Sabtu, 24 September 2011

Pulang

Sibak-sibak mentari menatap dunia, pelan per pelan panasnya mengikis embun sedu di pagi ini. Hari ini 7 Oktober 1991 aku akan kembali ke daerahku. Sudah lima tahun aku tidak kembali ke Sekayu, rindu aku sungguh telah begitu rindu.

Sibak-sibak mentari menatap dunia, pelan per pelan panasnya mengikis embun sedu di pagi ini. Hari ini 7 Oktober 1991, aku akan segera melunaskan rinduku. Sudah lima tahun aku tak menginjak tanah kelahiranku, rindu sungguh aku telah begitu rindu.

O ya, mungkin sebagian dari kalian merasa asing dengan nama Sekayu, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin— sekaligus menjadi ibukota Kabupatenannya. Atau ada juga yang tadinya mungkin mengira-ngira, pasti Sekayu daerah Semarang itu? Bukan, bukan daerah Semarang.

O ya, mungkin sebagian dari kalian merasa tak asing dengan nama Sekayu, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin— sekaligus menjadi ibukota Kabupatenannya. Atau ada juga yang tadinya mungkin mengira-ngira, pasti Sekayu daerah Semarang itu? Bukan, bukan daerah Semarang.

Sekayu, daerah dimana aku dilahirkan adalah nama dari sebuah kecamatan yang kemudian menjadi ibukota kabupatenan dari Musi Banyuasin, sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten yang memiliki empatbelas kecamatan.

Sekayu, daerah dimana aku dilahirkan adalah nama dari sebuah kecamatan yang kemudian menjadi ibukota kabupatenan dari Musi Banyuasin— sebuah kabupaten yang terletak di antara 1, 3 derajat sampai dengan 4 derajat Lintang Selatan dan 103 derajat sampai dengan 105 derajat 40’ Bujur Timur. Memiliki luas wilayah 14. 265, 96 km2 atau sekitar 15 % dari luas provinsi Sumatera Selatan.

Sumatera Selatan, daerah di mana Kabupaten Musi Banyuasin dilahirkan… Akh, kurasa tak perlu kita terlalu jauh menyimpang. Hari ini aku akan pulang, aku telah terlalu rindu.

***
Beberapa tahun yang lalu ada sebuah kisah cinta yang tercipta di daerah itu. Beberapa tahun yang lalu ada sebuah kisah cinta yang tercipta di daerah Sekayu. Kisah cinta seorang remaja tanggung yang jatuh hati kepada seorang gadis yang bernama Mutiara, Tara panggilannya. Kisah cinta seorang remaja belia yang jatuh hati kepada seorang pemuda yang bernama Afsya Kemilau, Afsya panggilannya.

Bak gayung bersambut pucuk cinta ulam pun sampai, mereka rupanya sama rasa. Tara pun jatuh hati kepada pemuda tanggung itu. Bak gayung bersambut pucuk cinta ulam pun sampai, mereka rupanya rasa sama. Afsya pun jatuh hati kepada gadis belia itu.

Mereka menjalin kasih dengan akur, dengan cinta kasih. Seperti kekasih dilanda cinta pada umumnya, mereka sungguh sangat berbahagia. Mereka menjalin kasih dengan akur, dengan cinta kasih. Seperti kekasih dilanda cinta pada umumnya, mereka bersama hampir tujuh tahun dan mereka hampir akan menikah. Namun …

Semenjak bertemu orang Palembang itu, aku menjadi sangat rindu pada Sekayu. Aku menjadi sangat rindu pada seorang gadis yang bernama Tara. Wanita yang seharusnya telah aku nikahi enam tahun lalu.

Semenjak bertemu Somad, orang Palembang yang pandai bermain gitar dan menyanyi itu aku menjadi sangat rindu pada Sekayu. Aku menjadi sangat rindu pada seorang gadis yang bernama Tara. Wanita yang seharusnya telah aku nikahi enam tahun lalu.

Sebab kami sama-sama orang rantauan maka kami pun cepat akrab. Sebab aku dan Somad sama-sama orang rantauan maka kami pun cepat dekat. Ia memperdengarkan aku sebuah lagu yang katanya lagu daerah Musi Banyuasin kini. Ia memperdengarkan aku sebuah lagu yang berjudul Kuyung Jauh yang katanya telah menjadi lagu daerah Musi Banyuasin kini.
Sejujurnya aku merasa tersinggung. Sejujurnya lirik lagu itu halus menyindirku.

Lagu ini sudah lama tersebar di Sekayu? Aku bertanya. Lagu itu sudah lama tersebar di Sekayu, Somad menjawab. Waktu aku pergi dahulu lagu itu belum ada. Aku bertanya siapa penciptanya … Waktu aku akan pergi setahun lalu lagu itu sudah ada, tapi tidak tahu siapa penciptanya.

Dan, kemudian lagu inilah yang terus memukulku tiap waktu untuk segera menyelesaikan kuliah dan segera melamar Tara. Lagu inilah yang setiap hari selalu menghantui pikiranku. Mengingatkan aku pada janji yang harus segera aku tunaikan akan dirinya.

:

Ngape kuyung ninggalke dusun …
Nyubo mencari di tempat ughang
Kite’ bepisah be taon-taon …
Ape dag indu di sanak kadang
Di sanak kadang ...


Akan selalu ada rindu pada setiap kepergian. Akan selalu ada nyala pada setiap kehilangan. Dan, jarak kita apakah ia saling mengucap?(2)

Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin aku tidak merindukan keluargaku? Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin aku tidak merindukan dirimu? Setelah sekian tahun kita berpisah, manalah mungkin, Sayang …

Masih kecik mandi di Sungai
Batang tepian di tengah kampung
Amon cinto ngape nga laghai
Kapanke balek nag mangon kampung
Nag mangon kampung …


Setiap sore, menjelang senja matahari dengan cahaya keemasan berbinar menatap kita. Setiap sore, menjelang senja kita dengan tatapan berbinar menatap cahaya matahari keemasan. Aku dan kamu dan cintaku dan cintamu, selalu melakukan itu sebelum saling siram pada dinginnya Sungai Musi. Menghirup udara pepohonan, bersenda-gurau. Menatap dan mendengar gelak tawa ibu-ibu yang mencuci di atas batang tepian Sungai Musi. Kita berdua bersuka, bahagia bersama. Tapi, terkadang, kebersamaan itu seolah tak pernah berharga, hingga ketika kita benar-benar tak lagi bersama. Ketika itulah kita baru menyadari bahwa ada kasih sayang yang sesungguhnya benar-benar berharga.

Sanak jauh dulur pun jauh
Cuma ngunde badan sebatang
Amon kite’ samelah jauh
Atiku indu serte takenang
Serte takenang …


Kalau kita sama-sama jauh hatiku pun rindu juga terkenang. Aku terkenang manis masa-masa bersamamu. Kalau kita sama-sama jauh hatiku pun rindu juga terkenang. Setiap waktu bersamamu kurasakan wangi dalam hidupku, bagai lunas kesturi surga basah menyiram jiwaku.

Ingatlah musim Seluang mudik
Kite’ nangkul di pinggir Musi
Amon kuyung dag endak balek
Tandenye kuyung dag cinto lagi
Dag cinto Lagi ….


Aku, sekali pun kucoba berhenti tetaplah saja akan bermekar ingin ini. Aku, dalam derai-derai tapak langkahku. Air yang masih juga berkecipak lembut. Musim yang pergi akan selalu kembali. Aku di sini masih selalu menanti, bersabar dan menahan harap dalam dinding kerinduan yang terus bergaung, menggema ke seluruh penjuru pelosok-pelosok perkampungan hening jiwaku lewat lolongan dan erangan pemberontakannya.

Aku, sekali pun kucoba berhenti tetaplah saja bermekar ingin ini. Kucoba membujuk hati ini untuk bisa bersama-sama berenang mengikuti eratnya arus mengikat namun akhirnya tak bisa, aku tak bisa untuk sebuah harapan yang terus bergelolak membuncah merajai hatiku. Dengan semua kenyataan ini, maka tak perlu kau ragu lagi aku pasti kembali.

Malam ini, saat ini aku sungguh telah begitu lelah. Gerimis yang menari berguguran di luar terus saja membisiki batinku agar segera pergi ke peraduan tidur. Malam ini, saat ini aku sungguh telah begitu lelah. Dinginnya lembaran malam yang mendekapku di sini terus saja membisiki batinku agar segera pergi ke peraduan tidur.

Kutatap kering jam dinding yang tersenyum dengan sunggingnya yang terukir ke sudut kiri, sepertiga malam. Kutatap kerling jam dinding yang menggantung tepat di sudut atas tatapan bolamataku, sepertiga malam. Sepertiga malam dan bolamataku terasa sungguh sangat lelah, ingin segera kuhilangkan semua penat ini namun aku tak bisa. Aku tak bisa sebelum segala persiapan dan barang bawaan mudik ini selesai kurampungkan. Selesai kurampungkan saat ini, bilakah besok mungkin takkan sempat lagi. Harus kurampungkan saat ini, sebab aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin.

***
Aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin, menjumpai wanita yang mustinya aku nikahi enam tahun lalu. Aku harus segera meninggalkan kota ini sepagi mungkin, menuju tanah yang tak pernah aku tapaki semenjak lima tahun lalu.

Aku harus segera kembali ke Sekayu, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu tahun ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu bulan ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu minggu ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku. Aku harus segera kembali ke Sekayu hari ini, sebab aku telah kehilangan banyak momen bersejarahku perihal daerahku.

Aku harus segera kembali … Aku harus segera kembali ke Sekayu tahun ini. Harus segera kembali ke Sekayu bulan ini. Segera kembali ke Sekayu minggu ini. Kembali ke Sekayu hari ini. Ke Sekayu saat ini. Aku harus segera kembali ke Sekayu, secepatnya!

Aku harus segera kembali ke Sekayu. Segera aku harus kembali, sebab aku mencintai : keluargaku, kamu, dan tanah kelahiranku.***

(Sekayu, 21 Agustus – September 2011) Herdoni Syafriansyah
-hanya sebuah cerpen sebagai kado buat Musi Banyuasin tercinta, met ultah ya-

Catatan Kaki

1.Kalimat yang bercetak miring dalam cerpen di atas adalah merupakan penggalan-penggalan dari syair lagu Kuyung Jauh. Lagu tersebut merupakan lagu daerah khas Musi Banyuasin.

2.Diambil dari salah satu penggalan puisi Herdoni Syafriansyah yang berjudul Aku Sekedar –2. Berikut versi lengkapnya :

AKU SEKEDAR ( 2 )
:Nda

masihkah engkau di sana
menanti aku
bersama petik gitar yang
pernah kuajarkan

masihkah engkau hapal eja namaku
bersama rapal abjad yang
pernah kubariskan

ternyata pertemuan
hanya menghadirkan
kehilangan
sebab, perjumpaan
sekedar mula
kepergian

masihkah di sana rambutmu terayun, Nda
bersama angin yang terurai merengkuh
kenangan

akan selalu ada rindu
pada setiap kepergian
akan selalu ada nyala
dalam setiap kehilangan
dan, jarak kita apakah ia
saling mengucap

Nda, masihkah engkau
di sana nunggui aku
bersama sepiring rindu
yang nyala
sesudah waktu
terlampau jauh
dari
sepi

Sekayu, 23 Juli 2011


-
Herdoni Syafriansyah lahir di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 7 Oktober 1991.
Ia adalah seorang muda pecinta sastra, penikmat kopi, dan penyuka pindang patin.

Rabu, 14 September 2011

Deradedapak

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Di sini, senja yang kelabu berpendar menipis tersingkir berganti pekat aroma malam. Udara yang dingin terasa mencucuk menembus hingga sumsum tulang rusuk. Perlahan kilau mulai meremang.

Meski hari mulai gelap, namun samar-samar masih bisa kulihat hijau daun jagung yang bergoyang kuyup. Enam kaki sebelah utara dari posisiku duduk santai memandang tenang. Derik-derik jangkrik sepertinya akan memulai pesta di antara damai malam hutan ladang. Langit ungu yang membentang terlukis cerah setelah sore hujan tumpah puas di daerah ini. Lampu duduk kami dinyalakan. Nyala apinya bergoyang terhembus angin. Uwak Anangku masuk ke dalam pondok. Ia selesai mandi di tepian, dari sebuah sungai kecil belakang gubuk kami.

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Kepenatan kuliah telah berakhir. Teman-teman mengajak ke Palembang, tidak aku ikuti. Aku lebih menginginkan nuansa kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan (tidak kukatakan). Kurasa suasana seperti itu lebih cocok untuk kunikmati sekarang.

Aku memang sudah tidak terlalu berlebihan lagi dalam perkara pergi jalan-jalan. Apalagi ke tempat yang tidak baru. Kalau nanti ada yang mau mengajak pergi ke sebuah kota, aku pengennya keluar provinsi. Tetapi, aku masih seorang pelajar yang belum mapan. Tentu aku tak punya banyak uang, serta juga tak punya tujuan tepat tempat yang bermanfaat. Kalau bisa, bila nanti pergi aku ingin dapat bertemu dengan seluruh –kalau bisa- sastrawan-sastrawan yang hebat.

Bilakah ada jodoh dari Tuhan, aku ingin bisa ikut Temu Sastrawan Indonesia. Sebab keadaan itulah maka libur kali ini aku memutuskan untuk sekedar bersantai ke rumah Uwak, Desa Sindu. Desa tempat Uwakku ini adalah daerah penghasil karet. Seluruh penduduk di sini menyambung hidupnya dengan menyadap karet dan berladang.

Tempat ini, Desa Sindu adalah wilayah yang masih berupa desa swadaya. Jalanan transportasinya masih berupa tanah merah dan rumah penduduk yang ada saling berjauhan, jarak terdekat mungkin sekitar 500 meter. Setiap satu rumah, dikelilingi oleh tanaman karet atau tanaman tani ataupun tanaman kebun. Sehingga, daerah ini akhirnya masih berupa sebuah hutan yang sangat luas. Hutan luas yang alamnya mengalirkan kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan.

Malam terus berjalan. Udara di sini begitu dingin. Bintang di langit satu-satu mulai muncul. Bintang kecil kedip-kedip. Paling benderang bintang utara ( bintang itu tak bergerak. Bergeming. Konstan. Semakin menyala…), aku masih duduk di teras depan memandang hamparan langit.

Di dalam pondok tak ada teve, tak ada lampu listrik, tak ada listrik, sebab di sini memang tak ada listrik… damai nuansa malam membuatku merasakan kesejukan hati.
Udara yang mengalir begitu tenang. Kalau di Sekayu, terkadang malam-malam begini, rumah-rumah mengeluarkan lantunan aneka musik. Sebelah kiri remik, kanan dangdut, di sana tembang lawas, di sini karaokean. “Ayo Bik, keong racun… Sikat…!!!”

Uwak menyuruhku masuk ke dalam. Aku menatap Uwak dengan lembut.

“Masih mau di luar, Uwak,” kataku, “biar menikmati malam”.

Tapi Uwak tak acuh, ia bersikeras agar aku harus masuk. Aku tersenyum, tak punya pilihan. Kuayunkan langkah ke dalam pondok. Tidak marah, tidak kesal, biasa saja. Lampu bergoyang meremang-remang. Bayangan pada dinding turut bergoyang. Di dalam pondok kami, Uwak Ine (sebutan kami untuk wanita istrinya Uwak Anang) rupanya sudah menghidangkan kopi panas dan singkong rebus. (Sesungguhnya aku tidaklah suka singkong, tapi aku sangat suka kopi).

Aku tersenyum menatap Uwak Ine. Jadi, ini toh pikirku alasan kenapa aku disuruh masuk? Kami duduk ala kadarnya menghampar di lantai. Uap harum mengepul saat aku mendaraskan air kopi ke dalam gelas. Gelasku terisi hingga kopinya hampir sejajar di bibir gelas.

Meski tak suka, tetap kucoba singkong itu. Kata Ibu, “kalau orang memberi harus hargai.”

Di tengah hangatnya kebersamaan kami, Uwak pun memulai percakapan. Kemudian Uwak bercerita kepadaku mengapa aku tidak boleh berada di luar pondok jika malam. Begitu mendengar, “tidak boleh berada di luar pondok jika malam”, sekejap di pikiranku terlintas wajah Si Jagur, anak ayam jago peliharaan adikku. Lalu, dengan khidmat akupun mulai mendengarkan cerita Uwak.

Maka beginilah yang ia ceritakan padaku malam itu:

Di hutan ini ada seekor makhluk yang mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh yang sama seperti manusia. Hanya saja matanya merah tajam menyala-nyala, kulitnya kuning serupa telur dan ditumbuhi duri-duri lancip yang panjang, tubuhnya setinggi balita, dan makhluk itu memiliki telapak kaki yang terbalik: tumit di depan; jari-jari kaki di belakang. Masyarakat asli sekitar menyebutnya dengan nama Deradedapak atau sekedar Derapak.

Bila malam mulai menitis, ia akan merayau manusia untuk dikunyah. Sebab itulah adalah haram bagi masyarakat Desa Sindu untuk keluar pondok kala malam. Uwak memang belum pernah melihat langsung makhluk bernama Deradedapak ini. Tetapi, begitulah turun temurun rupa kisah yang diwariskan itu. Kisah yang diwariskan kepada anak dan kepada para pendatang.

Waktu Uwak kemari satu tahun lalu pun juga diceritakan begitu. Bukankah di mana bumi dipijak di situ langit di junjung, di mana kita berada di situ kita berhukum? Lebih baik bila kita menuruti ketimbang kita melanggar larangan adat?

Uwak menyeruput kopi panasnya. Aku hanya tersenyum mengangguk. “Apa iya?” pikirku. Aku tak memercayai cerita Uwak. Bagiku dongeng perihal hantu itu tak pernah nyata. Sejak dahulu, orang-orang melayu memang terkenal ahli mendongeng.

Dahulu, waktu kecil, ibuku juga sering bercerita perihal serupa. Ia selalu bercerita padaku bermacam-macam kisah makhluk seperti— kisah hantu terang bulan, hantu gelap balam, hantu wewe magrib, hantu kemang, hantu kung, dan macam-macam kisah lainnya. Aku percaya waktu itu, tapi tidak untuk kini. Aku telah dewasa, juga mengenyam pendidikan sekolah.

Adanya jin aku percaya, tapi tak ada penjelasan ilmiah untuk semua cerita hantu tersebut. (Melainkan demi kepentingan orang tua dalam mendidik anak?). Deradedapak? Akh, itu tidaklah lebih dari hanya sekedar cerita yang diwariskan oleh orang-orang dulu, agar anaknya senantiasa berada di dalam rumah ketika gelap malam. Mungkin supaya terhindar dari bahaya hewan buas sekitar hutan. Ya, lebih baik kita pura-pura bodoh saja.

Malam merangkak perlahan. Derik jejangkrik semakin ramai berlomba-lomba. Laron-laron yang mati di sekitar temaram lampu pun semakin menumpuk. Aku merasa kantuk dan Uwak pun merasa kantuk. (Tak ada hal yang bisa dilakukan di tempat yang tak ada listrik—suasana hari yang malam—serta sempurna tidak boleh keluar pondok, kecuali tidur). Uwak Ine telah tidur, Uwak beranjak masuk ke bilik kamarnya. Dan aku pun ke kamarku.

Aku berbaring menggenggam ponsel. Mengutak-atik pilihan menunya. Biasanya saat di rumah, sebelum tidur aku selalu menyempatkan diri browsing situs-situs cerpen untuk mencari tambahan bacaan. Sekedar karena hobi dan menambah-nambah ilmu. Dan beberapa ruang bacaan yang beruntung karena sering mendapat kunjunganku, ialah: Tukang Kliping, Sriti.com, Lakonhidup. (Ya, ‘mereka bertiga’ sangat beruntung karena bisa mendapat kunjungan dari seorang calon penulis besar seperti aku).

Makin lama badan dan mataku terasa makin lelah. Tanpa listrik dan jaringan selular aku bisa apa? Ponsel kembali kusimpan pada saku celana kanan. Kantuk pelan-pelan mulai merayapi wajahku. Aku membebaskan kantuk, menguap…

Baru saja hendak lelap aku teringat sebuah buku kumpulan cerpen di dalam tas. Buku ini sebenarnya telah khatam akubaca, namun aku tak biasa tidur se ‘sore’ ini. Jam digital pada ponselku tadi, kalau aku tak salah ingat masih menunjukan angka 20.22 WIB.

Teringat akan buku itu membuat kantuk yang tadi menggelayut di kepalaku kini mendadak sirna. Bulan Celurit Api, sebuah kumcer tunggal kedua dari seorang cerpenis Sumsel bernama Benny Arnas. (Sebelum aku berangkat ke sini siang tadi, sebenarnya aku juga ingin membawa sebuah buku kumpulan sajak Eko Putra: Aku Serigala yang Merdeka Karena Cinta. Namun entah mengapa aku terlupa, aku merasa buku itu telah kumasukan ke dalam tas, namun ternyata sekarang tak ada).

Aku mengambil Bulan Celurit Api dan kembali telentang seperti tadi. Mengulang kembali membaca lembaran-lembaran cerpen dalam bukunya, bedanya sekarang aku ingin belajar untuk menganalisis karakter suatu tokoh yang ada dalam tiap-tiap cerita-cerita tersebut.

Menurutku: dengan menganalisis karakter suatu tokoh dalam suatu cerita fiksi, kita dapat belajar memahami karakter manusia secara tidak langsung, setidaknya untuk sekedar pembelajaranku yang masih tertatih-tatih dalam menulis ini. (Pendapat pertama itu aku kutip dari sebuah bacaan yang kemudian aku lupa entah di mana membacanya).

03.05
Angka penunjuk waktu yang tertera di ponselku. Aku mengucek-ngucek mataku dengan malas. Bulan Celurit Api tergeletak di samping lenganku. Tadi sepertinya aku tertidur, entah jam berapa. Aku merasa harus membuang sebagian air dalam tubuhku. Kata dokter aku mengidap nocturia, yaitu sebuah kondisi di mana penderitanya sering terbangun dari tidur untuk buang air kecil di malam hari. Aku ingin membuka pintu belakang dan kencing di luar, namun belum sempat aku menarik kunci pintu mendadak aku ingat akan cerita Uwak sebelum tidur tadi.

Tengkukku terasa merinding. Kucoba mengintip dahulu dari bilik dinding. Ada temaram yang agak terang sebab hari telah menjelang pagi. Pohon jambu klutuk yang samar. Kunang-kunang di kejauhan. Dan… tak dapat kupercaya apa yang kulihat. Jantungku berdegup kencang. Mendadak tubuhku terasa dingin. Nyaliku menciut. Kucari celah ruang di lantai, buru-buru kencing dalam ketakutan. Aku kembali berbaring berniat tidur, akan tetapi, kepanikan melebihi niatku.

***
Paginya aku melihat jejak langkah. Aku turun melalui dapur menyelidiki. Sebuah tapak yang seperti bermuara dari sungai di belakang pondok, lalu langkahnya menuju ke arah pondok, seolah berputar mengitari pondok, lalu menghilang ke arah utara kebun jagung Uwak. Aku tercenung memikirkan hal ini. Kesimpulanpun di dapat: hari itu juga aku pamit pulang ke Sekayu. (Rencanaku menginap di tempat Uwak awalnya empat hari).

Tak ada lagi malam-malam berikutnya di tempat Uwak. Ketika aku pamit dan menceritakan hal itu, kedua uwakku hanya tersenyum dan berkata kompak: menginaplah kembali di lain waktu. Aku pulang naik motorku. Jalanan tak diaspal penuh batu. Dalam hati aku hanya tertawa, dalam takut aku hanya tertawa, sungguh cerita itu...***


( Sekayu, Maret - April 2011 ) Herdoni Syafriansyah.