Rabu, 14 Desember 2011

Ratih

Dalam dekapan gigil di malam pekat, seorang wanita menerobos aral penuh nekat. Lidah petir menjilat-jilat. Tinjuan guntur memecah angkasa gelap. Langit yang gulita sekilas berkejap-kejap. Kilat dan guntur turun lagi. Paras wanita itu sesekali tercuri. Wajahnya tegar bagai matahari, namun sungguh tiada berseri. Ia terlihat letih. Wanita itu masih muda. Umur sekitar duapuluhdua. Dan, ia terus melangkah …

Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Hujan mencucuri bajunya basah. Hujan membuat tubuhnya basah. Langit tersapu sepi tanpa bintang. Gigil menghempas menusuk tulang. Dingin mendekap alang kepalang. Jalanan yang tampak samar. Lolongan anjing yang lamat-lamat terdengar. Hitam yang memar. Kelopak jalan yang beriak. Jalanan berlubang yang terinjak. Air yang berkecipak. Angin yang berkesiuran. Daun gugur sepenuh jalan. Pepohonan yang sekilas terlihat. Pepohonan tepi jalan yang sekilas terlihat oleh kilat. Reranting yang berderak. Reranting yang patah. Hujan, gelap, sepi, dingin ….

***
Malam begitu mencekam. Suara tangisan itu menjadi-jadi. Malam begitu mencekam. Tangisan itu menyayat-nyayat hati. Sebuah kesedihan yang menyatu dengan suram tangis hujan. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Ia menatap ke arah luar. Hujan begitu derasnya. Memang tidak jelas sebab gelap, namun bunyinya begitu kuat. Ia menatap ke arah luar melalui bilik jendela kamar rumah kayunya. Ia menatap dengan nanar. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Sebentar-sebentar ia menatap lagi. Jelas sekali kini ia tengah menanti. Jelas sekali ia kini tengah menanti seseorang.

Malam begitu mencekam. Dari dalam gubuk yang kecil itu kini suara tangisan tersebut semakin menjadi-jadi. Tangisan seorang bayi. Wanita itu tengah menanti seseorang. Ia cemas secemas-cemasnya. Sejak malam kemarin lakinya pergi dan belum juga kembali. Sejak malam kemarin suaminya pergi dan hingga malam ini belum juga pulang. Dada wanita itu berdebar-debar keras. Tangisan bayi itu menjerit-jerit keras. Hati mereka sama-sama cemas.

Malam begitu mencekam. Sejauh mata memandang hanyalah gelap yang tampak di luar sana. Sesekali kilat yang menyambar menunjukan rupa ciptaan Tuhan. Dalam kilas cahaya itu, dia berharap bayang suaminya akan segera muncul memecah pekat malam. Sebenarnya, ia bukan mencemaskan perihal keadaan suaminya. Sebenarnya, ia tidak terlalu mencemaskan keadaan suaminya. Namun, yang ia pikirkan adalah keadaan putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Sejak pukul empat sejak sore tangisnya tak putus-putus, sedang hujan tak kunjung jua reda.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia ingin pergi mencari suaminya ke luar. Tetapi, kemanakah ia akan mencari di malam pekat serta hujan begini? Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia kembali menatap putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Bayi itu terlihat pucat dan menangis. Andai tidak sedang menangis, bayi itu akan terlihat begitu manis, alisnya tipis wajahnya simetris. Badannya mungil berselimutkan kain tebal yang lembut. Kain itu menutupi seluruh tubuhnya, hanya wajah dengan mata mungil yang menangis dan mulut kecilnya yang menjerit terlihat. Ibunya mendekat, mengusap dan mencium keningnya. Gadis mungil itu diam sejenak. Badan gadis kecil itu panas, ia terkena demam. Badan gadis kecil itu panas, pastinya ia terkena demam yang lumrah dialami bayi.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Bilakah tidak segera diobati ia takut akan terjadi apa-apa pada anaknya. Apakah ada yang dapat menjamin akan baik-baik saja anaknya tanpa diobati? Ratih, ibu bayi ini pun tak tahan lagi berdiam diri. Ia beranjak menuju lemari membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di sana guna mencari barangkali ada uangnya yang terselip, tersisa di sana. Ratih, ibu bayi ini pun tak bisa lagi berdiam diri. Ia kembali membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di lemari guna mencari barangkali ada sisa uangnya yang terselip, di sana. Meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja sama; meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja nihil ...

Ratih lelah, ia melangkah meletakkan kembali pantatnya di muka kasur berseprai putih yang lusuh itu. Ratih lelah, ia duduk di samping anaknya yang sedari tadi terus saja menangis tak henti. Ratih kembali mengecup kening anaknya. Mata gadis kecil itu begitu bening …

Ratih mendesah, ia merenung menggamit bibir. Matanya menerawang menatap ke atas. Jelas sekali kalau Anda perhatikan, atap rumah mereka sudah banyak yang berlubang. Air jatuh sesukanya berkecipak ke dalam rumah. Angin yang berhembus pelan begitu keramat pastilah akan membuat kuduk menjadi dingin dan merinding. Bila ia terus menghayati maka terbayang olehnya saat setahun lebih yang lalu.

Bermula pada sebuah acara pesta perkawinan temannya di kampung seberang, Ratih berkenalan dengan seorang pemuda. Pemuda itu sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang pemuda yang memang berbudi sangat baik. Satu bulan setelah perkenalan itu mereka telah resmi berpacaran.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Berulang kali kedua orangtua Ratih berusaha menasihati, mengingatkan anaknya itu bahwa sesungguhnya lelaki tersebut tidaklah benar-benar baik seperti apa yang terlihat padanya.

“Ratih, pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Ibu punya teman di dusun seberang yang persis tetangga dekatnya. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Kamu carilah lelaki yang lain saja, Ibu lebih setuju jika kamu dekat sama ustad Somad-anaknya Haji Afsya- syukur-syukur kamu bisa jadi mantunya Haji Afsya. ‘Kan Ayah dan Ibu jadinya bisa bangga itu punya mantu seorang Ustad.”

Ratih hanya terdiam. Telah khatam ratusan kali Ayah dan Ibunya menasehati, mengingatkan kepada dirinya bahwa lelaki itu tak baik – tak baik – selalu saja tak baik, namun Ratih tak pernah percaya dan tetap tak pernah mau mendengar. Akhirnya ia pun mengajak kekasihnya itu untuk kawin lari.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Ratih tak lagi peduli akan kata orangtuanya, ia merasa ia yang paling tahu dan juga pikirnya ia yang akan menjalani hidupnya itu. Sekiranya nanti akan ada masalah, biarlah itu menjadi masalah dan tanggungjawabnya.

Dua bulan setelah pernikahan ratih pun mengandung. Suaminya yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu pun makin bertambah menyayanginya. Sekarang mereka tinggal pada sebuah desa pemekaran yang baru berkembang, delapanpuluh kilometer jaraknya dari desa mereka yang dahulu.

Setelah mereka menikah dua bulan lalu, mereka menyewa sebuah gubuk ala kadarnya di desa kediaman mereka tersebut. Lelaki yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan memang seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu belum mendapatkan pekerjaan. Sehari-hari mereka menyambung hidup dengan hanya mengandalkan sisa uang dari hasil menjual perhiasan-perhiasan emas Ratih.

Menjelang usia kehamilan yang menginjak bulan kedelapan lelaki itu tetap saja belum mempunyai pekerjaan—bertani ia tak mau, berkebun juga ia tak mau—sehari-hari kerjanya hanya memancing atau menghilang dari rumah entah kemana. Namun, ia pernah pulang dengan senyuman bangga seraya memamerkan segenggam uang yang ia bilang dari hasil menjual ikan pancingan, tapi pernah pula ia kembali dengan raut muka semrawut seolah-olah baru saja tertimpa kesialan yang paling maha sial.

Hari-hari menyulam hari, waktu tak pernah mundur dan berhenti. Tibalah masanya Ratih melahirkan. Dengan dibantu oleh seorang dukun beranak di kampung setempat, bayi mungil itu lahir dengan selamat. Seorang bayi perempuan yang begitu manis: alisnya tipis, rambutnya tipis, kulitnya bersih klimis, matanya mungil bola tenis, wajahnya simetris, perpaduan yang sungguh harmonis. Manis … Manis … Manis … sangat manis!

Sekarang, ia kembali mendesah, menggamit bibir. Matanya menatap si mungil itu. Satu hari setelah ia melahirkan si mungil itu suaminya selalu keluyuran malam. Ia tak tahu dan tak berniat mencampuri urusan suaminya. Ia juga tak tahu persis kemana tujuan suaminya. Namun, kata orang-orang, suaminya suka nongkrong di pos ronda ujung desa. Kumpul-kumpul kata orang. Sekarang ia cemas secemas-cemasnya. Sudah sejak malam kemarin suaminya pergi dan belum juga kembali. Ia tak lagi punya persediaan uang. Persediaan susu anaknya yang terakhir pagi tadi telah habis. Dan anaknya kini terus menangis, sedang ASI-nya hanya mampu membuat bayi itu diam sekejap. Mungkin, bayi itu memang tak terlalu lapar. Mungkin ia menangis karena demam, karena panas badannya. Namun Ratih tak punya uang untuk membeli obat, untuk membawanya ke Puskesmas di kota. Hatinya kini cemas secemas-cemasnya.

“Aku harus mencari suamiku, ia harus tahu keadaan anaknya. Meski mungkin ia juga sedang tak punya uang, tapi aku percaya ia pasti bisa mengusahan solusinya. Yang jelas, ia harus tahu dulu bagaimana keadaan putrinya.”

Sejauh mata memandang hanyalah gelap. Ratih membulatkan tekad menjemput suaminya. Ia bingung harus kemana melangkahkan kaki, mencari suaminya di malam hujan begini, namun setidaknya dari pos ronda ia akan mengawali. Anaknya telah tertidur, mungkin kelelahan menangis, mungkin demam telah memberatkan matanya hingga ia lekas tertidur. Wajah anak itu pulas dan damai, namun ia terlihat malang.

Wanita itu keluar seorang diri. Tanpa payung. Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Ia berharap segera bertemu dengan suaminya. Tiba-tiba ia teringat keluarganya, ia teringat akan Ayah dan Ibu. Lalu muncul pikiran-pikiran liar, muncullah perkataan-perkataan, “pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Pria itu bukan pria baik, Nak. Dia suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk juga. Bukan pria baik, Nak! Bukan! ...”

Pikiran-pikiran itu menjadi sangat mengganggu. Entah kenapa kemudian Ratih merasa kepalanya terasa sangat menyut. Ia berjalan sempoyongan. Hujan, gelap, sepi, dingin … melintaslah wajah anaknya yang terlihat sangat malang. Tiba-tiba, Ratih merasa sangat ingin sekali membunuh suaminya. ***

(Sekayu, Mei – Oktober 2011) Herdoni Syafriansyah

ESOK KITA SELALU BERSAMA

Aku ucapkan salam paling indah kepada yang
terindah yang melewati indahnya gugur pelangi di senja hari.

Apa kabar dirimu di sana? ...

Apakah kau tahu … Jujur, aku merinduimu di setiap detik tergelar. Di sepenuh galau lalau waktu, rindu ini berdenyut ngilu nyesak mendesak ingin bertemu.

Apakah pernah kau merasakan rindu yang begitu berat seperti halnya rinduku kepadamu?

Sungguh, sekedar menatap manis rona wajahmu pada foto ini saja telah begitu menghangatkan aliran rasa cintaku. Andai saja engkau ada di sini, akan kupaut erat jari jemarimu yang lembut itu. Akan kurangkul engkau masuk ke dalam rumah hati kita, dan kupersilahkan kau duduk pada seliri merah itu, lalu kupandangi engkau puas-puas agar pupus beban rinduku. Bila sekiranya saja mata ini dapat memandang langsung keanggunan dirimu, maka pasti bermekarlah kelopak kuncup rindu hari-hari hatiku yang menunggu. Tetapi malang, semua ini seakan begitu sulit sekarang.

Perlip cintaku. Barangkali … bersamaku ada banyak sekali lara yang dikau rasa, ada banyak duka yang menyiksa. Dan setiap kali dulu kita bertemu, setiap kali aku menatap kamu, kenapa ya yang selalu tampak darimu itu hanyalah senyum, selalu saja senyum. Kau seolah tak pernah ada keluh, tak pernah ada susah. Kasihsayangmu terasa amat besar kepadaku, dan kasihsayangmu yang senantiasa hadir itu benar-benar telah membuat aku tertawan. Makhluk terkejam pun pasti akan tertawan bila disayangi, apalagi aku ini.

Dari sini aku membayangkan bening matamu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku serasa teduh dan damai bagai selingkup dedaunan yang mendamaikan bumi kala panas. Kasih sayang semulia halimun surga yang engkau berikan dan kesetiaanmu yang hadir dengan kepulan romansa merah muda itu adalah suatu kemestian yang terus membakar semangatku, membakar harap yang akan dan harus kita wujudkan: harapan indah bahagia bersama seorang kekasih yang mencintai dan yang kita cintai.

Gadisku, maafkan aku bila ada lara yang tergurat di hatimu. Akh, seharusnya tak perlu kutulis: bila ada, sebab tentunyalah pasti ada. Hanya saja, ya … wanita memang makhluk yang paling pandai menyembunyikan rasa. Rasa cinta, rasa sakit, rasa lara, rasa rindu, rasa ini, rasa itu … dan bermacam-macam rasa hati lainnya yang selalu pandai untuk kalian sembunyikan. Aku sendiri terkadang berpikir, darimana ya kalian bangsa wanita belajar semua itu?

Cinta … maafkan aku yang mungkin penuh lemah, penuh luka di tubuh ini. Ya Sayang, kadang-kadang terlintas juga di benakku bahwa mungkin ayahmu itu benar. Aku mungkin memang tak sepantas dengan peri seindah dirimu. Seelok kamu dan semanis kamu. Kamu seorang calon dokter muda yang punya masa depan cerah, sementara aku … hanyalah seorang penulis tak dikenal yang sekedar menambatkan hidupnya pada angan, dan berharap dapat membuatmu selalu bahagia kelak waktu. Oh ya, sehabis ini kau juga berniat melanjutkan studimu menuju spesialis pediatri, ‘kan? Astaga, memang apalah artinya aku ini dibandingkan dengan dirimu. Andai seandainya bukan karena kepercayaan dan keseriusan dirimu padaku, niscayalah aku tak akan sanggup bertahan.

Sabar ya Sayang!... Nanti kita pasti bersama. Sabar! Nanti kita akan terbang bahagia selaksa sepasang merpati yang membawa surat ini. Riang seperti merekalah kita pastinya nanti.

Dahulu, tiga tahun yang lalu kita berjumpa, tanpa sengaja— atau tepatnya Tuhan memang menyengaja. Aku tengah tamasya ke negerimu. Pada sebuah halte di depan kampusmu. Hari hujan, tajam menikam, kau berteduh dan akupun berteduh. Waktu itu kursi panjang di halte itu telah penuh. Siapapun yang baru datang seperti aku mau tidak mau pilihannya berdiri. Kau juga telah berdiri duluan. Kita berdiri bersampingan. Awalnya kita sama-sama tak saling memedulikan. Namun, kemudian entah sebab kenapa kau menoleh pandang padaku; aku menoleh kepadamu: mata kita beradu tatap.

Kau tersenyum manis, sangat manis, betapa sangat manis yang tentu saja kubalas dengan senyuman manis, sangat manis, dan betapa sangat manis pula. Lalu ada yang membuka suara, entah siapa. Kita pun memulai obrolan ringan, dan kemudian entah sebab kenapa kita berdua bisa segera menjadi akrab. Sepertinya, ai … bukan, aku yakin Tuhan memang menyengaja.

Sayang, aku di sini telah sangat lama menantimu. Merindui kamu. Menanti untuk dapat bertemu. Untuk dapat segera menatap senyuman manis di atas dagu tirusmu. Cuap-cuap lucu seorang dara yang teramat teduh di hati teruna pecintanya.

Telah begitu lama aku tidak melihat senyummu sesudah terakhir senja itu kita bersua. Pertemuan terakhir kita sebelum ini di kala senja yang indah dengan tebaran cahaya kasih sayang yang merona berbinar. Andai seandainya hidup tidak pernah punya masalah, alangkah cerianya paras megah semesta yang indah ini.

Sayangku, aku sangat dan sangat sayang padamu!! Mungkinkah adanya kita bisa menuntaskan mimpi-mimpi indah kita ini?! Mimpi indah akan hidup yang menyenangkan. Mimpi indah berdamping di pelaminan. Mimpi menjadi keluarga yang bahagia. Keluarga yang indah Perlipku.

Setelah sekian tahun waktu berlalu dari hari ini, ketika putra kita mulai mengucapkan kata ‘Mama’ kepadamu, saat kita bersama-sama melihat lucu-lucunya ia belajar berjalan, suap demi suap kasih sayang selalu dan terus selalu kau berikan kepadanya. Pada saat itu hidup kita telah berjalan indah, sungguh telah berjalan sangat indah. Kau bahagia, aku bahagia. Kita bahagia bersama-sama.

Mengapa aku memimpikannya? Sayangku, jauh di sana kau tentu telah mengerti. Betapa sudah terlalu banyak kebencian dan kekejian di dunia ini. Sudah terlalu banyak. Misalkan, lihatlah saja tentang berita-berita korupsi di teve yang tak pernah usai, tentang orang khianat yang sibuk berjanji-janji lalu tidak lagi peduli, tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang akan makin terlantar meski kata undang-undang mereka dipelihara (atau memang beginilah cara mereka memeliharanya? mungkin, kalau orang miskin habis tak akan ada lagi yang bisa dibodohi?), tentang kekerasan yang hancurkan sana hancurkan sini, tentang cerita-cerita pembunuhan, cerita-cerita perkosaan, cerita penganiayaan, cerita-cerita yang …

Akh, lupakanlah saja semuanya Sayangku. Semua cerita buruk itu tak penting karena memang hal-hal buruk itu tak perlu penting buat kita. Menurutmu, di dunia ini selain kita, apakah masih ada ya orang yang saling mengasihi dan menyayangi se-eksentrik kita? Apa iya hanya tersisa kita berdua pasangan kekasih yang benar-benar dapat tulus dan apa adanya dalam mencinta? Apakah zamannya yang sekarang telah salah ataukah kita ini yang telah salah zaman?

Kekasihku, bersamamu aku merindukan keluarga yang damai. Merindukan keluarga yang sejuk-sejuk menentramkan hati. Aku tahu Perlip pun pasti ingin begitu, iya ‘kan? Tetapi, kita berdua masih harus berjuang dan bersabar bersama ya sayang ... Jalan terjal bercuram berliku menikung masih penuh di muka kita. Untuk sementara hanya kasih sayang inilah yang bisa selalu dan akan selalu bisa kita ukirkan.

Nanti, aku dan kamu pasti bisa berlayar di atas kapal cinta kita yang indah itu, berdua kita menjadi nahkoda meski mungkin saja setiap waktu lidah-lidah ombak yang ganas selalu menderu menerjang kapal kita. Jangan sedih gadis manis. Hidup akan terasa indah kalau kita nikmati. Bersama berdua akan kita hadapi.

Hei, kamu tersenyum ya? Meski jauh darimu di sini aku tahu kamu pasti tersenyum. Hehe.. kamu memang harus begitu. Jangan pernah bersedih ya Sayang, aku bingung kalau kau bersedih. Perlip harus selalu yakin akan harapan kita, kelak di hari esok kita pasti akan bersama. Kita menikah dan pindah ke sebuah pulau paling indah yang memang sungguh sangat terindah. Pulau yang tak ada lagi tandingan indahnya di dunia ini, di semesta ini bahkan. Suatu pulau yang memiliki keindahan seindah surga di bagian terselubung kehidupan ini. Di sana nanti hanya akan ada kita: aku dan hanya kamu, juga anak-anak kita tentu. Tidak lebih dan seharusnya memang tak perlu menjadi lebih bagi kita para pecinta.

Nanti, bilakah sore menjelang kita berdua menikmati manisnya waktu. Menikmati sedapnya kebersamaan. Bersama dengan saling bersandar kita duduk di tepian pulau menatap getaran ombak yang berkecipak basah, menghirup pekat aroma laut bergaram, menjuntaikan kaki supaya terasa lebih santai, pasir-pasir yang putih, ombak berdebur menghantar mestika.

Lalu, kita juga menikmati mulus elusan angin yang sendu di pulau, menggenggam segelas cappuccino hangat lalu kita bagi berdua, tentu saja kita akan menatap pantulan indah keemasan matahari sore pada permukaan air yang terkadang lucu serupa telur buatanmu yang bergelombang, pastinya pula pada suatu sore akan turun gerimis lalu kita bermain kejar-kejaran dan tertawa dalam rinainya, mungkin pula suatu saat kita akan memancing tanpa umpan— hanya sekedar untuk menikmati kebersamaan, atau mungkin juga kita akan bersikap serius melukis kembang edelwais walau kita berdua sama-sama tak pernah bisa melukis. Haha …

Lalu sayangku kita pulang, pulang menuju gubuk dari bambu berhias bunga-bunga yang sudah aku dan kamu dirikan. Menikmati semua keadaan yang ada tanpa sepotong pun percakapan hangat yang terucap dari bibir, namun hati kita selalu mampu merasakan hangatnya.

Di sana, di pulau itu aku hanya ingin ada kita berdua yang pertama, lalu nanti keturunan kita tanpa siapapun yang lain, tanpa iblis juga inginnya. Setelah itu kita akan membangun sebuah peradaban yang baru: Peradaban Cinta Kasih. Kejahatan tidak boleh dan tidak akan pernah diajarkan di pulau kita. Andai seandainya di dunia ini tak pernah ada iblis, Sayang …

Saat-saat kamu jauh dariku seperti sekarang ini, aku minta kamu jangan terlalu berlebih ya memikirkan aku. Percayalah aku selalu baik-baik di sini. Kata seorang penyair yang bernama Afsya Kemilau, “hidup hanya mengulang kisah, menanti lelah dalam sejarah”.

Kita ini hidup hanyalah sebagai pengembaraan. Engkau hanyalah pengelana. Aku hanyalah pengelana. Kita sama-sama mengembara dalam dunia yang fana. Jiwa aku, jiwa kamu, jiwa kita ini tidaklah utuh sempurna, dan tak akan pernah bisa menjadi utuh sempurna. Maka jangan pernah kita mencari ujung pelangi. Segala kesempurnaan terkadang bukanlah jaminan hati yang bahagia, Sayangku. Kebahagian itu datang ketika kita berkenan bersyukur. Seperti aku bersyukur memilikimu.

Perlip, aku hanya ingin bahagia bersama denganmu. Cukup hanya seorang denganmu. Karenanya di sisa masa sepiku yang ada, aku akan selalu bersujud memohon berdoa kepada Tuhan. Sekiranya saja aku bisa pergi menghadap Tuhan, Sayang. Pastilah aku akan segeranya menemuinya.

Kita akan pergi bersama-sama agar semua malaikat dan bidadari tahu bahwa betapa kita berdua benar-benar saling mencintai. Pabila nanti kita sudah bertemu langsung dengan Tuhan, aku akan meminta dengan segala kerendahan hatiku agar Tuhan berkenan mempermudah hubungan kita.

Kemudian, bidadari serta malaikat yang melihat kita pasti akan turut berdoa pada Tuhan sebab haru pada kisah cinta kita. Coba sejenak pikirkan Sayang, aku yakin pertemuan pertama kita waktu itu bukanlah tanpa kesengajaan. Tuhan pasti memang merencanakannya. Oleh karena itu, bila kesusahan ini adalah mauNya, mari kita jalani saja dengan indah. Astaga, sepertinya aku ini terlalu terbawa hati hingga rasanya ada air di pelupuk mata ini.

Sungguh, betapa terjal langkah-langkah yang sudah kita lalui hingga bisa berdiri kini. Sekian tahun lebih kita mencari tujuan sama dengan sisi yang berbeda. Ai … Seandainya ayahmu itu bisa di ajak berkompromi. Aku memahami perihal rasa sayangnya kepadamu. Seumpama sebuah pelukan begitulah cara ia menyayangimu. Tetapi sedihnya adalah beliau memelukmu dengan sungguh sangat eratnya, hingga kau pun sulit untuk bernapas. Dan lebih celakanya beliau tak pernah sadar akan hal itu?

***
Sayang, tengoklah merah lembayung di ufuk kota kita ini. Entah sekian tahun ke depan apakah masih mungkin kita bisa menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang manis ini, setelah nanti akan ada banyak gedung-gedung yang berdiri dengan angkuh. Keangkuhan yang begitu buruk, yang membatasi indahnya karunia Tuhan. Keangkuhan juga selalu berusaha membatasi cinta lewat perbedaan, namun aku tahu ia tak akan pernah menang. Dari sini sayup-sayup senja telah mengaji pertanda petang ini akan berakhir, pertanda waktu masih mengalir, dan malam akan lahir, maka surat ini juga akan berhenti berakhir. Aku harus berdo’a untuk cinta kita, Sayang. Tersenyumlah. Percayalah gadisku. Esok kita selalu bersama, pasti selalu kita bersama…***

(Sekayu, April 2010 – Agustus 2011) / Dimuat Sumatera Ekpres dan Harian Muba November 2011.
-Herdoni Syafriansyah

Sabtu, 24 September 2011

Pulang

Sibak-sibak mentari menatap dunia, pelan per pelan panasnya mengikis embun sedu di pagi ini. Hari ini 7 Oktober 1991 aku akan kembali ke daerahku. Sudah lima tahun aku tidak kembali ke Sekayu, rindu aku sungguh telah begitu rindu.

Sibak-sibak mentari menatap dunia, pelan per pelan panasnya mengikis embun sedu di pagi ini. Hari ini 7 Oktober 1991, aku akan segera melunaskan rinduku. Sudah lima tahun aku tak menginjak tanah kelahiranku, rindu sungguh aku telah begitu rindu.

O ya, mungkin sebagian dari kalian merasa asing dengan nama Sekayu, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin— sekaligus menjadi ibukota Kabupatenannya. Atau ada juga yang tadinya mungkin mengira-ngira, pasti Sekayu daerah Semarang itu? Bukan, bukan daerah Semarang.

O ya, mungkin sebagian dari kalian merasa tak asing dengan nama Sekayu, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin— sekaligus menjadi ibukota Kabupatenannya. Atau ada juga yang tadinya mungkin mengira-ngira, pasti Sekayu daerah Semarang itu? Bukan, bukan daerah Semarang.

Sekayu, daerah dimana aku dilahirkan adalah nama dari sebuah kecamatan yang kemudian menjadi ibukota kabupatenan dari Musi Banyuasin, sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten yang memiliki empatbelas kecamatan.

Sekayu, daerah dimana aku dilahirkan adalah nama dari sebuah kecamatan yang kemudian menjadi ibukota kabupatenan dari Musi Banyuasin— sebuah kabupaten yang terletak di antara 1, 3 derajat sampai dengan 4 derajat Lintang Selatan dan 103 derajat sampai dengan 105 derajat 40’ Bujur Timur. Memiliki luas wilayah 14. 265, 96 km2 atau sekitar 15 % dari luas provinsi Sumatera Selatan.

Sumatera Selatan, daerah di mana Kabupaten Musi Banyuasin dilahirkan… Akh, kurasa tak perlu kita terlalu jauh menyimpang. Hari ini aku akan pulang, aku telah terlalu rindu.

***
Beberapa tahun yang lalu ada sebuah kisah cinta yang tercipta di daerah itu. Beberapa tahun yang lalu ada sebuah kisah cinta yang tercipta di daerah Sekayu. Kisah cinta seorang remaja tanggung yang jatuh hati kepada seorang gadis yang bernama Mutiara, Tara panggilannya. Kisah cinta seorang remaja belia yang jatuh hati kepada seorang pemuda yang bernama Afsya Kemilau, Afsya panggilannya.

Bak gayung bersambut pucuk cinta ulam pun sampai, mereka rupanya sama rasa. Tara pun jatuh hati kepada pemuda tanggung itu. Bak gayung bersambut pucuk cinta ulam pun sampai, mereka rupanya rasa sama. Afsya pun jatuh hati kepada gadis belia itu.

Mereka menjalin kasih dengan akur, dengan cinta kasih. Seperti kekasih dilanda cinta pada umumnya, mereka sungguh sangat berbahagia. Mereka menjalin kasih dengan akur, dengan cinta kasih. Seperti kekasih dilanda cinta pada umumnya, mereka bersama hampir tujuh tahun dan mereka hampir akan menikah. Namun …

Semenjak bertemu orang Palembang itu, aku menjadi sangat rindu pada Sekayu. Aku menjadi sangat rindu pada seorang gadis yang bernama Tara. Wanita yang seharusnya telah aku nikahi enam tahun lalu.

Semenjak bertemu Somad, orang Palembang yang pandai bermain gitar dan menyanyi itu aku menjadi sangat rindu pada Sekayu. Aku menjadi sangat rindu pada seorang gadis yang bernama Tara. Wanita yang seharusnya telah aku nikahi enam tahun lalu.

Sebab kami sama-sama orang rantauan maka kami pun cepat akrab. Sebab aku dan Somad sama-sama orang rantauan maka kami pun cepat dekat. Ia memperdengarkan aku sebuah lagu yang katanya lagu daerah Musi Banyuasin kini. Ia memperdengarkan aku sebuah lagu yang berjudul Kuyung Jauh yang katanya telah menjadi lagu daerah Musi Banyuasin kini.
Sejujurnya aku merasa tersinggung. Sejujurnya lirik lagu itu halus menyindirku.

Lagu ini sudah lama tersebar di Sekayu? Aku bertanya. Lagu itu sudah lama tersebar di Sekayu, Somad menjawab. Waktu aku pergi dahulu lagu itu belum ada. Aku bertanya siapa penciptanya … Waktu aku akan pergi setahun lalu lagu itu sudah ada, tapi tidak tahu siapa penciptanya.

Dan, kemudian lagu inilah yang terus memukulku tiap waktu untuk segera menyelesaikan kuliah dan segera melamar Tara. Lagu inilah yang setiap hari selalu menghantui pikiranku. Mengingatkan aku pada janji yang harus segera aku tunaikan akan dirinya.

:

Ngape kuyung ninggalke dusun …
Nyubo mencari di tempat ughang
Kite’ bepisah be taon-taon …
Ape dag indu di sanak kadang
Di sanak kadang ...


Akan selalu ada rindu pada setiap kepergian. Akan selalu ada nyala pada setiap kehilangan. Dan, jarak kita apakah ia saling mengucap?(2)

Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin aku tidak merindukan keluargaku? Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin aku tidak merindukan dirimu? Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin, Sayang …

Masih kecik mandi di Sungai
Batang tepian di tengah kampung
Amon cinto ngape nga laghai
Kapanke balek nag mangon kampung
Nag mangon kampung …


Setiap sore, menjelang senja matahari dengan cahaya keemasan berbinar menatap kita. Setiap sore, menjelang senja kita dengan tatapan berbinar menatap cahaya matahari keemasan. Aku dan kamu dan cintaku dan cintamu, selalu melakukan itu sebelum saling siram pada dinginnya Sungai Musi. Menghirup udara pepohonan, bersenda-gurau. Menatap dan mendengar gelak tawa ibu-ibu yang mencuci di atas batang tepian Sungai Musi. Kita berdua bersuka, bahagia bersama. Tapi, terkadang, kebersamaan itu seolah tak pernah berharga, hingga ketika kita benar-benar tak lagi bersama. Ketika itulah kita baru menyadari bahwa ada kasih sayang yang sesungguhnya benar-benar berharga.

Sanak jauh dulur pun jauh
Cuma ngunde badan sebatang
Amon kite’ samelah jauh
Atiku indu serte takenang
Serte takenang …


Kalau kita sama-sama jauh hatiku pun rindu juga terkenang. Aku terkenang manis masa-masa bersamamu. Kalau kita sama-sama jauh hatiku pun rindu juga terkenang. Setiap waktu bersamamu kurasakan wangi dalam hidupku, bagai lunas kesturi surga basah menyiram jiwaku.

Ingatlah musim Seluang mudik
Kite’ nangkul di pinggir Musi
Amon kuyung dag endak balek
Tandenye kuyung dag cinto lagi
Dag cinto Lagi ….


Aku, sekali pun kucoba berhenti tetaplah saja akan bermekar ingin ini. Aku, dalam derai-derai tapak langkahku. Air yang masih juga berkecipak lembut. Musim yang pergi akan selalu kembali. Aku di sini masih selalu menanti, bersabar dan menahan harap dalam dinding kerinduan yang terus bergaung, menggema ke seluruh penjuru pelosok-pelosok perkampungan hening jiwaku lewat lolongan dan erangan pemberontakannya.

Aku, sekali pun kucoba berhenti tetaplah saja bermekar ingin ini. Kucoba membujuk hati ini untuk bisa bersama-sama berenang mengikuti eratnya arus mengikat namun akhirnya tak bisa, aku tak bisa untuk sebuah harapan yang terus bergelolak membuncah merajai hatiku. Dengan semua kenyataan ini, maka tak perlu kau ragu lagi aku pasti kembali.

Malam ini, saat ini aku sungguh telah begitu lelah. Gerimis yang menari berguguran di luar terus saja membisiki batinku agar segera pergi ke peraduan tidur. Malam ini, saat ini aku sungguh telah begitu lelah. Dinginnya lembaran malam yang mendekapku di sini terus saja membisiki batinku agar segera pergi ke peraduan tidur.

Kutatap kering jam dinding yang tersenyum dengan sunggingnya yang terukir ke sudut kiri, sepertiga malam. Kutatap kerling jam dinding yang menggantung tepat di sudut atas tatapan bolamataku, sepertiga malam. Sepertiga malam dan bolamataku terasa sungguh sangat lelah, ingin segera kuhilangkan semua penat ini namun aku tak bisa. Aku tak bisa sebelum segala persiapan dan barang bawaan mudik ini selesai kurampungkan. Selesai kurampungkan saat ini, bilakah besok mungkin takkan sempat lagi. Harus kurampungkan saat ini, sebab aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin.

***
Aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin, menjumpai wanita yang mustinya aku nikahi enam tahun lalu. Aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin, menuju tanah yang tak pernah aku tapaki semenjak lima tahun lalu.

Aku harus segera kembali ke Sekayu, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu tahun ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu bulan ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu minggu ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu hari ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku.

Aku harus segera kembali … Aku harus segera kembali ke Sekayu tahun ini. Harus segera kembali ke Sekayu bulan ini. Segera kembali ke Sekayu minggu ini. Kembali ke Sekayu hari ini. Ke Sekayu saat ini. Aku harus segera kembali ke Sekayu, secepatnya!

Aku harus segera kembali ke Sekayu. Segera aku harus kembali, sebab aku mencintai : keluargaku, kamu, dan tanah kelahiranku.***

(Sekayu, 21 Agustus – September 2011) Herdoni Syafriansyah
-hanya sebuah cerpen sebagai kado buat Musi Banyuasin tercinta, met ultah ya-

Catatan Kaki

1.Kalimat yang bercetak miring dalam cerpen di atas adalah merupakan penggalan-penggalan dari syair lagu Kuyung Jauh. Lagu tersebut merupakan lagu daerah khas Musi Banyuasin.

2.Diambil dari salah satu penggalan puisi Herdoni Syafriansyah yang berjudul Aku Sekedar –2. Berikut versi lengkapnya :

AKU SEKEDAR ( 2 )
:Nda

masihkah engkau di sana
menanti aku
bersama petik gitar yang
pernah kuajarkan

masihkah engkau hapal eja namaku
bersama rapal abjad yang
pernah kubariskan

ternyata pertemuan
hanya menghadirkan
kehilangan
sebab, perjumpaan
sekedar mula
kepergian

masihkah di sana rambutmu terayun, Nda
bersama angin yang terurai merengkuh
kenangan

akan selalu ada rindu
pada setiap kepergian
akan selalu ada nyala
dalam setiap kehilangan
dan, jarak kita apakah ia
saling mengucap

Nda, masihkah engkau
di sana nunggui aku
bersama sepiring rindu
yang nyala
sesudah waktu
terlampau jauh
dari
sepi

Sekayu, 23 Juli 2011


-
Herdoni Syafriansyah lahir di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 7 Oktober 1991.
Ia adalah seorang muda pecinta sastra, penikmat kopi, dan penyuka pindang patin.

Rabu, 14 September 2011

Deradedapak

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Di sini, senja yang kelabu berpendar menipis tersingkir berganti pekat aroma malam. Udara yang dingin terasa mencucuk menembus hingga sumsum tulang rusuk. Perlahan kilau mulai meremang.

Meski hari mulai gelap, namun samar-samar masih bisa kulihat hijau daun jagung yang bergoyang kuyup. Enam kaki sebelah utara dari posisiku duduk santai memandang tenang. Derik-derik jangkrik sepertinya akan memulai pesta di antara damai malam hutan ladang. Langit ungu yang membentang terlukis cerah setelah sore hujan tumpah puas di daerah ini. Lampu duduk kami dinyalakan. Nyala apinya bergoyang terhembus angin. Uwak Anangku masuk ke dalam pondok. Ia selesai mandi di tepian, dari sebuah sungai kecil belakang gubuk kami.

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Kepenatan kuliah telah berakhir. Teman-teman mengajak ke Palembang, tidak aku ikuti. Aku lebih menginginkan nuansa kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan (tidak kukatakan). Kurasa suasana seperti itu lebih cocok untuk kunikmati sekarang.

Aku memang sudah tidak terlalu berlebihan lagi dalam perkara pergi jalan-jalan. Apalagi ke tempat yang tidak baru. Kalau nanti ada yang mau mengajak pergi ke sebuah kota, aku pengennya keluar provinsi. Tetapi, aku masih seorang pelajar yang belum mapan. Tentu aku tak punya banyak uang, serta juga tak punya tujuan tepat tempat yang bermanfaat. Kalau bisa, bila nanti pergi aku ingin dapat bertemu dengan seluruh –kalau bisa- sastrawan-sastrawan yang hebat.

Bilakah ada jodoh dari Tuhan, aku ingin bisa ikut Temu Sastrawan Indonesia. Sebab keadaan itulah maka libur kali ini aku memutuskan untuk sekedar bersantai ke rumah Uwak, Desa Sindu. Desa tempat Uwakku ini adalah daerah penghasil karet. Seluruh penduduk di sini menyambung hidupnya dengan menyadap karet dan berladang.

Tempat ini, Desa Sindu adalah wilayah yang masih berupa desa swadaya. Jalanan transportasinya masih berupa tanah merah dan rumah penduduk yang ada saling berjauhan, jarak terdekat mungkin sekitar 500 meter. Setiap satu rumah, dikelilingi oleh tanaman karet atau tanaman tani ataupun tanaman kebun. Sehingga, daerah ini akhirnya masih berupa sebuah hutan yang sangat luas. Hutan luas yang alamnya mengalirkan kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan.

Malam terus berjalan. Udara di sini begitu dingin. Bintang di langit satu-satu mulai muncul. Bintang kecil kedip-kedip. Paling benderang bintang utara ( bintang itu tak bergerak. Bergeming. Konstan. Semakin menyala…), aku masih duduk di teras depan memandang hamparan langit.

Di dalam pondok tak ada teve, tak ada lampu listrik, tak ada listrik, sebab di sini memang tak ada listrik… damai nuansa malam membuatku merasakan kesejukan hati.
Udara yang mengalir begitu tenang. Kalau di Sekayu, terkadang malam-malam begini, rumah-rumah mengeluarkan lantunan aneka musik. Sebelah kiri remik, kanan dangdut, di sana tembang lawas, di sini karaokean. “Ayo Bik, keong racun… Sikat…!!!”

Uwak menyuruhku masuk ke dalam. Aku menatap Uwak dengan lembut.

“Masih mau di luar, Uwak,” kataku, “biar menikmati malam”.

Tapi Uwak tak acuh, ia bersikeras agar aku harus masuk. Aku tersenyum, tak punya pilihan. Kuayunkan langkah ke dalam pondok. Tidak marah, tidak kesal, biasa saja. Lampu bergoyang meremang-remang. Bayangan pada dinding turut bergoyang. Di dalam pondok kami, Uwak Ine (sebutan kami untuk wanita istrinya Uwak Anang) rupanya sudah menghidangkan kopi panas dan singkong rebus. (Sesungguhnya aku tidaklah suka singkong, tapi aku sangat suka kopi).

Aku tersenyum menatap Uwak Ine. Jadi, ini toh pikirku alasan kenapa aku disuruh masuk? Kami duduk ala kadarnya menghampar di lantai. Uap harum mengepul saat aku mendaraskan air kopi ke dalam gelas. Gelasku terisi hingga kopinya hampir sejajar di bibir gelas.

Meski tak suka, tetap kucoba singkong itu. Kata Ibu, “kalau orang memberi harus hargai.”

Di tengah hangatnya kebersamaan kami, Uwak pun memulai percakapan. Kemudian Uwak bercerita kepadaku mengapa aku tidak boleh berada di luar pondok jika malam. Begitu mendengar, “tidak boleh berada di luar pondok jika malam”, sekejap di pikiranku terlintas wajah Si Jagur, anak ayam jago peliharaan adikku. Lalu, dengan khidmat akupun mulai mendengarkan cerita Uwak.

Maka beginilah yang ia ceritakan padaku malam itu:

Di hutan ini ada seekor makhluk yang mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh yang sama seperti manusia. Hanya saja matanya merah tajam menyala-nyala, kulitnya kuning serupa telur dan ditumbuhi duri-duri lancip yang panjang, tubuhnya setinggi balita, dan makhluk itu memiliki telapak kaki yang terbalik: tumit di depan; jari-jari kaki di belakang. Masyarakat asli sekitar menyebutnya dengan nama Deradedapak atau sekedar Derapak.

Bila malam mulai menitis, ia akan merayau manusia untuk dikunyah. Sebab itulah adalah haram bagi masyarakat Desa Sindu untuk keluar pondok kala malam. Uwak memang belum pernah melihat langsung makhluk bernama Deradedapak ini. Tetapi, begitulah turun temurun rupa kisah yang diwariskan itu. Kisah yang diwariskan kepada anak dan kepada para pendatang.

Waktu Uwak kemari satu tahun lalu pun juga diceritakan begitu. Bukankah di mana bumi dipijak di situ langit di junjung, di mana kita berada di situ kita berhukum? Lebih baik bila kita menuruti ketimbang kita melanggar larangan adat?

Uwak menyeruput kopi panasnya. Aku hanya tersenyum mengangguk. “Apa iya?” pikirku. Aku tak memercayai cerita Uwak. Bagiku dongeng perihal hantu itu tak pernah nyata. Sejak dahulu, orang-orang melayu memang terkenal ahli mendongeng.

Dahulu, waktu kecil, ibuku juga sering bercerita perihal serupa. Ia selalu bercerita padaku bermacam-macam kisah makhluk seperti— kisah hantu terang bulan, hantu gelap balam, hantu wewe magrib, hantu kemang, hantu kung, dan macam-macam kisah lainnya. Aku percaya waktu itu, tapi tidak untuk kini. Aku telah dewasa, juga mengenyam pendidikan sekolah.

Adanya jin aku percaya, tapi tak ada penjelasan ilmiah untuk semua cerita hantu tersebut. (Melainkan demi kepentingan orang tua dalam mendidik anak?). Deradedapak? Akh, itu tidaklah lebih dari hanya sekedar cerita yang diwariskan oleh orang-orang dulu, agar anaknya senantiasa berada di dalam rumah ketika gelap malam. Mungkin supaya terhindar dari bahaya hewan buas sekitar hutan. Ya, lebih baik kita pura-pura bodoh saja.

Malam merangkak perlahan. Derik jejangkrik semakin ramai berlomba-lomba. Laron-laron yang mati di sekitar temaram lampu pun semakin menumpuk. Aku merasa kantuk dan Uwak pun merasa kantuk. (Tak ada hal yang bisa dilakukan di tempat yang tak ada listrik—suasana hari yang malam—serta sempurna tidak boleh keluar pondok, kecuali tidur). Uwak Ine telah tidur, Uwak beranjak masuk ke bilik kamarnya. Dan aku pun ke kamarku.

Aku berbaring menggenggam ponsel. Mengutak-atik pilihan menunya. Biasanya saat di rumah, sebelum tidur aku selalu menyempatkan diri browsing situs-situs cerpen untuk mencari tambahan bacaan. Sekedar karena hobi dan menambah-nambah ilmu. Dan beberapa ruang bacaan yang beruntung karena sering mendapat kunjunganku, ialah: Tukang Kliping, Sriti.com, Lakonhidup. (Ya, ‘mereka bertiga’ sangat beruntung karena bisa mendapat kunjungan dari seorang calon penulis besar seperti aku).

Makin lama badan dan mataku terasa makin lelah. Tanpa listrik dan jaringan selular aku bisa apa? Ponsel kembali kusimpan pada saku celana kanan. Kantuk pelan-pelan mulai merayapi wajahku. Aku membebaskan kantuk, menguap…

Baru saja hendak lelap aku teringat sebuah buku kumpulan cerpen di dalam tas. Buku ini sebenarnya telah khatam akubaca, namun aku tak biasa tidur se ‘sore’ ini. Jam digital pada ponselku tadi, kalau aku tak salah ingat masih menunjukan angka 20.22 WIB.

Teringat akan buku itu membuat kantuk yang tadi menggelayut di kepalaku kini mendadak sirna. Bulan Celurit Api, sebuah kumcer tunggal kedua dari seorang cerpenis Sumsel bernama Benny Arnas. (Sebelum aku berangkat ke sini siang tadi, sebenarnya aku juga ingin membawa sebuah buku kumpulan sajak Eko Putra: Aku Serigala yang Merdeka Karena Cinta. Namun entah mengapa aku terlupa, aku merasa buku itu telah kumasukan ke dalam tas, namun ternyata sekarang tak ada).

Aku mengambil Bulan Celurit Api dan kembali telentang seperti tadi. Mengulang kembali membaca lembaran-lembaran cerpen dalam bukunya, bedanya sekarang aku ingin belajar untuk menganalisis karakter suatu tokoh yang ada dalam tiap-tiap cerita-cerita tersebut.

Menurutku: dengan menganalisis karakter suatu tokoh dalam suatu cerita fiksi, kita dapat belajar memahami karakter manusia secara tidak langsung, setidaknya untuk sekedar pembelajaranku yang masih tertatih-tatih dalam menulis ini. (Pendapat pertama itu aku kutip dari sebuah bacaan yang kemudian aku lupa entah di mana membacanya).

03.05
Angka penunjuk waktu yang tertera di ponselku. Aku mengucek-ngucek mataku dengan malas. Bulan Celurit Api tergeletak di samping lenganku. Tadi sepertinya aku tertidur, entah jam berapa. Aku merasa harus membuang sebagian air dalam tubuhku. Kata dokter aku mengidap nocturia, yaitu sebuah kondisi di mana penderitanya sering terbangun dari tidur untuk buang air kecil di malam hari. Aku ingin membuka pintu belakang dan kencing di luar, namun belum sempat aku menarik kunci pintu mendadak aku ingat akan cerita Uwak sebelum tidur tadi.

Tengkukku terasa merinding. Kucoba mengintip dahulu dari bilik dinding. Ada temaram yang agak terang sebab hari telah menjelang pagi. Pohon jambu klutuk yang samar. Kunang-kunang di kejauhan. Dan… tak dapat kupercaya apa yang kulihat. Jantungku berdegup kencang. Mendadak tubuhku terasa dingin. Nyaliku menciut. Kucari celah ruang di lantai, buru-buru kencing dalam ketakutan. Aku kembali berbaring berniat tidur, akan tetapi, kepanikan melebihi niatku.

***
Paginya aku melihat jejak langkah. Aku turun melalui dapur menyelidiki. Sebuah tapak yang seperti bermuara dari sungai di belakang pondok, lalu langkahnya menuju ke arah pondok, seolah berputar mengitari pondok, lalu menghilang ke arah utara kebun jagung Uwak. Aku tercenung memikirkan hal ini. Kesimpulanpun di dapat: hari itu juga aku pamit pulang ke Sekayu. (Rencanaku menginap di tempat Uwak awalnya empat hari).

Tak ada lagi malam-malam berikutnya di tempat Uwak. Ketika aku pamit dan menceritakan hal itu, kedua uwakku hanya tersenyum dan berkata kompak: menginaplah kembali di lain waktu. Aku pulang naik motorku. Jalanan tak diaspal penuh batu. Dalam hati aku hanya tertawa, dalam takut aku hanya tertawa, sungguh cerita itu...***


( Sekayu, Maret - April 2011 ) Herdoni Syafriansyah.

Selasa, 05 Juli 2011

Menunai Janji yang (Tak) Tertunai

Tidakkah gadis itu mengerti jikalau aku berjuang demi dia dan memang hanya demi dia ?

Oktober 1991

Pagi minggu, Amir yang baru saja selesai wisuda bersiap kembali menghirup udara desanya. Lima tahun sudah dirinya tak pernah kembali, tak melihat arus air desa yang bernyanyi pasang-surut. Bukan ia tak rindu sanak-saudara, bukan pula lupa kasih keluarga. Tapi demi seikat janji yang harus ditunaikan kepada orangtua pujaan. Janji pembuktian, keseriusan cinta seorang teruna kepada dara yang ingin sekali di pinangnya. Merindu agar sanggup bersanding di pelaminan kelak waktu. Gelar sarjana telah ia jabat, meski sekedar strata satu namun adalah prestasi gemilang bagi anggapan orang-orang desa Amir. Bagaimana tidak, di desa Amir, selain Pak Ipul— kades setempat— hanya kepala sekolah SMP Ayo Maju yang sanggup memajang gelar itu (tak ada SMA di desa Amir).

Berkemas Amir bersiap pulang, ia benamkan pakaiannya ke dalam tas besar yang dibawa kala merantau ke kota lima tahun lalu. Tas yang hanya bertambah lusuh di dekap waktu, tak terganti karena rezeki hasil kerja sambilannya hanya Amir manfaatkan untuk makan, membeli keperluan kuliah, dan sedikit lebih ada uang Amir luangkan untuk sedekah. Sebelum jarum jam menunjuk langit, tiga noktah di atas angka ke kiri Amir telah meninggalkan kota tersebut.

***
Merah lembayung di barat desa. Sore itu, sebuah catatan sejarah akan terhidang di kampung halaman Amir. Untuk pertama kalinya seorang dara asli desa setempat di persunting oleh seorang tentara, teristemewanya lagi tentara tersebut adalah seorang jenderal. Janur telah merunduk, tenda telah berdiri dimegahkan. Sebuah pesta terbesar, termegah nan juga termewah akan segera tercipta di kampung ini. Ibu-ibu meliuk membuat kue—memasak lauk—mengelap piring—dan sesekali meneriaki anaknya agar tidak terlalu jauh bermain, sedang para lelaki: asyik-masyuk bermain gaplek sembari menanak dan menanti masaknya air. Semua seakan begitu bersuka, begitu bahagia akan pernikahan yang akan di gelar esok tanpa sadar bahwa malam nanti adalah malam penuh lakon yang pelik.

***
Senyum mengepul berbaur tangis sembab yang meruah, tak terhindar lagi dari gurat tua wajah Aminah kala ia melihat anak laki sulungnya berdiri di muka pintu. Meski malam meremang-remang namun matanya masih pandai untuk mengenali raut cinta di wajah itu. Lima tahun sudah mereka tak bersua, tak bicara, tak memeluk, tak saling berkata “anakku-ibuku”—kini semua itu mereka khatamkan dalam pelukan, pelukan erat anak-ibu yang terpisah jarak berpaut waktu sekian lama. Pecahlah tangis mereka tak terbendung bak mendung melepas sesak gumpalan airnya yang tertahan.

“Bu, apa yang terjadi?” Seorang gadis terdengar berteriak diringi sayup-sayup berderap bunyi cepat melangkah.

“Sri… Lihatlah, Nak !! Lihat siapa yang datang ke rumah kita…”

Amir masuk ke dalam rumah kayu mereka yang telah lapuk itu. Matanya tertuju kepada seorang gadis ayu belasan tahun yang barusan berlari dan tengah berdiri menatap tajam dirinya.

“Owh… Kakak…!!” Pekik gadis itu setelah memastikan itu Amir dan langsung memeluknya.

Mereka segera bersapa kabar. Amir tersenyum mendengar riang adiknya. Ia keluarkan photo wisuda-nya beserta ijazah sarjana yang telah ia raih dari hasil perjuangan selama lima tahun. Sekiranya tidak harus bergempur dengan kerasnya hidup sendiri di kota, pastilah menjadi lulusan Cumlaude pun Amir sanggup.

“Bu, besok Amir akan ke rumah Tara. Menemui ayah dan ibunya untuk melamar Tara, lalu setelahnya Amir akan melamar kerja di kelurahan. Dengan gelar seorang sarjana pastilah Amir tak akan ditolak kerja di kelurahan.” Amir berujar disertai sumringah senyum kebahagiaan menatap keluarganya. Bahagia tak dialang tersirat di benaknya karena akan segera memetik manis ranumnya buah perjuangan yang telah sekian tahun ia tanam. Namun aneh, adik dan ibunya seperti tak menikmati kebahagiaan hatinya. Mereka hening, gigil, bisu, menunduk layu dan lesu. Amir pun menangkap keanehan rasa itu.

“Bu, ada apa ?! Tara masih hidup kan bu?!” ucap Amir pelan namun penuh desakan. Aminah terdiam, hanya menatap dalam-dalam wajah susah anaknya yang bisa ia lakukan. Tak kuasa ia jelaskan kebisuannya.

“Bu, ada apa… katakan padaku?! Kumohon bu!! Aku mohon…”

Oh!! semakin Amir mendesak, semakin bertambah pula gerimis rinai tangis di wajah Aminah, ibunya.

“Ayo bu… aku telah dewasa!! Ceritakan saja apa masalahnya!!” lagi-lagi Amir mendesak.

“Ibu, jadi rupanya Tara memang telah meninggal ya?!”

“Tidak kak, dia masih hidup. Dan mungkin sangat bahagia, tengah sangat berbahagia!!” ucap Sri yang segera memotong pembicaraan sebab tidak tega melihat kakaknya begitu tersiksa rasa keingintahuan. Satu dua detik berikutnya lepas melepaslah air mata Sri meruah di bening pipinya tak terhirau.

“Apakah ia bahagia karena telah tahu perihal kedatanganku malam ini?!”

Semua terdiam dan Amir sejenak tertegun.

“Oh… tidak !! Tak ada satu pun orang kampung ini yang tahu perihal kepulanganku hari ini. Jadi… jadi…” Amir terus berguman di dalam hati. “Adikku… tolong ceritakan sebenarnya perihal apa yang telah terjadi dan musabab apa kalian menangis dalam kebahagiaan Tara?”

“Bukan perihal bahagianya Tara yang membuat kami susah, Kak. Namun karena…” Sri tercekat, pedih semakin memerih di ceruk dingin hatinya.

“Karena apa adikku ?! Ayolah, jangan semakin kau buat bingung kakakmu yang lelah ini…”

“Besok, gadis itu akan, menikah. Dengan, seorang tentara, berpangkat Jenderal. Ya, Tara akan menikah kakakku,” ucap parau Sri terbata-bata dalam isak sedih diiringi tangis sedu sedan ibunya yang ikut memilu.

“Apa adikku, Tara akan menikah? Benarkah ?! Tidakkah gadis itu mengerti jikalau aku sedang berjuang demi ia. Kutinggalkan kampung halaman—rumah kita, demi menunai janji atas pintaan bapak-ibunya: ‘kan kusunting Tara kala aku bergelar sarjana dan telah bekerja.” Ya, adikku, itulah kata-kata yang aku ucapkan pada bapak pada ibunya atas ucapan mereka kala aku akan meminang Tara enam tahun lalu. Mereka menolakku dengan alasan takut jikalau Tara akan menderita bersamaku, karena kita miskin—sebab ayah telah tiada. Dengan kata-kata: sekiranya kau benar-benar sungguh hati pada anak kami, jadilah dahulu seorang sarjana. Bekerja dan berikan kami kepastian nafkah.

“ Sekarang… saat aku kembali, apakah ini yang harus aku dapatkan?! Telah lupakah ia akan secarik kertas yang pernah ia selipkan dalam hatiku?!” Amir berguman, “Oh… tidak !! aku harus menemui Tara!!”

Amir menurunkan tas besar yang ia sandang, diambilnya sebuah kertas yang masih terlipat rapi dari dalam kantong tas tersebut. Ia berdiri dan berusaha berlari sesegera mungkin.

“Amir!!”

Terhentilah pemilik kaki yang hendak melangkah itu mendengar ibunya memanggil.

“Kau tidak akan membuat kerusuhankan, Anakku?!”

Amir tersenyum, cukuplah senyumnya mewakili jawaban atas pertanyaan Ibu.

“Jaga diri!! kakak… ” Lirih peduli suara Sri.

Amir berlari keluar rumah. Segala daya ia kerahkan menempuh gelap malam walau tubuhnya serasa remuk tertelan lelah dan hatinya patah teriris perih. Demi cinta yang susah mati ia perjuangkan, demi kesungguhannya sebagai lelaki—sekuat tenaga Amir berlari, menghantam apapun yang menghalangi berharap secepat mungkin dapat menemui Tara. Terang bulan sebagai pemandu, dingin malam tak lagi ia peduli. Berlari dan terus berlari. Oh… masih hapal betul lelaki itu akan rumah kekasihnya yang berjarak hampir dua kilometer itu.

***
Sayup-sayup gelak tawa terdengar, keramaian orang-orang berkumpul telah terlihat. Amir mendesah berurai peluh. Sejenak lelaki itu berhenti mengatur napas, lalu kembali meneruskan langkahnya. Ia berjalan pelan dalam gelap menuju ke arah keramaian itu tapi tidak menghampirinya. Amir menghindar dari keramaian, ia menyelinap menuju ke jendela kamar dimana di sana ada seorang wanita yang tak pernah berhenti ia harapkan untuk bisa menjadi pengantinnya kelak waktu.

Tepat di samping jendela kamar Tara kini Amir berdiri. Di intipnya dari celah jendela kayu tersebut sang Kekasih tengah mewarnai kukunya bersama beberapa orang gadis desa sahabatnya. Amir mengeluarkan lipatan kertas yang ia taruh di kantung celana, lipatan kertas yang Tara berikan lima tahun lalu sebelum dirinya merantau untuk menjadi sarjana. Dengan penuh keyakinan Amir lemparkan lipatan kertas itu melalui lubang angin di atas jendela kamar Tara.

Plak...

Tepat di atas pangkuan Tara kertas itu terjatuh. Tara mengambilnya, membuka pelan lipatan kertas itu dan... berbinarlah mata gadis itu, antara pilu-haru-rindu dan bahagia-tawa-suka itulah warna yang terlukis dari rona binaran matanya. Tara menatap jendela, lalu meminta semua sahabatnya untuk keluar. Begitu semuanya pergi—segera Tara beranjak menuju jendela, membukanya dan... ya tamatlah cerita riwayat rindu mereka malam itu dalam lekat pelukan sepasang insan.

“Hey lelaki bodoh, kenapa lama sekali kau kembali?! Tak mengertikah engkau betapa berat aku menanti?! -Sergah manja Tara setelah melepas pelukannya.

Hidupku, kalaulah tidak karena menunai janji pada ayahmu—manalah mungkin aku akan pergi ke kota. Tak mengertikah engkau betapa pedih-perih hidup dalam perantauan?! Tak akan menangis seorang lelaki karena di pukul, namun tersiksa jauh dari keluarga… pun bagaimana tegarnya diriku tetaplah seorang manusia biasa pada umumnya. Tak tahukah engkau bagaimana kecemasanku meninggalkan adik perempuan dan ibuku sendiri di sini?! Setiap malam selalu aku berdoa agar tuhan menghindarkan adik dan ibuku dari apapun keburukan yang ada karena penjagaanku tak sampai terhalang jarak. Kuredam pedih perih itu demi menggapai harapan kita, harapan untuk bersama bersanding di pelaminan. Namun mengapa di saat aku pulang… kau lenyapkan harapan itu dengan hiasan janur di depan rumahmu?! Tak lagi pedulikah engkau akan sajak di tanganmu yang pernah kau berikan padaku lima tahun lalu ?!

Sejenak Tara menatap lembaran kertas di tangannya.

Saban waktu selalu aku membaca sajak itu hingga menjadikan aku benar-benar hapal akan tulisanmu itu—menjadikan ia sebagai penyemangatku, pengingatku akan dirimu, dan penepis godaan dari moleknya gadis-gadis kota. Akan aku bacakan sajak itu untukmu agar kau tahu kalau aku benar-benar mengingatnya.

:

Kepada: Dirimu

Demi Harapan Aku dan Kamu

Titiskan terista tertahan
canda-ilah gigil cerita
rapikan gugur tegarmu
sayangi dunia cintaku

bila waktu kian cemas
pelan
perlahankan langkahmu

Lihatlah lihat mereka kini
kau telah meraihnya
kau tahu arti malam
tak ‘kan ada tanpa siang

sabarlah cintaku

bila dunia memberi perih
tentu senyum setelahnya

jangan tangisi duriduri itu-sayang
jangan kau tangisi
karena di hadapanmu :
sayup-sayup keindahan telah terlukis

tak inginkah kau gapai teduh malammu
setelah terik siang menyengatmu

tersenyumlah cinta…

dunia selalu begitu


Oh, tak terbendung lagi aliran tangis di lekuk hidung gadis itu. Tak ia sangka sajak sederhana yang ia tulis lima tahun lalu masih tersimpan rapi dan bahkan telah terpateri di hati kekasihnya—yang bahkan ia sendiri pun tak pernah menghapalnya.

“Tara… aku tahu melalui sajakmu—kau berniat memberi semangat padaku. Berhasil, usaha itu berhasil sayang. Sesuai harapan bapakmu aku tak pernah kembali sebelum menjadi sarjana. Namun sedihnya, mengapa orang yang telah memberikan aku semangat untuk tidak menyerah itu justru menyerah di saat selangkah lagi mimpinya-kita akan tertunai.”

Tara menangis terisak pilu.

“Sedetik pun aku tak pernah menyerah cinta, tapi apalah dayaku tanpamu. Tiga bulan lalu tentara itu melamarku. Apa kau tahu kalau aku hanya bisa menangis ketika Ayah-Ibu mengiyakan lamarannya?! Lima tahun kau tak kembali, tak pernah ada kabar, oh… kukira kau pasti telah terpikat akan memesonanya gadis kota.”

“Bagaimana bisa aku menggantikan dirimu dengan sosok gadis lain? Kau adalah gadis yang telah belasan tahun aku harapkan untuk menjadi istriku. Belasan tahun aku setia padamu dan itu takkan berubah hanya karena kau tak di sampingku. Harusnya kau tahu dan seharusnya kau mengerti itu!!... Dan jelaskan padaku hidupku: bagaimana caranya untuk mengirim kabar bilakah aku tak boleh kembali oleh ayahmu sedang kantor pos apalagi jaringan telepon tak ada di kampung kita ini?!”

Tara terdiam, suasana hening untuk sesaat, lalu...

“Kupikir… aku akan segera bersanding dengan dirimu sepulang ini, ternyata…”

Amir kembali berujar namun tak selesai. Sesak menyesak terasa panas memukul dada hingga terlalu sulit ia untuk menyelesaikan kalimatnya. Airmata meleleh menggores pipi. Kebisuan menyelimuti pekat malam yang raya. Hening dan hanya suara jangkrik yang ramai keras berderik-derik. Gerimis pelan-pelan turun merinai-rinai. Sepertinya, malam yang basah ini akan menjadi semakin bisu.***

( Sekayu, 2 - 6 Juni 2010 )
Herdoni Syafriansyah

Minggu, 15 Mei 2011

PESTA PASTI BERAKHIR

Berita Pagi Minggu, 15 Mei 2011

PESTA PASTI BERAKHIR

Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?

Seminggu setelah ini aku tak akan lagi kemari. Tak akan lagi aku berdiri kukuh menghadap Sang Saka Merah Putih seperti biasanya senin pagi. Tak akan lagi kupingku mendengar pidato kepala sekolah yang menyala berapi-api. Tak akan lagi mataku memandangi kemilap rambutnya yang hitam dielus sinar matahari. Tak akan lagi aku menatap bola matanya yang berbinar penuh semangat emosi. Tak akan lagi diriku kembali ke dalam kelas ini.

Aku sungguh sangat menyukai kelas ini. Ruangan ini. Bangku yang aku duduki ini.

Indah hias bunga-bunga di atas meja guru. Tumbuhan air menghijau pada empat sudut kelasku. Lantai keramik yang masih baru. Meja-meja yang juga masih baru. Miniatur kayu burung garuda yang gagah. Photo pasangan presiden pria memakai kopiah dengan senyum mengepulkan uap bahagia…

Kalau nanti aku memang takkan kembali lagi kemari, maka selamat tinggal semuanya.

Selamat tinggal kotornya papan tulisku yang belum di hapus kala pagi. Selamat tinggal butiran halus debu di laci mejaku yang sunyi. Selamat tinggal kisah kaca kelas pecah. Selamat tinggal gaduhnya udara kelasku kala pelajaran kosong. Selamat tinggal wajah kesal guru mata pelajaran akuntansiku. Selamat tinggal wajah kesal guru matematikaku, guru yang memukul meja jika marah lalu menyembunyikan sakit di telapak tangannya. Selamat tinggal wajah santai guru pendidikan kewarganegaraanku, guru yang kerjanya hanya menyuruh kami mencatat lalu berlalu pergi ke ruang guru. Selamat tinggal semua…

Oh Tuhan,
Selamat tinggal juga guru favoritku Pak Afsya, guru mata pelajaran agama yang mempunyai kemampuan menggambar jin dengan mata batinnya. Seorang guru yang selalu memberikan nasehat-nasehat teduh yang dapat menentramkan hatiku.

***

Na Na Na…

Waktu ini terasa demikian singkat. Perputaran tiga ratus enam puluh derajatnya pun begitu cepat. Napas ini mengalir semakin berat. Arteriku serasa tersumbat. Malam berlalu dan pagi telah kembali bagai kilat. Menggeliat. Sangat cepat. Semua ini sungguh sangat cepat. Tepian suka masa remajaku semakin dekat. Bukan tepian permulaan, namun tepian perpisahan. Dekat. Makin dekat namun lajunya tak dapat aku cegat. Kini aku makin terjerat, terikat dalam takdir yang tercatat atas apa yang telah aku perbuat.

Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?

Apapun pilihannya kalaulah ingin jujur sungguh aku sungguh belum siap. Belum siap atas segala yang akan berubah nanti. Belum siap bila harus bangun pagi-pagi. Belum siap bila harus tidur larut malam. Pagi-pagi menanak nasi —membuat kopi, sendiri. Malam-malam melayani dia, suami. Belum siap mengurusi bayi. Belum siap melepas hobiku jalan-jalan. Duduk di teras menatap lucu rupa-rupa awan. Sore-sore mengelilingi bundaran. Siang-siang pulang sekolah makan model, bakso, tekwan bersama kawan-kawan.

Oh Tuhan…!!

Semua kenangan ini akan pergi. Hanya tinggal menghitung hari. Di alam mimpi pun mungkin tak akan aku jumpai lagi. Menyesal betapa menyesal aku kini. Hidup tak bisa membawa diri. Terlampau nafsu akan materi. Hingga kini aku merugi. Maaf Ayah-Ibu, kepada kalian aku pahatkan permohonan maaf !! Bukan salah kalian, bukan, bila aku seperti ini. Akh… coba aku menjadi papan tulis itu. Papan tulis yang beku serupa batu. Aku tak perlu merasa keras dan kejamnya hidup ketika masalah datang membelenggu.

Sunguh teramat sungguh aku masih ingin bersantai. Aku masih ingin bersantai membantu ibu di dapur. Aku masih ingin bersantai main boneka di kasur. Aku masih ingin bersantai bersama kawan-kawan membeli baju tidur, membeli baju retur, pakaian dalam front clousure. Aku masih ingin…

Satu bulan lagi!! Ya… sekitar waktu itulah aku akan menikah. Tepat katanya di paksa menikah oleh lelaki yang menjadi kekasihku kini. Lelaki yang sepuluh tahun umurnya lebih tua dari aku.

Mengapa?!

Pernikahanku, bukan musabab aku tak lagi dikunjungi oleh tamu bulananku yang terkadang hadir melilit perutku, dismenorea. Bukan pula perihal kisah barter orangtua yang terlilit hutang hingga anak perawannya menjadi pelunasan, atau karena ayah kekasihku tengah berdiri menanti maut di seberang ajal hingga beliau berpesan ingin melihat anak lakinya segera menikah, bukan. Oh, mungkin karena... ?! Tidak bukan pula itu!!

Andai seandainya dahulu aku tidak terlalu mengejar kesenangan. Berpacaran dengan seorang lelaki yang hampir kepala tiga sedang aku masih seorang gadis kelas dua SMA.

Delapan bulan lalu, tepatnya sore sabtu tanggal 14 April aku mengenal lelaki itu. Berdasarkan perantara kawan dari kawanku. Ah… si Brengsek itu pandai sekali bermanis-manis memikatku. Mengumbar dan memberikan semua kebutuhanku dengan kata peduli. Cih, anggun sekali ia bertingkah. Seolah aku paling berharga. Hingga aku terlena lupa diri. Hingga tidak pernah sempat aku sadari. Bahwa itu adalah hukum kekekalan energi. Oh, tidak… tentu saja bukan itu!! Ia telah menipuku, ia telah memperdayaku atas nama cintanya. Sedang aku dan dia: cinta?

Petang minggu dua pekan yang lalu lelaki itu menemui ibuku. Mengeluarkan segala macam daftar pengeluarannya selama berpacaran denganku. Uang habis makan bakso sekian rupiah, nasi goreng sekian rupiah, minum es, jus, susu, kiranti sekian rupiah, beli lingerie sekian rupiah, buku sekolah sekian rupiah, beli bensin sekian rupiah, main game di pusat perbelanjaan, beli kosmetik, uang habis...

Edan… kupingku yang bermasalah atau aku yang salah dengar? Dia yang menawarkan semua zona nyaman itu padaku: ambillah semua ini pakailah semua itu, apa yang aku miliki ini juga adalah milikmu dan tentu saja akupun tak akan menolaknya. Sekarang, ia begini, memaksaku untuk segera menikah seraya mengancam kami (aku dan Ibu) bila menolak maka kami harus mengganti semua biaya pengeluarannya kala berpacaran denganku.

Apa tidak gila?! Beginilah bila hidup menjadi orang susah. Beginilah bila hidup menjadi wanita. Beginilah bila hidup dengan niat yang tak baik. Maaf Ayah…

Dan yang lebih membuatku sungguh sangat kesal kepada lelaki itu adalah ketika ia menjumpai Ibu dan menyanggah permintaannya. Aku baru saja pulang sekolah kala itu. Siang itu mereka banyak berbincang namun yang paling nyata aku ingat adalah ketika Ibu berkata: tak bisakah Anak tunggu lima bulan lagi, biar Putri selesaikan dahulu sekolahnya!! Akh, Ibu!! Tamat sekolah atau tidak, itu sama saja. Wanita itu kerjanya hanya di dapur—sumur—kasur.

Ibu hanya bisa merenggut bersedih. Aku menangis menguping di balik pintu.

Tak mengertikah ia kalau aku juga punya mimpi. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin berjuang bersama kawan-kawan saat ujian nasional. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin menikmati riang rasa kelulusan. Tak mengertikah ia kalau akupun juga ingin corat-coret baju, kemudian baju itu kusimpan untuk kujadikan kenang-kenangan. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin ketika anakku mendaftar sekolah nanti : pendidikan terakhir ibu adalah SMA (cukuplah saja itu setidaknya). Dan tak mengertikah ia bagaimana aku dan Ibu memikirkan pandangan dari para tetangga, teman-teman serta guru-guruku nanti menilai aku, memvonis ku atas pernikahan yang nantinya pasti akan terkesan mendadak ini.

Ya, setelah aku melakukan penyelidikan sesaat kepada teman-temannya, akupun mengerti. Aku peroleh jawaban rupanya ia takut kehilanganku. Ia takut kehilangan setelah apa yang tak pernah sungguh hati ia berikan kepadaku. Ia inginkan tumbal ganti.

Oh Tuhan… sekiranya aku bisa memperbaiki diri. Sekiranya aku bisa mundur melawan waktu. Aku ingin hidup biasa-biasa saja. Dengan pakaian yang biasa. Dandanan yang biasa. Pergaulan yang biasa. Kesenangan yang biasa. Gadis yang biasa-biasa saja. Mungkin itu akan bertentangan dengan naluri hidupku, namun setidaknya aku tidak harus kehilangan hidupku.

***
Na Na Na…
Andai seandainya setelah Ayah meninggal aku mengamalkan pesan terakhirnya, pesan sebelum dirinya terbang ke langit. Mungkin, sekarang dan nanti aku masih tersenyum bahagia melihat kerlap-kerlip hidup ini. Mungkin aku tidak akan segelisah ini. Mungkin nanti aku masih bisa melihat kelucuan teman-temanku. Melihat anak laki-laki: Adit, Bogek, Chandra, Dapi, Dedi, Faizin, Fauzan, Fauzi, Hendra, Leo boy, Rizki, Yuda, Yupika, Zul, atau juga yang lain sembunyi di kolong meja paling belakang kala istirahat sekolah diam-diam merokok, memonyongkan bibir mereka yang berwarna ungu untuk membuat huruf: O.

Melihat kekesalan guru kala menagih uang buku kepada Doni Akazu: Hei… Akazu!! Kapan kamu akan bayar uang bukunya? emm… mungkin besok Pak Guru kalau tidak ada halangan. Besoknya, ya tentu saja Dia kembali mengulang jawaban, “mungkin besok Pak Guru kalau tidak ada halangan…”

Melihat kecentilan F. Asmi Kandji kala guru bilang punya anak lelaki: “Bu, anaknya uda punya pacar belum? Aku mau lho jadi pacar Anak Ibu.”

Melihat Somad yang tidak pernah mencatat (kecuali Pendidikan Kewarganegaraan), namun selalu bertanya seolah mengerti. Entah apakah anak itu benar-benar memperhatikan pelajaran atau bertanya hanya sekedar topeng kamuflase.

Sekarang aku melihat, aku merasa benar kata Ayah dahulu: “Nak, jadilah gadis yang baik yang punya prinsip hidup. Jangan berlebihan dalam mengejar kesenangan karena sesungguhnya setiap pesta itu cepat atau lama pasti akan berakhir seperti kata pepatahnya. Tuhan telah mengatur hidup kita ini dengan adil dan bijaksana. Hindarkanlah dirimu dari perilaku menyusahkan orang lain agar dikasihi Tuhan, agar tidak turut mendapat susah.”

Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?

“Maaf Ayah, maafkan anak gadismu yang tak pandai berbakti ini. Oh Tuhan… Aku sungguh tak mengerti apakah ini hanya kebetulan ataukah ini memang takdirmu.”

( Sekayu, Mei-Juni 2010 )

Dikait-katakan dengan : Herdoni Syafriansyah

Senin, 31 Januari 2011

Berita Pagi, halaman Gesit -- 30 Januari 2011

Andai Kasih Mereka Mampu Kau Terjemahkan

Sebegitu dalamkah ia membenciku. Tidak adakah niatnya untuk sekilas saja melihatku. Salahkah bila aku rahasiakan semua perihal itu. Pandangan tua ini semakin waktu semakin lamur dan tubuh lemah ini pun semakin renta. Mungkinkah kita bisa bersama. Mungkin punya waktu untuk bercerita. Pohon di pekarangan ini telah begitu besar, pohon yang kutanam seiring cinta yang kutanam atas satu tahun kelahirannya dahulu. Dari langit hujan pagi turun merintik, rebah dimuka bumi serta dedaunan. Silir semilir halimun menulusup pagi. Orang-orang berlalu-lalang pergi ke surau. Oh, anak itu…

***
Pulang sekolah. Ardi menggerutu, lagi-lagi tidak ada lauk di rumah. Tas dilemparkan ke kursi, sepatu tak di lepas. Mau atau tak mau percuma saja, tak punya pilihan. Lapar telah memanggil sedari beberapa jam yang lalu. Nasi kecap atau nasi garam air : menu favorit keluarga terlanjur miskin. Demi hidup, Ardi terpaksa harus makan. Enak tidak enak ya ditelan. “Begini lagi!! Begini lagi…!!” Ardi menggerutu, “Miskin!! Memang malang nasibku”.

Ardi masuk dan membanting pintu kamar, nasi tak dihabiskan. Ayahnya pilu menatap kelakuan putranya. Setiap hari semenjak masuk sekolah, kelakuan anak satu-satunya itu pelan-pelan berubah: kasar. Lelaki paruh baya itu ingin menangis, namun tak jadi dan kemudian ia malah tersenyum. Pandangannya tertuju pada sebuah figura di atas meja, di samping radio hitam petak ketinggalan jaman. Andai saja istrinya masih hidup, apa yang akan ia katakan. Apakah ia selalu bahagia tinggal disana?

Ardi kembali keluar, lelaki itu tersenyum menatap putranya. Ia harap anaknya itu akan kembali menghabiskan sisa makanannya. Ternyata salah, Ardi hanya melempar sepatu ke arah pintu. Oh, anak itu…

***
Ardi kesal. Ia sangat membenci keadaan diri yang menurutnya begitu miskin itu. Ardi ingin hidup kaya, berpunya. Menyenangkan pikirnya bila ia bisa punya segala. Ardi membenci keadaannya, Ardi membenci ayahnya.

“Oh Tuhan!! Mengapa aku harus terlahir dari keluarga yang miskin. Mengapa aku harus punya ayah yang miskin? Mengapa aku tidak menjadi anak dari kepala sekolahku saja: Pak Somad ya Tuhannnnn…?!

Ardi berdoa, mengadu atas kemiskinan hidupnya. Ia kini membenci ayah yang menurutnya adalah penyebab dari derita lara yang ia rasa. Sebenarnya Ardi tidak pernah sungguh-sungguh membenci ayahnya itu. Bilakah ayahnya telah masuk ke dalam kamar, pelan-pelan Ardi sering membuka pintu kamar itu—memandangi lelaki itu secara diam-diam. Bilakah sudah begini hati kecil Ardi akan menangis dan ia ingin sekali mengucapkan kata maaf kepada ayahnya. Namun, kokohnya ego yang bertunas itu selalu mengalahkan secercah rasa cinta Ardi.

Dari celah pintu sering Ardi memperhatikan ayahnya bilakah ia berada di dalam kamar. Sering ia lihat lelaki itu larut dalam tangis sambil menggendong dan mengelus-elus lembut sebuah kotak kayu. Lelaki itu memperlakukan kotak kayu itu dengan sangat istemewa. Mengapa? Ardi tidak tahu dan tidak pernah ingin mengetahuinya lagi. Dahulu, saat ia masih cukup dekat dengan ayahnya—ia tidak pernah mendapatkan ijin. Jangankan menyentuh melihat isinya, sekedar sepintas saja menatap pun maka ayahnya akan melarang.

Dua tahun lulus SMA, Ardi berusia dua puluh. Sangat bosan ia hidup susah. Ardi berontak. Ingin sukses, ingin kaya, pergi ke kota. Dengan seluruh kepedihan hati, dengan ribuan peluru sungkawa yang menikam hati terpaksa dia relakan Ardi pergi.

“Semoga kelak kau temukan hidup yang kau dambakan anakku,” serak pelan suara lelaki itu merestui putranya yang pergi memunggunginya. Ia terus memandangi sosok itu hingga akhirnya lenyap tertelan tikungan jalan. Sosok yang pergi tanpa sedikit pun menoleh kembali padanya.

Sendu angin yang bertiup masih saja pemalu. Air yang mengalir masih saja begitu. Mentari tetap datang dan mentari tetap pergi. Semua tetap terjadi dan akan tetap terjadi, satu minggu pun tergenapi. Uang Ardi semakin tipis. Pikiran Ardi semakin kacau, semakin suntuk. Ia beranjak dalam gigil menuju pikuknya keramaian pusat kota kala malam. Separuh perjalanan terdengar suara keributan di depan, seperti pertengkaran. Tak pasti, suasana gelap dan agak jauh. Ardi mendekat, merunduk, mengendap. Rupanya di sana ada seorang wanita kaya, wanita yang membawa mobil tengah dirampok oleh dua orang begundal. Dirampok apa? Harta. Jiwa. Raga. Semuanya bisa mungkin kalau hanya dibiarkan saja. Ardi tak bisa berdiam diri. Naluri membuatnya berani…

Mereka menikah. Kepada istri dan mertua Ardi mengaku sebatang kara, “saya yatim-piatu,” kata Ardi. Ia malu mengakui. Malu karena ayahnya terlanjur miskin. Mereka tak peduli Ardi sebatang kara. Ratih terlebih lagi. Bagi mereka, bagi Ratih terkhususnya Ardi adalah pahlawan. Andai dirinya tak muncul malam itu mungkin tak akan ada lagi kisah hidupku, Ratih membathin.

Ardi tak mau kembali. Ia sangat menikmati hidup barunya. Kekayaan; mimpinya. Satu tahun Ardi tak pulang awalnya hati terasa biasa. Sewindu tak pernah pulang, rindu perlahan menembus tulang. Ardi tak pernah pulang-pulang. Ardi rindu lelaki itu. Entah bagaimana jalannya suatu ketika saat Ardi bersama dengan anak dan istrinya berjalan di pusat kota, melintasi deretan butik dijalanan Machu Picchu, Ardi berpapasan dengan ayahnya. Mereka saling tatap, lekat-lekat. Sama-sama terbelit rindu; teriris pilu perpisahan. Lelaki tua itu mendekat. Anak-anak Ardi ketakutan, mendekap, berlindung pada ibunya, “Ma… Ma… takut!! Ada gembel... ,” Ardi bingung, spontan membentengi anaknya. Ardi membentak, “ Hey!! Pergi pengemis…!!”

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibu yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapih dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah (sesungguhnya) kalian kembali.”

Ardi tertegun mendengarkan potongan lantunan suci Alqur’an surah Luqman ayat 14 yang dibacakan oleh Ustad Khaidir beserta artinya tersebut. Kata ayah, ibunya meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Kalau begitu, beliaulah yang selama ini pasti tertatih-tatih merawat dan menyapih dirinya. Sepulang tarawih bersama keluarga, potongan kalimat itu terus menyergap pikiran Ardi. Rindu yang terpendam itu kini makin bergelolak. Lima tahun lalu Ardi berjumpa dengan lelaki itu dan ia terpaksa membentak, mengusirnya karena malu.
Namun sejujurnya setelah ia membentak itu, hatinya mendadak dingin bagai tersiram bulir-bulir air es yang jernih dan pilu. Kini buah hati Ardi telah berumur belasan tahun. Ardi sudah tak sanggup lagi. Biar bagaimana pun, sebetapa pun bencinya Ardi kepada lelaki itu ia tetap adalah ayahnya. Ardi merasa rindu: orang tua, kampung halaman, saat-saat berlebaran.

Ardi tak lelap tidur. Uring-uringan. Ia terus tercenung.

“Aku akan pulang tahun ini, akan kujumpai ayah. Entah bagaimana keadaan dirinya sekarang. Semoga dalam keadaan baik. Aku ingin berbakti, ingin minta maaf!!” Ardi berniat.

Dua hari sebelum Idul Fitri. Ardi makin gelisah, tak kuat lagi. Ardi mengutarakan maksud hati kepada istri.

“Ma… besok Papa mau….

Ardi terpaksa harus berbohong, demi menutupi kebohongan jati dirinya dahulu.

Senja keemasan terlukis manis dari tatapan sendu di dalam kereta. Hanya senja dan cakrawala yang kosong, tak ada kepak sayap di sana. Burung-burung sepertinya lebih senang di dalam sangkar. Ardi kembali ke desa. Pelan-pelan semua nampak berubah. Pohon Waru yang dahulu penuh tumbuh dimana-mana, kini hanya sesekali Ardi temui. Rumah-rumah penduduk juga sudah mulai rapat. Melangkah satu kilometer lagi Ardi akan tiba di rumahnya. Menapaki tanah coklat yang basah seperti habis diguyuri hujan pagi. Melewati barisan pohon pisang. Melewati areal pekuburan, “Hmm, telah semakin banyak saja shaf-shaf nisan rona kelabu di sini” gumam Ardi.

Dari arah Surau terlihat rombongan orang-orang berlalu-lalang untuk pulang. Memakai kopiah yang terlihat baru, memakai jilbab yang terlihat baru, baju yang terlihat baru, sendal yang terlihat baru, entah apakah hatinya juga ikut menjadi baru: fitri.

Langit menjadi gelap oleh mendung yang menyimpan kedukaan. Ardi mempercepat langkah, takut kehujanan. Semakin dekat. Dari kejauhan, sayup-sayup Ardi melihat rumahnya. Pohon di pekarangan juga pastinya. Ardi tersenyum membayangkan pelukan hangat dari ayah.

“Setelah ini akan aku belikan ayah pakaian yang bagus. Akan aku carikan seorang perawat untuk menjaga ayah. Akan aku pesankan ayah makanan terbaik. Akan aku perbaiki rumahnya. Akan aku urusi ayah meskipun nanti ia tidak tinggal bersamaku. Aku akan berusaha berbakti walau sebenarnya karena dialah dua puluh tahun dahulu hidupku melarat...”

Ardi terus-terusan tersenyum membayangkan pertemuan yang mungkin terasa indah dengan ayahnya nanti. Ardi sudah di teras, menyapa daun pintu. Diam-diam, untuk kejutan.

Udara yang dingin namun tubuhnya terasa panas, keheningan yang ganjil namun serasa sempurna. Absurd. Tak ada sesiapa di ruang depan. Kosong. Ardi celingukan, melangkah pelan ke kamar ayah. Pintu terbuka separuh. Ardi langsung masuk, menatap…

Badan Ardi berguncang hebat. Lemah. Pijakannya hilang daya. Ardi meraung bersimpuh meratap. Lelaki itu telah kaku, membeku. Ardi terlambat. Orang yang sangat dirindu, yang sangat ingin ia temui itu telah tiada. Kawan, teramat perih rasanya menanggung rindu kepada orang yang tak sampai. Ardi sangat sedih. Secarik kertas di tangan ayah. Tangis masih meleleh. Ardi meraihnya.

“Ardi, putraku kebanggaanku. Entah apakah pesan ini akan terbaca atau tidaknya olehmu. Sesungguhnya ada sebuah hal yang Ayah rahasiakan dari dirimu sejak dahulu. Dan kini di ujung gelap Ayah merasa sudah tak bisa lagi untuk terus menyimpan semua ini. Mengapa tak Ayah beritahukannya sejak dahulu? Itu karena engkau adalah darah dagingku dan aku menerimamu sebagai anakku apa adanya meski kita kehilangan segalanya.

Preeklampsia, suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya keracunan dalam kehamilan telah membuat aku, kita kehilangan ibumu. Wanita yang susah mati aku perjuangkan hidupnya. Ibumu teramat sangat menginginkan hadirmu—ia tidak lagi peduli dengan dirinya sendiri dan penyakitnya. Bahkan menjelang Malakul Maut tiba pun ia hanya bilang, “Lakukan apapun untuk hidup anak kita”. Untuk hidupmu, Nak, bukan dirinya. Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada keajaiban yang mampu kuciptakan. Benar-benar tak berguna. Hampir separuh harta kita telah habis untuk menyelamatkan ibumu. Namun segalanya sia-sia. Selang beberapa saat kau dilahirkan, ibumu berpulang kepada-Nya. Saat terlahir pun ternyata cobaan belum berakhir. Kau selalu sakit-sakitan, bobotmu sangat ringan, kau sangat kurus. Sesuai dengan permintaan ibumu apapun Ayah lakukan untuk hidupmu. Seluruh materi Ayah gelontorkan demi sehatmu. Hingga harta kita habis, hingga semuanya habis. Namun semuanya juga tetap sia-sia. Benar-benar tak berguna.

Ayah bangkrut, perusahaan pailit. Linglung. Ayah membawamu kembali ke desa. Pasrah. Anehnya begitu tiba disini, kampung kita ini, penyakitmu tiba-tiba lenyap—pergi entah kemana. Anugerah dari Tuhan rasanya. Anakku, maafkan ayah yang tak bisa bahagiakan dan tak bisa banggakan dirimu. Engkau putraku, kebanggaanku, curahan kasihku. Semoga kau bisa bahagia dengan hidupmu, Nak. Semoga rahmat-Nya selalu tercurah padamu.”

Bulir tangis Ardi menetes pelan tak terasa. Kesal, sesal, panik, bingung, sedih, bercampur aduk tak jelas rasa di benaknya. Ardi menatap sekitar. Kotak kayu. Ya, kotak kayu diatas lemari. Dengan sedikit menjulurkan tangan berhasil lah ia mengambil kotak kayu itu. Pelan-pelan Ardi membuka dan melihat lekat-lekat isinya. Beberapa lembar foto pasangan berpakaian mewah ala pengusaha yang mirip dengan wajah ayah—dan foto ibunya diruang depan, beberapa lembar surat pemberitahuan dokter mengenai diagnosa penyakit, dan kemerincing mainan bayi. Ardi terisak serak. Satu hal yang bertahun-tahun luput dari pengetahuannya, satu hal yang bertahun-tahun tidak pernah ia sadari: rasa kasih yang tak mampu ia baca.

Tanpa peduli lagi dengan apapun Ardi segera memeluk jasad ayahnya yang sudah membujur kaku dan dingin. Sendiri ia terisak sedu meratapi semua itu. Tangisan Ardi makin pilu bagaikan sebuah senandung lirih. Senandung yang bila semakin kau dengar akan semakin dalam dan pedih.***

Sekayu, Ramadhan 2010 / Herdoni Syafriansyah