Rabu, 14 Desember 2011

ESOK KITA SELALU BERSAMA

Aku ucapkan salam paling indah kepada yang
terindah yang melewati indahnya gugur pelangi di senja hari.

Apa kabar dirimu di sana? ...

Apakah kau tahu … Jujur, aku merinduimu di setiap detik tergelar. Di sepenuh galau lalau waktu, rindu ini berdenyut ngilu nyesak mendesak ingin bertemu.

Apakah pernah kau merasakan rindu yang begitu berat seperti halnya rinduku kepadamu?

Sungguh, sekedar menatap manis rona wajahmu pada foto ini saja telah begitu menghangatkan aliran rasa cintaku. Andai saja engkau ada di sini, akan kupaut erat jari jemarimu yang lembut itu. Akan kurangkul engkau masuk ke dalam rumah hati kita, dan kupersilahkan kau duduk pada seliri merah itu, lalu kupandangi engkau puas-puas agar pupus beban rinduku. Bila sekiranya saja mata ini dapat memandang langsung keanggunan dirimu, maka pasti bermekarlah kelopak kuncup rindu hari-hari hatiku yang menunggu. Tetapi malang, semua ini seakan begitu sulit sekarang.

Perlip cintaku. Barangkali … bersamaku ada banyak sekali lara yang dikau rasa, ada banyak duka yang menyiksa. Dan setiap kali dulu kita bertemu, setiap kali aku menatap kamu, kenapa ya yang selalu tampak darimu itu hanyalah senyum, selalu saja senyum. Kau seolah tak pernah ada keluh, tak pernah ada susah. Kasihsayangmu terasa amat besar kepadaku, dan kasihsayangmu yang senantiasa hadir itu benar-benar telah membuat aku tertawan. Makhluk terkejam pun pasti akan tertawan bila disayangi, apalagi aku ini.

Dari sini aku membayangkan bening matamu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku serasa teduh dan damai bagai selingkup dedaunan yang mendamaikan bumi kala panas. Kasih sayang semulia halimun surga yang engkau berikan dan kesetiaanmu yang hadir dengan kepulan romansa merah muda itu adalah suatu kemestian yang terus membakar semangatku, membakar harap yang akan dan harus kita wujudkan: harapan indah bahagia bersama seorang kekasih yang mencintai dan yang kita cintai.

Gadisku, maafkan aku bila ada lara yang tergurat di hatimu. Akh, seharusnya tak perlu kutulis: bila ada, sebab tentunyalah pasti ada. Hanya saja, ya … wanita memang makhluk yang paling pandai menyembunyikan rasa. Rasa cinta, rasa sakit, rasa lara, rasa rindu, rasa ini, rasa itu … dan bermacam-macam rasa hati lainnya yang selalu pandai untuk kalian sembunyikan. Aku sendiri terkadang berpikir, darimana ya kalian bangsa wanita belajar semua itu?

Cinta … maafkan aku yang mungkin penuh lemah, penuh luka di tubuh ini. Ya Sayang, kadang-kadang terlintas juga di benakku bahwa mungkin ayahmu itu benar. Aku mungkin memang tak sepantas dengan peri seindah dirimu. Seelok kamu dan semanis kamu. Kamu seorang calon dokter muda yang punya masa depan cerah, sementara aku … hanyalah seorang penulis tak dikenal yang sekedar menambatkan hidupnya pada angan, dan berharap dapat membuatmu selalu bahagia kelak waktu. Oh ya, sehabis ini kau juga berniat melanjutkan studimu menuju spesialis pediatri, ‘kan? Astaga, memang apalah artinya aku ini dibandingkan dengan dirimu. Andai seandainya bukan karena kepercayaan dan keseriusan dirimu padaku, niscayalah aku tak akan sanggup bertahan.

Sabar ya Sayang!... Nanti kita pasti bersama. Sabar! Nanti kita akan terbang bahagia selaksa sepasang merpati yang membawa surat ini. Riang seperti merekalah kita pastinya nanti.

Dahulu, tiga tahun yang lalu kita berjumpa, tanpa sengaja— atau tepatnya Tuhan memang menyengaja. Aku tengah tamasya ke negerimu. Pada sebuah halte di depan kampusmu. Hari hujan, tajam menikam, kau berteduh dan akupun berteduh. Waktu itu kursi panjang di halte itu telah penuh. Siapapun yang baru datang seperti aku mau tidak mau pilihannya berdiri. Kau juga telah berdiri duluan. Kita berdiri bersampingan. Awalnya kita sama-sama tak saling memedulikan. Namun, kemudian entah sebab kenapa kau menoleh pandang padaku; aku menoleh kepadamu: mata kita beradu tatap.

Kau tersenyum manis, sangat manis, betapa sangat manis yang tentu saja kubalas dengan senyuman manis, sangat manis, dan betapa sangat manis pula. Lalu ada yang membuka suara, entah siapa. Kita pun memulai obrolan ringan, dan kemudian entah sebab kenapa kita berdua bisa segera menjadi akrab. Sepertinya, ai … bukan, aku yakin Tuhan memang menyengaja.

Sayang, aku di sini telah sangat lama menantimu. Merindui kamu. Menanti untuk dapat bertemu. Untuk dapat segera menatap senyuman manis di atas dagu tirusmu. Cuap-cuap lucu seorang dara yang teramat teduh di hati teruna pecintanya.

Telah begitu lama aku tidak melihat senyummu sesudah terakhir senja itu kita bersua. Pertemuan terakhir kita sebelum ini di kala senja yang indah dengan tebaran cahaya kasih sayang yang merona berbinar. Andai seandainya hidup tidak pernah punya masalah, alangkah cerianya paras megah semesta yang indah ini.

Sayangku, aku sangat dan sangat sayang padamu!! Mungkinkah adanya kita bisa menuntaskan mimpi-mimpi indah kita ini?! Mimpi indah akan hidup yang menyenangkan. Mimpi indah berdamping di pelaminan. Mimpi menjadi keluarga yang bahagia. Keluarga yang indah Perlipku.

Setelah sekian tahun waktu berlalu dari hari ini, ketika putra kita mulai mengucapkan kata ‘Mama’ kepadamu, saat kita bersama-sama melihat lucu-lucunya ia belajar berjalan, suap demi suap kasih sayang selalu dan terus selalu kau berikan kepadanya. Pada saat itu hidup kita telah berjalan indah, sungguh telah berjalan sangat indah. Kau bahagia, aku bahagia. Kita bahagia bersama-sama.

Mengapa aku memimpikannya? Sayangku, jauh di sana kau tentu telah mengerti. Betapa sudah terlalu banyak kebencian dan kekejian di dunia ini. Sudah terlalu banyak. Misalkan, lihatlah saja tentang berita-berita korupsi di teve yang tak pernah usai, tentang orang khianat yang sibuk berjanji-janji lalu tidak lagi peduli, tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang akan makin terlantar meski kata undang-undang mereka dipelihara (atau memang beginilah cara mereka memeliharanya? mungkin, kalau orang miskin habis tak akan ada lagi yang bisa dibodohi?), tentang kekerasan yang hancurkan sana hancurkan sini, tentang cerita-cerita pembunuhan, cerita-cerita perkosaan, cerita penganiayaan, cerita-cerita yang …

Akh, lupakanlah saja semuanya Sayangku. Semua cerita buruk itu tak penting karena memang hal-hal buruk itu tak perlu penting buat kita. Menurutmu, di dunia ini selain kita, apakah masih ada ya orang yang saling mengasihi dan menyayangi se-eksentrik kita? Apa iya hanya tersisa kita berdua pasangan kekasih yang benar-benar dapat tulus dan apa adanya dalam mencinta? Apakah zamannya yang sekarang telah salah ataukah kita ini yang telah salah zaman?

Kekasihku, bersamamu aku merindukan keluarga yang damai. Merindukan keluarga yang sejuk-sejuk menentramkan hati. Aku tahu Perlip pun pasti ingin begitu, iya ‘kan? Tetapi, kita berdua masih harus berjuang dan bersabar bersama ya sayang ... Jalan terjal bercuram berliku menikung masih penuh di muka kita. Untuk sementara hanya kasih sayang inilah yang bisa selalu dan akan selalu bisa kita ukirkan.

Nanti, aku dan kamu pasti bisa berlayar di atas kapal cinta kita yang indah itu, berdua kita menjadi nahkoda meski mungkin saja setiap waktu lidah-lidah ombak yang ganas selalu menderu menerjang kapal kita. Jangan sedih gadis manis. Hidup akan terasa indah kalau kita nikmati. Bersama berdua akan kita hadapi.

Hei, kamu tersenyum ya? Meski jauh darimu di sini aku tahu kamu pasti tersenyum. Hehe.. kamu memang harus begitu. Jangan pernah bersedih ya Sayang, aku bingung kalau kau bersedih. Perlip harus selalu yakin akan harapan kita, kelak di hari esok kita pasti akan bersama. Kita menikah dan pindah ke sebuah pulau paling indah yang memang sungguh sangat terindah. Pulau yang tak ada lagi tandingan indahnya di dunia ini, di semesta ini bahkan. Suatu pulau yang memiliki keindahan seindah surga di bagian terselubung kehidupan ini. Di sana nanti hanya akan ada kita: aku dan hanya kamu, juga anak-anak kita tentu. Tidak lebih dan seharusnya memang tak perlu menjadi lebih bagi kita para pecinta.

Nanti, bilakah sore menjelang kita berdua menikmati manisnya waktu. Menikmati sedapnya kebersamaan. Bersama dengan saling bersandar kita duduk di tepian pulau menatap getaran ombak yang berkecipak basah, menghirup pekat aroma laut bergaram, menjuntaikan kaki supaya terasa lebih santai, pasir-pasir yang putih, ombak berdebur menghantar mestika.

Lalu, kita juga menikmati mulus elusan angin yang sendu di pulau, menggenggam segelas cappuccino hangat lalu kita bagi berdua, tentu saja kita akan menatap pantulan indah keemasan matahari sore pada permukaan air yang terkadang lucu serupa telur buatanmu yang bergelombang, pastinya pula pada suatu sore akan turun gerimis lalu kita bermain kejar-kejaran dan tertawa dalam rinainya, mungkin pula suatu saat kita akan memancing tanpa umpan— hanya sekedar untuk menikmati kebersamaan, atau mungkin juga kita akan bersikap serius melukis kembang edelwais walau kita berdua sama-sama tak pernah bisa melukis. Haha …

Lalu sayangku kita pulang, pulang menuju gubuk dari bambu berhias bunga-bunga yang sudah aku dan kamu dirikan. Menikmati semua keadaan yang ada tanpa sepotong pun percakapan hangat yang terucap dari bibir, namun hati kita selalu mampu merasakan hangatnya.

Di sana, di pulau itu aku hanya ingin ada kita berdua yang pertama, lalu nanti keturunan kita tanpa siapapun yang lain, tanpa iblis juga inginnya. Setelah itu kita akan membangun sebuah peradaban yang baru: Peradaban Cinta Kasih. Kejahatan tidak boleh dan tidak akan pernah diajarkan di pulau kita. Andai seandainya di dunia ini tak pernah ada iblis, Sayang …

Saat-saat kamu jauh dariku seperti sekarang ini, aku minta kamu jangan terlalu berlebih ya memikirkan aku. Percayalah aku selalu baik-baik di sini. Kata seorang penyair yang bernama Afsya Kemilau, “hidup hanya mengulang kisah, menanti lelah dalam sejarah”.

Kita ini hidup hanyalah sebagai pengembaraan. Engkau hanyalah pengelana. Aku hanyalah pengelana. Kita sama-sama mengembara dalam dunia yang fana. Jiwa aku, jiwa kamu, jiwa kita ini tidaklah utuh sempurna, dan tak akan pernah bisa menjadi utuh sempurna. Maka jangan pernah kita mencari ujung pelangi. Segala kesempurnaan terkadang bukanlah jaminan hati yang bahagia, Sayangku. Kebahagian itu datang ketika kita berkenan bersyukur. Seperti aku bersyukur memilikimu.

Perlip, aku hanya ingin bahagia bersama denganmu. Cukup hanya seorang denganmu. Karenanya di sisa masa sepiku yang ada, aku akan selalu bersujud memohon berdoa kepada Tuhan. Sekiranya saja aku bisa pergi menghadap Tuhan, Sayang. Pastilah aku akan segeranya menemuinya.

Kita akan pergi bersama-sama agar semua malaikat dan bidadari tahu bahwa betapa kita berdua benar-benar saling mencintai. Pabila nanti kita sudah bertemu langsung dengan Tuhan, aku akan meminta dengan segala kerendahan hatiku agar Tuhan berkenan mempermudah hubungan kita.

Kemudian, bidadari serta malaikat yang melihat kita pasti akan turut berdoa pada Tuhan sebab haru pada kisah cinta kita. Coba sejenak pikirkan Sayang, aku yakin pertemuan pertama kita waktu itu bukanlah tanpa kesengajaan. Tuhan pasti memang merencanakannya. Oleh karena itu, bila kesusahan ini adalah mauNya, mari kita jalani saja dengan indah. Astaga, sepertinya aku ini terlalu terbawa hati hingga rasanya ada air di pelupuk mata ini.

Sungguh, betapa terjal langkah-langkah yang sudah kita lalui hingga bisa berdiri kini. Sekian tahun lebih kita mencari tujuan sama dengan sisi yang berbeda. Ai … Seandainya ayahmu itu bisa di ajak berkompromi. Aku memahami perihal rasa sayangnya kepadamu. Seumpama sebuah pelukan begitulah cara ia menyayangimu. Tetapi sedihnya adalah beliau memelukmu dengan sungguh sangat eratnya, hingga kau pun sulit untuk bernapas. Dan lebih celakanya beliau tak pernah sadar akan hal itu?

***
Sayang, tengoklah merah lembayung di ufuk kota kita ini. Entah sekian tahun ke depan apakah masih mungkin kita bisa menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang manis ini, setelah nanti akan ada banyak gedung-gedung yang berdiri dengan angkuh. Keangkuhan yang begitu buruk, yang membatasi indahnya karunia Tuhan. Keangkuhan juga selalu berusaha membatasi cinta lewat perbedaan, namun aku tahu ia tak akan pernah menang. Dari sini sayup-sayup senja telah mengaji pertanda petang ini akan berakhir, pertanda waktu masih mengalir, dan malam akan lahir, maka surat ini juga akan berhenti berakhir. Aku harus berdo’a untuk cinta kita, Sayang. Tersenyumlah. Percayalah gadisku. Esok kita selalu bersama, pasti selalu kita bersama…***

(Sekayu, April 2010 – Agustus 2011) / Dimuat Sumatera Ekpres dan Harian Muba November 2011.
-Herdoni Syafriansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar