Senin, 31 Januari 2011

Berita Pagi, halaman Gesit -- 30 Januari 2011

Andai Kasih Mereka Mampu Kau Terjemahkan

Sebegitu dalamkah ia membenciku. Tidak adakah niatnya untuk sekilas saja melihatku. Salahkah bila aku rahasiakan semua perihal itu. Pandangan tua ini semakin waktu semakin lamur dan tubuh lemah ini pun semakin renta. Mungkinkah kita bisa bersama. Mungkin punya waktu untuk bercerita. Pohon di pekarangan ini telah begitu besar, pohon yang kutanam seiring cinta yang kutanam atas satu tahun kelahirannya dahulu. Dari langit hujan pagi turun merintik, rebah dimuka bumi serta dedaunan. Silir semilir halimun menulusup pagi. Orang-orang berlalu-lalang pergi ke surau. Oh, anak itu…

***
Pulang sekolah. Ardi menggerutu, lagi-lagi tidak ada lauk di rumah. Tas dilemparkan ke kursi, sepatu tak di lepas. Mau atau tak mau percuma saja, tak punya pilihan. Lapar telah memanggil sedari beberapa jam yang lalu. Nasi kecap atau nasi garam air : menu favorit keluarga terlanjur miskin. Demi hidup, Ardi terpaksa harus makan. Enak tidak enak ya ditelan. “Begini lagi!! Begini lagi…!!” Ardi menggerutu, “Miskin!! Memang malang nasibku”.

Ardi masuk dan membanting pintu kamar, nasi tak dihabiskan. Ayahnya pilu menatap kelakuan putranya. Setiap hari semenjak masuk sekolah, kelakuan anak satu-satunya itu pelan-pelan berubah: kasar. Lelaki paruh baya itu ingin menangis, namun tak jadi dan kemudian ia malah tersenyum. Pandangannya tertuju pada sebuah figura di atas meja, di samping radio hitam petak ketinggalan jaman. Andai saja istrinya masih hidup, apa yang akan ia katakan. Apakah ia selalu bahagia tinggal disana?

Ardi kembali keluar, lelaki itu tersenyum menatap putranya. Ia harap anaknya itu akan kembali menghabiskan sisa makanannya. Ternyata salah, Ardi hanya melempar sepatu ke arah pintu. Oh, anak itu…

***
Ardi kesal. Ia sangat membenci keadaan diri yang menurutnya begitu miskin itu. Ardi ingin hidup kaya, berpunya. Menyenangkan pikirnya bila ia bisa punya segala. Ardi membenci keadaannya, Ardi membenci ayahnya.

“Oh Tuhan!! Mengapa aku harus terlahir dari keluarga yang miskin. Mengapa aku harus punya ayah yang miskin? Mengapa aku tidak menjadi anak dari kepala sekolahku saja: Pak Somad ya Tuhannnnn…?!

Ardi berdoa, mengadu atas kemiskinan hidupnya. Ia kini membenci ayah yang menurutnya adalah penyebab dari derita lara yang ia rasa. Sebenarnya Ardi tidak pernah sungguh-sungguh membenci ayahnya itu. Bilakah ayahnya telah masuk ke dalam kamar, pelan-pelan Ardi sering membuka pintu kamar itu—memandangi lelaki itu secara diam-diam. Bilakah sudah begini hati kecil Ardi akan menangis dan ia ingin sekali mengucapkan kata maaf kepada ayahnya. Namun, kokohnya ego yang bertunas itu selalu mengalahkan secercah rasa cinta Ardi.

Dari celah pintu sering Ardi memperhatikan ayahnya bilakah ia berada di dalam kamar. Sering ia lihat lelaki itu larut dalam tangis sambil menggendong dan mengelus-elus lembut sebuah kotak kayu. Lelaki itu memperlakukan kotak kayu itu dengan sangat istemewa. Mengapa? Ardi tidak tahu dan tidak pernah ingin mengetahuinya lagi. Dahulu, saat ia masih cukup dekat dengan ayahnya—ia tidak pernah mendapatkan ijin. Jangankan menyentuh melihat isinya, sekedar sepintas saja menatap pun maka ayahnya akan melarang.

Dua tahun lulus SMA, Ardi berusia dua puluh. Sangat bosan ia hidup susah. Ardi berontak. Ingin sukses, ingin kaya, pergi ke kota. Dengan seluruh kepedihan hati, dengan ribuan peluru sungkawa yang menikam hati terpaksa dia relakan Ardi pergi.

“Semoga kelak kau temukan hidup yang kau dambakan anakku,” serak pelan suara lelaki itu merestui putranya yang pergi memunggunginya. Ia terus memandangi sosok itu hingga akhirnya lenyap tertelan tikungan jalan. Sosok yang pergi tanpa sedikit pun menoleh kembali padanya.

Sendu angin yang bertiup masih saja pemalu. Air yang mengalir masih saja begitu. Mentari tetap datang dan mentari tetap pergi. Semua tetap terjadi dan akan tetap terjadi, satu minggu pun tergenapi. Uang Ardi semakin tipis. Pikiran Ardi semakin kacau, semakin suntuk. Ia beranjak dalam gigil menuju pikuknya keramaian pusat kota kala malam. Separuh perjalanan terdengar suara keributan di depan, seperti pertengkaran. Tak pasti, suasana gelap dan agak jauh. Ardi mendekat, merunduk, mengendap. Rupanya di sana ada seorang wanita kaya, wanita yang membawa mobil tengah dirampok oleh dua orang begundal. Dirampok apa? Harta. Jiwa. Raga. Semuanya bisa mungkin kalau hanya dibiarkan saja. Ardi tak bisa berdiam diri. Naluri membuatnya berani…

Mereka menikah. Kepada istri dan mertua Ardi mengaku sebatang kara, “saya yatim-piatu,” kata Ardi. Ia malu mengakui. Malu karena ayahnya terlanjur miskin. Mereka tak peduli Ardi sebatang kara. Ratih terlebih lagi. Bagi mereka, bagi Ratih terkhususnya Ardi adalah pahlawan. Andai dirinya tak muncul malam itu mungkin tak akan ada lagi kisah hidupku, Ratih membathin.

Ardi tak mau kembali. Ia sangat menikmati hidup barunya. Kekayaan; mimpinya. Satu tahun Ardi tak pulang awalnya hati terasa biasa. Sewindu tak pernah pulang, rindu perlahan menembus tulang. Ardi tak pernah pulang-pulang. Ardi rindu lelaki itu. Entah bagaimana jalannya suatu ketika saat Ardi bersama dengan anak dan istrinya berjalan di pusat kota, melintasi deretan butik dijalanan Machu Picchu, Ardi berpapasan dengan ayahnya. Mereka saling tatap, lekat-lekat. Sama-sama terbelit rindu; teriris pilu perpisahan. Lelaki tua itu mendekat. Anak-anak Ardi ketakutan, mendekap, berlindung pada ibunya, “Ma… Ma… takut!! Ada gembel... ,” Ardi bingung, spontan membentengi anaknya. Ardi membentak, “ Hey!! Pergi pengemis…!!”

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibu yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapih dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah (sesungguhnya) kalian kembali.”

Ardi tertegun mendengarkan potongan lantunan suci Alqur’an surah Luqman ayat 14 yang dibacakan oleh Ustad Khaidir beserta artinya tersebut. Kata ayah, ibunya meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Kalau begitu, beliaulah yang selama ini pasti tertatih-tatih merawat dan menyapih dirinya. Sepulang tarawih bersama keluarga, potongan kalimat itu terus menyergap pikiran Ardi. Rindu yang terpendam itu kini makin bergelolak. Lima tahun lalu Ardi berjumpa dengan lelaki itu dan ia terpaksa membentak, mengusirnya karena malu.
Namun sejujurnya setelah ia membentak itu, hatinya mendadak dingin bagai tersiram bulir-bulir air es yang jernih dan pilu. Kini buah hati Ardi telah berumur belasan tahun. Ardi sudah tak sanggup lagi. Biar bagaimana pun, sebetapa pun bencinya Ardi kepada lelaki itu ia tetap adalah ayahnya. Ardi merasa rindu: orang tua, kampung halaman, saat-saat berlebaran.

Ardi tak lelap tidur. Uring-uringan. Ia terus tercenung.

“Aku akan pulang tahun ini, akan kujumpai ayah. Entah bagaimana keadaan dirinya sekarang. Semoga dalam keadaan baik. Aku ingin berbakti, ingin minta maaf!!” Ardi berniat.

Dua hari sebelum Idul Fitri. Ardi makin gelisah, tak kuat lagi. Ardi mengutarakan maksud hati kepada istri.

“Ma… besok Papa mau….

Ardi terpaksa harus berbohong, demi menutupi kebohongan jati dirinya dahulu.

Senja keemasan terlukis manis dari tatapan sendu di dalam kereta. Hanya senja dan cakrawala yang kosong, tak ada kepak sayap di sana. Burung-burung sepertinya lebih senang di dalam sangkar. Ardi kembali ke desa. Pelan-pelan semua nampak berubah. Pohon Waru yang dahulu penuh tumbuh dimana-mana, kini hanya sesekali Ardi temui. Rumah-rumah penduduk juga sudah mulai rapat. Melangkah satu kilometer lagi Ardi akan tiba di rumahnya. Menapaki tanah coklat yang basah seperti habis diguyuri hujan pagi. Melewati barisan pohon pisang. Melewati areal pekuburan, “Hmm, telah semakin banyak saja shaf-shaf nisan rona kelabu di sini” gumam Ardi.

Dari arah Surau terlihat rombongan orang-orang berlalu-lalang untuk pulang. Memakai kopiah yang terlihat baru, memakai jilbab yang terlihat baru, baju yang terlihat baru, sendal yang terlihat baru, entah apakah hatinya juga ikut menjadi baru: fitri.

Langit menjadi gelap oleh mendung yang menyimpan kedukaan. Ardi mempercepat langkah, takut kehujanan. Semakin dekat. Dari kejauhan, sayup-sayup Ardi melihat rumahnya. Pohon di pekarangan juga pastinya. Ardi tersenyum membayangkan pelukan hangat dari ayah.

“Setelah ini akan aku belikan ayah pakaian yang bagus. Akan aku carikan seorang perawat untuk menjaga ayah. Akan aku pesankan ayah makanan terbaik. Akan aku perbaiki rumahnya. Akan aku urusi ayah meskipun nanti ia tidak tinggal bersamaku. Aku akan berusaha berbakti walau sebenarnya karena dialah dua puluh tahun dahulu hidupku melarat...”

Ardi terus-terusan tersenyum membayangkan pertemuan yang mungkin terasa indah dengan ayahnya nanti. Ardi sudah di teras, menyapa daun pintu. Diam-diam, untuk kejutan.

Udara yang dingin namun tubuhnya terasa panas, keheningan yang ganjil namun serasa sempurna. Absurd. Tak ada sesiapa di ruang depan. Kosong. Ardi celingukan, melangkah pelan ke kamar ayah. Pintu terbuka separuh. Ardi langsung masuk, menatap…

Badan Ardi berguncang hebat. Lemah. Pijakannya hilang daya. Ardi meraung bersimpuh meratap. Lelaki itu telah kaku, membeku. Ardi terlambat. Orang yang sangat dirindu, yang sangat ingin ia temui itu telah tiada. Kawan, teramat perih rasanya menanggung rindu kepada orang yang tak sampai. Ardi sangat sedih. Secarik kertas di tangan ayah. Tangis masih meleleh. Ardi meraihnya.

“Ardi, putraku kebanggaanku. Entah apakah pesan ini akan terbaca atau tidaknya olehmu. Sesungguhnya ada sebuah hal yang Ayah rahasiakan dari dirimu sejak dahulu. Dan kini di ujung gelap Ayah merasa sudah tak bisa lagi untuk terus menyimpan semua ini. Mengapa tak Ayah beritahukannya sejak dahulu? Itu karena engkau adalah darah dagingku dan aku menerimamu sebagai anakku apa adanya meski kita kehilangan segalanya.

Preeklampsia, suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya keracunan dalam kehamilan telah membuat aku, kita kehilangan ibumu. Wanita yang susah mati aku perjuangkan hidupnya. Ibumu teramat sangat menginginkan hadirmu—ia tidak lagi peduli dengan dirinya sendiri dan penyakitnya. Bahkan menjelang Malakul Maut tiba pun ia hanya bilang, “Lakukan apapun untuk hidup anak kita”. Untuk hidupmu, Nak, bukan dirinya. Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada keajaiban yang mampu kuciptakan. Benar-benar tak berguna. Hampir separuh harta kita telah habis untuk menyelamatkan ibumu. Namun segalanya sia-sia. Selang beberapa saat kau dilahirkan, ibumu berpulang kepada-Nya. Saat terlahir pun ternyata cobaan belum berakhir. Kau selalu sakit-sakitan, bobotmu sangat ringan, kau sangat kurus. Sesuai dengan permintaan ibumu apapun Ayah lakukan untuk hidupmu. Seluruh materi Ayah gelontorkan demi sehatmu. Hingga harta kita habis, hingga semuanya habis. Namun semuanya juga tetap sia-sia. Benar-benar tak berguna.

Ayah bangkrut, perusahaan pailit. Linglung. Ayah membawamu kembali ke desa. Pasrah. Anehnya begitu tiba disini, kampung kita ini, penyakitmu tiba-tiba lenyap—pergi entah kemana. Anugerah dari Tuhan rasanya. Anakku, maafkan ayah yang tak bisa bahagiakan dan tak bisa banggakan dirimu. Engkau putraku, kebanggaanku, curahan kasihku. Semoga kau bisa bahagia dengan hidupmu, Nak. Semoga rahmat-Nya selalu tercurah padamu.”

Bulir tangis Ardi menetes pelan tak terasa. Kesal, sesal, panik, bingung, sedih, bercampur aduk tak jelas rasa di benaknya. Ardi menatap sekitar. Kotak kayu. Ya, kotak kayu diatas lemari. Dengan sedikit menjulurkan tangan berhasil lah ia mengambil kotak kayu itu. Pelan-pelan Ardi membuka dan melihat lekat-lekat isinya. Beberapa lembar foto pasangan berpakaian mewah ala pengusaha yang mirip dengan wajah ayah—dan foto ibunya diruang depan, beberapa lembar surat pemberitahuan dokter mengenai diagnosa penyakit, dan kemerincing mainan bayi. Ardi terisak serak. Satu hal yang bertahun-tahun luput dari pengetahuannya, satu hal yang bertahun-tahun tidak pernah ia sadari: rasa kasih yang tak mampu ia baca.

Tanpa peduli lagi dengan apapun Ardi segera memeluk jasad ayahnya yang sudah membujur kaku dan dingin. Sendiri ia terisak sedu meratapi semua itu. Tangisan Ardi makin pilu bagaikan sebuah senandung lirih. Senandung yang bila semakin kau dengar akan semakin dalam dan pedih.***

Sekayu, Ramadhan 2010 / Herdoni Syafriansyah