

( Sekayu, 2 - 6 Juni 2010 )
Herdoni Syafriansyah