Senin, 28 Oktober 2013

PERLIP

Ini adalah cerita tentang temanku, juga cerita tentang ibunya. 

Cerita ini berasal dari sebuah desa yang jauh, desa yang terpencil, sewindu lalu ibukota kabupatennya pun sama sekali tak tertulis dalam peta provinsi. Cerita ini berasal dari lubuk hatiku yang jauh, hatiku yang dalam, yang telah lama terpahat kokoh di sana. 

Ini adalah cerita tentang temanku, juga cerita tentang ibunya. Aku hanya mewakili temanku lewat tulisan. Sebab itu, tokoh aku di sini kita maksudkan adalah seorang temanku. Bila kita telah bersepakat, ceritanya ini kumulakan. 

Ia adalah segalanya untukku, untuk adik-adikku dan aku. Beliaulah selama ini yang tak henti-henti menyemangati kami untuk terus belajar menimba ilmu.
“Tuntutlah ilmu sampai hilangnya napasmu,” katanya. 

Suami ia—ayah kami, telah lama berpulang menghadap Ilahi semenjak aku masih kecil. Saat itu aku baru saja akan memasuki sekolah dasar, ia bercerita padaku suatu waktu. 

Sepeninggal ayah kami, ia tetap melanjutkan pekerjaan mereka sebagai seorang petani. Seorang pekerja tani pada sebuah sawah sewaan, sawah ladang berpindah. Ia bekerja seorang diri. 

Sebelum merah fajar menyingsing, ia telah melangkahkan kaki menuju ladang tani. Dengan berhias terindak di kepala, baju berlengan panjang, rambut kusut yang disanggul—serta memikul keranjang reot yang berisi: buntalan makanan, sebilah parang tumpul ukuran sedang, sebotol besar air kemasan yang isinya telah didaur ulang (dengan air Sungai Musi), beberapa buah pakaian ganti, dan kaleng merah bertutup hitam yang berisikan jarum—gunting kuku—kancing baju—benang putih; semuanya di dalam keranjang reot itu. 

Ia berjalan memijak basah rerumput pinggir jalan yang usai bercinta dengan embun semalam, dan kala senja menghampar sesaat sebelum azan magrib barulah ia akan pulang. Ia pulang melewati jalanan yang sama. Kelelahan sudah pasti. 

Bilakah sore wajah jalanan itu tak lagi serupa seperti pagi: kotor dan berdebu. Debu-debu itu tidaklah diciptakan oleh mobil atau motor sebab tak ada mobil atau motor yang melewati jalanan itu, namun oleh hewan-hewan ternak yang di gembala liar—juga oleh gerobak tani pengangkut padi. 

Anak-anak akan meloncat riang hingga copot giginya bila kemudian ada motor yang melewati jalanan itu. Mereka akan meloncat sembari berteriak, “Hey, kawan-kawan… Ada gerobak setan. Bisa jalan sendiri tanpa ditarik, tidak pula dorong!!

Bila senja telah menyusup, saban malam ia selalu tidur larut untuk membuat kue. Dengan hanya bercahayakan sinar lampu duduk bergoyang tak tenang (tertiup angin malam yang menerobos bilik dinding bambu dapur kami yang renggang) ia tetap semangat menciptakan kue. Kue ciptaan ia akan aku jajakan keliling kampung pagi-pagi esoknya, sebelum berangkat sekolah pastinya. 

Begitulah rutinitas ia setiap hari bila sedang aktif musim tani. Di kampung kami, tidak setiap saat—sepanjang tahun makhluk yang berlabel petani akan pergi ke sawah. Setelah merencam, masa menyemai anakan padi, para petani yang termasuk juga ia hanya perlu sesekali lagi saja pergi ke sawah guna menengok tanamannya itu; memastikan tumbuh sesuai harapan. 

Demikianlah sederhananya kuriwayatkan pekerjaan ia sebagai ibuku. Pekerjaan dalam sebelum merah fajar menyingsing, pekerjaan dalam saban pekat malam, pekerjaan dalam yang begitu, selalu dalam begitu ceritanya, hampir akan selalu... 

Ibu. Ibuku bernama Maroya. Waktu aku kecil Ibu memiliki geraian rambut sepinggang, hitam bulu gagak, lurus namun tak lembab. Bolamatanya tak jauh beda dengan kebanyakan mata orang-orang susah: terlihat berat, hanya ketegarannya yang nyata dan sangat menyala itulah bedanya. Kulit Ibu berwarna coklat terbakar sebagaimana layaknya kulit seorang petani dan tentulah saja tidak akan halus mulus; banyak goresan-goresan luka pada lengan—tangan Ibu. Luka itu, kukira mungkin karena tangan Ibu tergores daun padi atau mungkin rumput berdaun tajam yang kerap menjadi gulma di lahan pertanian : Imperata cylindrica, mungkin juga sebab goresan papan, keong di sawah, atau mungkin… Entahlah… 

Yang pasti begitulah ibuku. 

Ibuku. Ibu lahir di sebuah desa yang bernama Air Itam, sebuah desa yang terletak di Penukal Timur—Pendopo, Kabupaten Muara Enim, 53 tahun silam. Bersama keluarga yakni almarhum kakek dan nenek, ibuku pergi meninggalkan tanah kelahiran untuk merantau hingga akhirnya menetap di Desa Lumpatan (1976, kampung kelahiranku ini masih merupakan sebuah desa Swadaya). 

Waktu mereka merantau kala itu, kata Ibu, umurnya baru sekitar 18 Tahun. Tiga tahun setelah menetap di Desa Lumpatan ini Ibu berkenalan dengan Ayah, dan satu tahun kemudian mereka pun bersepakat untuk menikah. Aku adalah buah kasih dari cinta mereka yang pertama setelah dua tahun pernikahan. Sedih dan sayangnya aku, ayahku itu meninggal saat aku masih berusia kanak hingga tak banyak kasihnya yang sempat kuingat. 

Sebelum kita lanjut, aku ingin memperkenalkan sekilas mengenai daerah kelahiranku itu: Lumpatan, nama ini merupakan sebuah desa yang ada di Kabupaten Mahalaya dari keseluruhan total 213 jumlah desa yang ada di sana sekarang. Kabupaten Mahalaya memiliki luas wilayah 14. 265, 96 kilometer kubik, ditinjau dari Geografi, letak Kabupaten Mahalaya antara 1,30 – 40 Lintang Selatan dan 1030 – 1050 Bujur Timur, yang terbentang di bagian tengah Negeri Batanghari Sembilan sampai bagian Timur. Zaman dahulu, sekitar puluhan hingga belasan tahun yang lalu, Lumpatan masih berupa pemukiman yang terbelakang. 

Setelah ayahku itu meninggal, tentu Ibu lah yang menjadi imam di rumah kami. Ibu yang mencari nafkah untuk kami. Keluarga kami hidup dalam kesederhanaan, miskin kata para tetangga. Ganyang kata mereka pada Laysia. Namun, ibuku adalah wanita yang sangat lembut, tegar, sabar dan penyayang. Meski keadaan hidup kami pas-pasan, tetapi Ibu selalu saja ingin menyisihkan seperempat penghasilannya saban minggu untuk bersedekah. 

“Apa-apa yang kita peroleh ini hanyalah titipan Yang Maha Kuasa, Nak!! Di dalam rizki kita itu terdapat hak orang lain. Banyak-banyaklah memberi kelak Tuhan akan mengasihi !!” Ujar Ibu ketika suatu kesempatan aku bertanya kenapa ia masih bisa-bisanya untuk bersedekah dalam keadaan sulit seperti itu. 

Ibuku itu… Ibuku itu memanglah begitu. Baginya, hidup ini tidaklah lebih dari hanya sekedar permainan. Ia tidak pernah berpikir untuk serius mengejar kesenangan duniawi. Ia juga tak pernah ambil hati bila terkadang kami dihina. Cukuplah bisa lelap di malam dingin, ada nasi dalam belanga, keluarga sehat tak punya hutang, jangan pernah mengusili orang lain agar hati terasa tenteram (kalau orang mengusili kita itu urusan Tuhan), karunia hidup sempurna bagi Ibu. 

Sebagai anak aku ingat betul semua tentang Ibu. Masa-masa kecilku, katakanlah remajaku.

Dahulu, bilakah libur sekolah seperti hari Minggu, aku terkadang pergi ikut Ibu ke sawah. Sekedar ingin tahu cara bertani dan bercanda dengan alam. 

Hampir 50 menit (mungkin juga terkadang lebih) jalan kaki kami lalui agar bisa tiba di sawah kami, sawah sewaan kami. Keluar rumah, pergi ke arah jalan belok Selatan, jalan kaki di atas jalanan tanah, jalan kaki menyusuri pinggiran jalan yang berumput dan basah, menuju pinggiran Desa Lumpatan, lalu menyeberang jalan dan masuk ke dalam daerah hutan, menyusuri daerah hutan, ada jembatan dari gabungan dua batang pohon kelapa, terus berjalan, keluar hutan, menyusuri jalan tanah yang keras tanpa angkutan, jalannya kecil dan semakin mengecil, kemudian tiba di areal persawahan, lewati dua petak sawah orang… kemudian kita akan tiba di sawah kami. Menyenangkan. Melelahkan. Tersisa hanya kenangan. Kenangan yang nantinya juga akan hilang bersama matiku, barangkali. 

Ibuku, Ibuku sangat aku sayangi. Ia tidak pernah berputus asa dalam berjuang untuk menyekolahkan kami. Pekerjaan apa saja, asal halal Ibu lakoni demi melihat buah hatinya bisa pergi mencari mutiara di sekolah. Ibuku, beliau pernah bekerja menjadi pengangkong, tukang pikul papan—untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup kami anak-anaknya. Ibu juga pernah menjadi kuli angkut pasir waktu itu, kala musim tani sedang renggang. Semuanya hanya demi kami, dan demi kami anak-anaknya. 

Karena itulah bagaimana kutak menyayangi Ibu, bagaimana aku tak mencintai Ibu. Mati-matian saat SMA aku berjuang agar bisa menjadi lulusan terbaik Se-Kabupaten. Semua kulakukan dengan harapan agar aku bisa sukses dan Ibu tak dihina lagi, dan Ibu tak berlelah lagi. Dan dalam singkat cerita kemudian aku berhasil. Aku mendapatkan panggilan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pada sebuah universitas ternama di negeri ini. Dengan segala yang kami miliki aku pun berangkat untuk kuliah (sebenarnya aku memaksa karena awalnya ibuku kurang berkenan). Akhirnya Ibu mengijinkan. Walau berat hati aku meninggalkan ibu; berat hati ibu melepaskanku. 

Tak perlu kurincikan bagaimana beratnya perjuangan hidupku waktu di kota, bahkan terkadang aku mengamen bercucur peluh keliling jalan. Meski memang mendapatkan beasiswa, namun jujur aku tak bisa segalanya menggantungkan diri dari uang itu. Aku anak pertama, juga harus membantu keluarga. Maka dari itu aku memang harus bekerja (namun tetap dengan prinsipku: Halal). Apa pun kulakukan agar dapat mencukupi kebutuhan hidupku; keluargaku, demi mimpi-mimpiku; keluargaku. Berusaha aku berusaha membantu Ibu membiayai hidup kami. Dan tidak sampai empat tahun kuliah aku menyelesaikan studiku, cumlaude

Berkat kerja keras Ibu kini kami semua anak-anaknya bisa menjadi ‘orang’. Kami tiga saudara. Adik pertamaku yang laki-laki itu telah berhasil menjadi seorang PNS di Kabupaten, dan adik keduaku yang perempuan, setahun lalu ia baru saja diangkat sebagai seorang guru tetap pada sebuah SMP di desa kami (sekarang desa kami telah lumayan berkembang). Terkadang, sering aku terkenang akan petuah-kata Ibu dahulu, “Tidaklah berputus kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka yang berusaha!!”
Rasanya, semua kenangan yang terentang ini seperti baru saja kemarin terjadi. Tuhan ya Tuhan, tak kusangka semua ini akan terjadi begitu cepat. Ibu, aku sangat menyayangi Ibu. Tahu aku tahu persis bagaimana semua lelah dan derita Ibu. Tanpanya, manalah mungkin seorang anak petani itu bisa menjadi arsitek besar negeri ini. Hingga anak itu bisa menjadi orang yang hebat. Hingga ia bisa berkarir dan sukses. Hingga adik-adiknya tak dihina lagi. Hingga tak ada yang mencacimaki lagi. Hingga tak perlu mengamen lagi, dan tidak disebelahmatakan lagi. 

Kini anak itu… Oh, keluarga itu telah menjadi makhluk yang berlabel hebat di wajahnya. Bagaimana bisa kusia-siakan semua jerih keringat wanita itu. Meski sekarang ia tak lagi ada di sini. Aku sayang dan akan selalu sayang pada Ibu. Beristirahatlah dengan tenang Ibunda kasihku… 

Putrimu ini akan selalu mencintaimu dan juga anak-anakmu yang lain. Biar kumenangis jauh darimu di sini. Biar aku sendiri mendekap sepi dan rindu. Ya, memang beginilah kan hati kita, Ibu? Hati lembut para wanita yang memang cenderung menggunakan otak kanan. Lelah, sedih serta hanya kenangan. Kenangan yang nanti juga akan hilang bersama matiku. Namun, biarlah hidup cerita ini. Biarlah aku hanya sekedar ingin. 

“Tuhan, kutitip Ibu dan Ayah padamu! Kuikhlaskan dengan semua rindu serta sayangku. Tolong cintai dan jaga mereka sebab Engkaulah Maha Segala. Damailah di sana bersama cinta kami dan cintamu ibu.” 

Cerita ini berasal dari desa yang jauh. Dari seorang gadis manis temanku…***

Sekayu,  Januari 2011
-
Dimuat Sastra Digital Edisi Desember 2011 /  http://www.sastradigital.com/herdoni-syafriansyah