Selasa, 05 Juli 2011

Menunai Janji yang (Tak) Tertunai

Tidakkah gadis itu mengerti jikalau aku berjuang demi dia dan memang hanya demi dia ?

Oktober 1991

Pagi minggu, Amir yang baru saja selesai wisuda bersiap kembali menghirup udara desanya. Lima tahun sudah dirinya tak pernah kembali, tak melihat arus air desa yang bernyanyi pasang-surut. Bukan ia tak rindu sanak-saudara, bukan pula lupa kasih keluarga. Tapi demi seikat janji yang harus ditunaikan kepada orangtua pujaan. Janji pembuktian, keseriusan cinta seorang teruna kepada dara yang ingin sekali di pinangnya. Merindu agar sanggup bersanding di pelaminan kelak waktu. Gelar sarjana telah ia jabat, meski sekedar strata satu namun adalah prestasi gemilang bagi anggapan orang-orang desa Amir. Bagaimana tidak, di desa Amir, selain Pak Ipul— kades setempat— hanya kepala sekolah SMP Ayo Maju yang sanggup memajang gelar itu (tak ada SMA di desa Amir).

Berkemas Amir bersiap pulang, ia benamkan pakaiannya ke dalam tas besar yang dibawa kala merantau ke kota lima tahun lalu. Tas yang hanya bertambah lusuh di dekap waktu, tak terganti karena rezeki hasil kerja sambilannya hanya Amir manfaatkan untuk makan, membeli keperluan kuliah, dan sedikit lebih ada uang Amir luangkan untuk sedekah. Sebelum jarum jam menunjuk langit, tiga noktah di atas angka ke kiri Amir telah meninggalkan kota tersebut.

***
Merah lembayung di barat desa. Sore itu, sebuah catatan sejarah akan terhidang di kampung halaman Amir. Untuk pertama kalinya seorang dara asli desa setempat di persunting oleh seorang tentara, teristemewanya lagi tentara tersebut adalah seorang jenderal. Janur telah merunduk, tenda telah berdiri dimegahkan. Sebuah pesta terbesar, termegah nan juga termewah akan segera tercipta di kampung ini. Ibu-ibu meliuk membuat kue—memasak lauk—mengelap piring—dan sesekali meneriaki anaknya agar tidak terlalu jauh bermain, sedang para lelaki: asyik-masyuk bermain gaplek sembari menanak dan menanti masaknya air. Semua seakan begitu bersuka, begitu bahagia akan pernikahan yang akan di gelar esok tanpa sadar bahwa malam nanti adalah malam penuh lakon yang pelik.

***
Senyum mengepul berbaur tangis sembab yang meruah, tak terhindar lagi dari gurat tua wajah Aminah kala ia melihat anak laki sulungnya berdiri di muka pintu. Meski malam meremang-remang namun matanya masih pandai untuk mengenali raut cinta di wajah itu. Lima tahun sudah mereka tak bersua, tak bicara, tak memeluk, tak saling berkata “anakku-ibuku”—kini semua itu mereka khatamkan dalam pelukan, pelukan erat anak-ibu yang terpisah jarak berpaut waktu sekian lama. Pecahlah tangis mereka tak terbendung bak mendung melepas sesak gumpalan airnya yang tertahan.

“Bu, apa yang terjadi?” Seorang gadis terdengar berteriak diringi sayup-sayup berderap bunyi cepat melangkah.

“Sri… Lihatlah, Nak !! Lihat siapa yang datang ke rumah kita…”

Amir masuk ke dalam rumah kayu mereka yang telah lapuk itu. Matanya tertuju kepada seorang gadis ayu belasan tahun yang barusan berlari dan tengah berdiri menatap tajam dirinya.

“Owh… Kakak…!!” Pekik gadis itu setelah memastikan itu Amir dan langsung memeluknya.

Mereka segera bersapa kabar. Amir tersenyum mendengar riang adiknya. Ia keluarkan photo wisuda-nya beserta ijazah sarjana yang telah ia raih dari hasil perjuangan selama lima tahun. Sekiranya tidak harus bergempur dengan kerasnya hidup sendiri di kota, pastilah menjadi lulusan Cumlaude pun Amir sanggup.

“Bu, besok Amir akan ke rumah Tara. Menemui ayah dan ibunya untuk melamar Tara, lalu setelahnya Amir akan melamar kerja di kelurahan. Dengan gelar seorang sarjana pastilah Amir tak akan ditolak kerja di kelurahan.” Amir berujar disertai sumringah senyum kebahagiaan menatap keluarganya. Bahagia tak dialang tersirat di benaknya karena akan segera memetik manis ranumnya buah perjuangan yang telah sekian tahun ia tanam. Namun aneh, adik dan ibunya seperti tak menikmati kebahagiaan hatinya. Mereka hening, gigil, bisu, menunduk layu dan lesu. Amir pun menangkap keanehan rasa itu.

“Bu, ada apa ?! Tara masih hidup kan bu?!” ucap Amir pelan namun penuh desakan. Aminah terdiam, hanya menatap dalam-dalam wajah susah anaknya yang bisa ia lakukan. Tak kuasa ia jelaskan kebisuannya.

“Bu, ada apa… katakan padaku?! Kumohon bu!! Aku mohon…”

Oh!! semakin Amir mendesak, semakin bertambah pula gerimis rinai tangis di wajah Aminah, ibunya.

“Ayo bu… aku telah dewasa!! Ceritakan saja apa masalahnya!!” lagi-lagi Amir mendesak.

“Ibu, jadi rupanya Tara memang telah meninggal ya?!”

“Tidak kak, dia masih hidup. Dan mungkin sangat bahagia, tengah sangat berbahagia!!” ucap Sri yang segera memotong pembicaraan sebab tidak tega melihat kakaknya begitu tersiksa rasa keingintahuan. Satu dua detik berikutnya lepas melepaslah air mata Sri meruah di bening pipinya tak terhirau.

“Apakah ia bahagia karena telah tahu perihal kedatanganku malam ini?!”

Semua terdiam dan Amir sejenak tertegun.

“Oh… tidak !! Tak ada satu pun orang kampung ini yang tahu perihal kepulanganku hari ini. Jadi… jadi…” Amir terus berguman di dalam hati. “Adikku… tolong ceritakan sebenarnya perihal apa yang telah terjadi dan musabab apa kalian menangis dalam kebahagiaan Tara?”

“Bukan perihal bahagianya Tara yang membuat kami susah, Kak. Namun karena…” Sri tercekat, pedih semakin memerih di ceruk dingin hatinya.

“Karena apa adikku ?! Ayolah, jangan semakin kau buat bingung kakakmu yang lelah ini…”

“Besok, gadis itu akan, menikah. Dengan, seorang tentara, berpangkat Jenderal. Ya, Tara akan menikah kakakku,” ucap parau Sri terbata-bata dalam isak sedih diiringi tangis sedu sedan ibunya yang ikut memilu.

“Apa adikku, Tara akan menikah? Benarkah ?! Tidakkah gadis itu mengerti jikalau aku sedang berjuang demi ia. Kutinggalkan kampung halaman—rumah kita, demi menunai janji atas pintaan bapak-ibunya: ‘kan kusunting Tara kala aku bergelar sarjana dan telah bekerja.” Ya, adikku, itulah kata-kata yang aku ucapkan pada bapak pada ibunya atas ucapan mereka kala aku akan meminang Tara enam tahun lalu. Mereka menolakku dengan alasan takut jikalau Tara akan menderita bersamaku, karena kita miskin—sebab ayah telah tiada. Dengan kata-kata: sekiranya kau benar-benar sungguh hati pada anak kami, jadilah dahulu seorang sarjana. Bekerja dan berikan kami kepastian nafkah.

“ Sekarang… saat aku kembali, apakah ini yang harus aku dapatkan?! Telah lupakah ia akan secarik kertas yang pernah ia selipkan dalam hatiku?!” Amir berguman, “Oh… tidak !! aku harus menemui Tara!!”

Amir menurunkan tas besar yang ia sandang, diambilnya sebuah kertas yang masih terlipat rapi dari dalam kantong tas tersebut. Ia berdiri dan berusaha berlari sesegera mungkin.

“Amir!!”

Terhentilah pemilik kaki yang hendak melangkah itu mendengar ibunya memanggil.

“Kau tidak akan membuat kerusuhankan, Anakku?!”

Amir tersenyum, cukuplah senyumnya mewakili jawaban atas pertanyaan Ibu.

“Jaga diri!! kakak… ” Lirih peduli suara Sri.

Amir berlari keluar rumah. Segala daya ia kerahkan menempuh gelap malam walau tubuhnya serasa remuk tertelan lelah dan hatinya patah teriris perih. Demi cinta yang susah mati ia perjuangkan, demi kesungguhannya sebagai lelaki—sekuat tenaga Amir berlari, menghantam apapun yang menghalangi berharap secepat mungkin dapat menemui Tara. Terang bulan sebagai pemandu, dingin malam tak lagi ia peduli. Berlari dan terus berlari. Oh… masih hapal betul lelaki itu akan rumah kekasihnya yang berjarak hampir dua kilometer itu.

***
Sayup-sayup gelak tawa terdengar, keramaian orang-orang berkumpul telah terlihat. Amir mendesah berurai peluh. Sejenak lelaki itu berhenti mengatur napas, lalu kembali meneruskan langkahnya. Ia berjalan pelan dalam gelap menuju ke arah keramaian itu tapi tidak menghampirinya. Amir menghindar dari keramaian, ia menyelinap menuju ke jendela kamar dimana di sana ada seorang wanita yang tak pernah berhenti ia harapkan untuk bisa menjadi pengantinnya kelak waktu.

Tepat di samping jendela kamar Tara kini Amir berdiri. Di intipnya dari celah jendela kayu tersebut sang Kekasih tengah mewarnai kukunya bersama beberapa orang gadis desa sahabatnya. Amir mengeluarkan lipatan kertas yang ia taruh di kantung celana, lipatan kertas yang Tara berikan lima tahun lalu sebelum dirinya merantau untuk menjadi sarjana. Dengan penuh keyakinan Amir lemparkan lipatan kertas itu melalui lubang angin di atas jendela kamar Tara.

Plak...

Tepat di atas pangkuan Tara kertas itu terjatuh. Tara mengambilnya, membuka pelan lipatan kertas itu dan... berbinarlah mata gadis itu, antara pilu-haru-rindu dan bahagia-tawa-suka itulah warna yang terlukis dari rona binaran matanya. Tara menatap jendela, lalu meminta semua sahabatnya untuk keluar. Begitu semuanya pergi—segera Tara beranjak menuju jendela, membukanya dan... ya tamatlah cerita riwayat rindu mereka malam itu dalam lekat pelukan sepasang insan.

“Hey lelaki bodoh, kenapa lama sekali kau kembali?! Tak mengertikah engkau betapa berat aku menanti?! -Sergah manja Tara setelah melepas pelukannya.

Hidupku, kalaulah tidak karena menunai janji pada ayahmu—manalah mungkin aku akan pergi ke kota. Tak mengertikah engkau betapa pedih-perih hidup dalam perantauan?! Tak akan menangis seorang lelaki karena di pukul, namun tersiksa jauh dari keluarga… pun bagaimana tegarnya diriku tetaplah seorang manusia biasa pada umumnya. Tak tahukah engkau bagaimana kecemasanku meninggalkan adik perempuan dan ibuku sendiri di sini?! Setiap malam selalu aku berdoa agar tuhan menghindarkan adik dan ibuku dari apapun keburukan yang ada karena penjagaanku tak sampai terhalang jarak. Kuredam pedih perih itu demi menggapai harapan kita, harapan untuk bersama bersanding di pelaminan. Namun mengapa di saat aku pulang… kau lenyapkan harapan itu dengan hiasan janur di depan rumahmu?! Tak lagi pedulikah engkau akan sajak di tanganmu yang pernah kau berikan padaku lima tahun lalu ?!

Sejenak Tara menatap lembaran kertas di tangannya.

Saban waktu selalu aku membaca sajak itu hingga menjadikan aku benar-benar hapal akan tulisanmu itu—menjadikan ia sebagai penyemangatku, pengingatku akan dirimu, dan penepis godaan dari moleknya gadis-gadis kota. Akan aku bacakan sajak itu untukmu agar kau tahu kalau aku benar-benar mengingatnya.

:

Kepada: Dirimu

Demi Harapan Aku dan Kamu

Titiskan terista tertahan
canda-ilah gigil cerita
rapikan gugur tegarmu
sayangi dunia cintaku

bila waktu kian cemas
pelan
perlahankan langkahmu

Lihatlah lihat mereka kini
kau telah meraihnya
kau tahu arti malam
tak ‘kan ada tanpa siang

sabarlah cintaku

bila dunia memberi perih
tentu senyum setelahnya

jangan tangisi duriduri itu-sayang
jangan kau tangisi
karena di hadapanmu :
sayup-sayup keindahan telah terlukis

tak inginkah kau gapai teduh malammu
setelah terik siang menyengatmu

tersenyumlah cinta…

dunia selalu begitu


Oh, tak terbendung lagi aliran tangis di lekuk hidung gadis itu. Tak ia sangka sajak sederhana yang ia tulis lima tahun lalu masih tersimpan rapi dan bahkan telah terpateri di hati kekasihnya—yang bahkan ia sendiri pun tak pernah menghapalnya.

“Tara… aku tahu melalui sajakmu—kau berniat memberi semangat padaku. Berhasil, usaha itu berhasil sayang. Sesuai harapan bapakmu aku tak pernah kembali sebelum menjadi sarjana. Namun sedihnya, mengapa orang yang telah memberikan aku semangat untuk tidak menyerah itu justru menyerah di saat selangkah lagi mimpinya-kita akan tertunai.”

Tara menangis terisak pilu.

“Sedetik pun aku tak pernah menyerah cinta, tapi apalah dayaku tanpamu. Tiga bulan lalu tentara itu melamarku. Apa kau tahu kalau aku hanya bisa menangis ketika Ayah-Ibu mengiyakan lamarannya?! Lima tahun kau tak kembali, tak pernah ada kabar, oh… kukira kau pasti telah terpikat akan memesonanya gadis kota.”

“Bagaimana bisa aku menggantikan dirimu dengan sosok gadis lain? Kau adalah gadis yang telah belasan tahun aku harapkan untuk menjadi istriku. Belasan tahun aku setia padamu dan itu takkan berubah hanya karena kau tak di sampingku. Harusnya kau tahu dan seharusnya kau mengerti itu!!... Dan jelaskan padaku hidupku: bagaimana caranya untuk mengirim kabar bilakah aku tak boleh kembali oleh ayahmu sedang kantor pos apalagi jaringan telepon tak ada di kampung kita ini?!”

Tara terdiam, suasana hening untuk sesaat, lalu...

“Kupikir… aku akan segera bersanding dengan dirimu sepulang ini, ternyata…”

Amir kembali berujar namun tak selesai. Sesak menyesak terasa panas memukul dada hingga terlalu sulit ia untuk menyelesaikan kalimatnya. Airmata meleleh menggores pipi. Kebisuan menyelimuti pekat malam yang raya. Hening dan hanya suara jangkrik yang ramai keras berderik-derik. Gerimis pelan-pelan turun merinai-rinai. Sepertinya, malam yang basah ini akan menjadi semakin bisu.***

( Sekayu, 2 - 6 Juni 2010 )
Herdoni Syafriansyah