Minggu, 15 Mei 2011

PESTA PASTI BERAKHIR

Berita Pagi Minggu, 15 Mei 2011

PESTA PASTI BERAKHIR

Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?

Seminggu setelah ini aku tak akan lagi kemari. Tak akan lagi aku berdiri kukuh menghadap Sang Saka Merah Putih seperti biasanya senin pagi. Tak akan lagi kupingku mendengar pidato kepala sekolah yang menyala berapi-api. Tak akan lagi mataku memandangi kemilap rambutnya yang hitam dielus sinar matahari. Tak akan lagi aku menatap bola matanya yang berbinar penuh semangat emosi. Tak akan lagi diriku kembali ke dalam kelas ini.

Aku sungguh sangat menyukai kelas ini. Ruangan ini. Bangku yang aku duduki ini.

Indah hias bunga-bunga di atas meja guru. Tumbuhan air menghijau pada empat sudut kelasku. Lantai keramik yang masih baru. Meja-meja yang juga masih baru. Miniatur kayu burung garuda yang gagah. Photo pasangan presiden pria memakai kopiah dengan senyum mengepulkan uap bahagia…

Kalau nanti aku memang takkan kembali lagi kemari, maka selamat tinggal semuanya.

Selamat tinggal kotornya papan tulisku yang belum di hapus kala pagi. Selamat tinggal butiran halus debu di laci mejaku yang sunyi. Selamat tinggal kisah kaca kelas pecah. Selamat tinggal gaduhnya udara kelasku kala pelajaran kosong. Selamat tinggal wajah kesal guru mata pelajaran akuntansiku. Selamat tinggal wajah kesal guru matematikaku, guru yang memukul meja jika marah lalu menyembunyikan sakit di telapak tangannya. Selamat tinggal wajah santai guru pendidikan kewarganegaraanku, guru yang kerjanya hanya menyuruh kami mencatat lalu berlalu pergi ke ruang guru. Selamat tinggal semua…

Oh Tuhan,
Selamat tinggal juga guru favoritku Pak Afsya, guru mata pelajaran agama yang mempunyai kemampuan menggambar jin dengan mata batinnya. Seorang guru yang selalu memberikan nasehat-nasehat teduh yang dapat menentramkan hatiku.

***

Na Na Na…

Waktu ini terasa demikian singkat. Perputaran tiga ratus enam puluh derajatnya pun begitu cepat. Napas ini mengalir semakin berat. Arteriku serasa tersumbat. Malam berlalu dan pagi telah kembali bagai kilat. Menggeliat. Sangat cepat. Semua ini sungguh sangat cepat. Tepian suka masa remajaku semakin dekat. Bukan tepian permulaan, namun tepian perpisahan. Dekat. Makin dekat namun lajunya tak dapat aku cegat. Kini aku makin terjerat, terikat dalam takdir yang tercatat atas apa yang telah aku perbuat.

Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?

Apapun pilihannya kalaulah ingin jujur sungguh aku sungguh belum siap. Belum siap atas segala yang akan berubah nanti. Belum siap bila harus bangun pagi-pagi. Belum siap bila harus tidur larut malam. Pagi-pagi menanak nasi —membuat kopi, sendiri. Malam-malam melayani dia, suami. Belum siap mengurusi bayi. Belum siap melepas hobiku jalan-jalan. Duduk di teras menatap lucu rupa-rupa awan. Sore-sore mengelilingi bundaran. Siang-siang pulang sekolah makan model, bakso, tekwan bersama kawan-kawan.

Oh Tuhan…!!

Semua kenangan ini akan pergi. Hanya tinggal menghitung hari. Di alam mimpi pun mungkin tak akan aku jumpai lagi. Menyesal betapa menyesal aku kini. Hidup tak bisa membawa diri. Terlampau nafsu akan materi. Hingga kini aku merugi. Maaf Ayah-Ibu, kepada kalian aku pahatkan permohonan maaf !! Bukan salah kalian, bukan, bila aku seperti ini. Akh… coba aku menjadi papan tulis itu. Papan tulis yang beku serupa batu. Aku tak perlu merasa keras dan kejamnya hidup ketika masalah datang membelenggu.

Sunguh teramat sungguh aku masih ingin bersantai. Aku masih ingin bersantai membantu ibu di dapur. Aku masih ingin bersantai main boneka di kasur. Aku masih ingin bersantai bersama kawan-kawan membeli baju tidur, membeli baju retur, pakaian dalam front clousure. Aku masih ingin…

Satu bulan lagi!! Ya… sekitar waktu itulah aku akan menikah. Tepat katanya di paksa menikah oleh lelaki yang menjadi kekasihku kini. Lelaki yang sepuluh tahun umurnya lebih tua dari aku.

Mengapa?!

Pernikahanku, bukan musabab aku tak lagi dikunjungi oleh tamu bulananku yang terkadang hadir melilit perutku, dismenorea. Bukan pula perihal kisah barter orangtua yang terlilit hutang hingga anak perawannya menjadi pelunasan, atau karena ayah kekasihku tengah berdiri menanti maut di seberang ajal hingga beliau berpesan ingin melihat anak lakinya segera menikah, bukan. Oh, mungkin karena... ?! Tidak bukan pula itu!!

Andai seandainya dahulu aku tidak terlalu mengejar kesenangan. Berpacaran dengan seorang lelaki yang hampir kepala tiga sedang aku masih seorang gadis kelas dua SMA.

Delapan bulan lalu, tepatnya sore sabtu tanggal 14 April aku mengenal lelaki itu. Berdasarkan perantara kawan dari kawanku. Ah… si Brengsek itu pandai sekali bermanis-manis memikatku. Mengumbar dan memberikan semua kebutuhanku dengan kata peduli. Cih, anggun sekali ia bertingkah. Seolah aku paling berharga. Hingga aku terlena lupa diri. Hingga tidak pernah sempat aku sadari. Bahwa itu adalah hukum kekekalan energi. Oh, tidak… tentu saja bukan itu!! Ia telah menipuku, ia telah memperdayaku atas nama cintanya. Sedang aku dan dia: cinta?

Petang minggu dua pekan yang lalu lelaki itu menemui ibuku. Mengeluarkan segala macam daftar pengeluarannya selama berpacaran denganku. Uang habis makan bakso sekian rupiah, nasi goreng sekian rupiah, minum es, jus, susu, kiranti sekian rupiah, beli lingerie sekian rupiah, buku sekolah sekian rupiah, beli bensin sekian rupiah, main game di pusat perbelanjaan, beli kosmetik, uang habis...

Edan… kupingku yang bermasalah atau aku yang salah dengar? Dia yang menawarkan semua zona nyaman itu padaku: ambillah semua ini pakailah semua itu, apa yang aku miliki ini juga adalah milikmu dan tentu saja akupun tak akan menolaknya. Sekarang, ia begini, memaksaku untuk segera menikah seraya mengancam kami (aku dan Ibu) bila menolak maka kami harus mengganti semua biaya pengeluarannya kala berpacaran denganku.

Apa tidak gila?! Beginilah bila hidup menjadi orang susah. Beginilah bila hidup menjadi wanita. Beginilah bila hidup dengan niat yang tak baik. Maaf Ayah…

Dan yang lebih membuatku sungguh sangat kesal kepada lelaki itu adalah ketika ia menjumpai Ibu dan menyanggah permintaannya. Aku baru saja pulang sekolah kala itu. Siang itu mereka banyak berbincang namun yang paling nyata aku ingat adalah ketika Ibu berkata: tak bisakah Anak tunggu lima bulan lagi, biar Putri selesaikan dahulu sekolahnya!! Akh, Ibu!! Tamat sekolah atau tidak, itu sama saja. Wanita itu kerjanya hanya di dapur—sumur—kasur.

Ibu hanya bisa merenggut bersedih. Aku menangis menguping di balik pintu.

Tak mengertikah ia kalau aku juga punya mimpi. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin berjuang bersama kawan-kawan saat ujian nasional. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin menikmati riang rasa kelulusan. Tak mengertikah ia kalau akupun juga ingin corat-coret baju, kemudian baju itu kusimpan untuk kujadikan kenang-kenangan. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin ketika anakku mendaftar sekolah nanti : pendidikan terakhir ibu adalah SMA (cukuplah saja itu setidaknya). Dan tak mengertikah ia bagaimana aku dan Ibu memikirkan pandangan dari para tetangga, teman-teman serta guru-guruku nanti menilai aku, memvonis ku atas pernikahan yang nantinya pasti akan terkesan mendadak ini.

Ya, setelah aku melakukan penyelidikan sesaat kepada teman-temannya, akupun mengerti. Aku peroleh jawaban rupanya ia takut kehilanganku. Ia takut kehilangan setelah apa yang tak pernah sungguh hati ia berikan kepadaku. Ia inginkan tumbal ganti.

Oh Tuhan… sekiranya aku bisa memperbaiki diri. Sekiranya aku bisa mundur melawan waktu. Aku ingin hidup biasa-biasa saja. Dengan pakaian yang biasa. Dandanan yang biasa. Pergaulan yang biasa. Kesenangan yang biasa. Gadis yang biasa-biasa saja. Mungkin itu akan bertentangan dengan naluri hidupku, namun setidaknya aku tidak harus kehilangan hidupku.

***
Na Na Na…
Andai seandainya setelah Ayah meninggal aku mengamalkan pesan terakhirnya, pesan sebelum dirinya terbang ke langit. Mungkin, sekarang dan nanti aku masih tersenyum bahagia melihat kerlap-kerlip hidup ini. Mungkin aku tidak akan segelisah ini. Mungkin nanti aku masih bisa melihat kelucuan teman-temanku. Melihat anak laki-laki: Adit, Bogek, Chandra, Dapi, Dedi, Faizin, Fauzan, Fauzi, Hendra, Leo boy, Rizki, Yuda, Yupika, Zul, atau juga yang lain sembunyi di kolong meja paling belakang kala istirahat sekolah diam-diam merokok, memonyongkan bibir mereka yang berwarna ungu untuk membuat huruf: O.

Melihat kekesalan guru kala menagih uang buku kepada Doni Akazu: Hei… Akazu!! Kapan kamu akan bayar uang bukunya? emm… mungkin besok Pak Guru kalau tidak ada halangan. Besoknya, ya tentu saja Dia kembali mengulang jawaban, “mungkin besok Pak Guru kalau tidak ada halangan…”

Melihat kecentilan F. Asmi Kandji kala guru bilang punya anak lelaki: “Bu, anaknya uda punya pacar belum? Aku mau lho jadi pacar Anak Ibu.”

Melihat Somad yang tidak pernah mencatat (kecuali Pendidikan Kewarganegaraan), namun selalu bertanya seolah mengerti. Entah apakah anak itu benar-benar memperhatikan pelajaran atau bertanya hanya sekedar topeng kamuflase.

Sekarang aku melihat, aku merasa benar kata Ayah dahulu: “Nak, jadilah gadis yang baik yang punya prinsip hidup. Jangan berlebihan dalam mengejar kesenangan karena sesungguhnya setiap pesta itu cepat atau lama pasti akan berakhir seperti kata pepatahnya. Tuhan telah mengatur hidup kita ini dengan adil dan bijaksana. Hindarkanlah dirimu dari perilaku menyusahkan orang lain agar dikasihi Tuhan, agar tidak turut mendapat susah.”

Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?

“Maaf Ayah, maafkan anak gadismu yang tak pandai berbakti ini. Oh Tuhan… Aku sungguh tak mengerti apakah ini hanya kebetulan ataukah ini memang takdirmu.”

( Sekayu, Mei-Juni 2010 )

Dikait-katakan dengan : Herdoni Syafriansyah