Rabu, 14 Desember 2011

Ratih

Dalam dekapan gigil di malam pekat, seorang wanita menerobos aral penuh nekat. Lidah petir menjilat-jilat. Tinjuan guntur memecah angkasa gelap. Langit yang gulita sekilas berkejap-kejap. Kilat dan guntur turun lagi. Paras wanita itu sesekali tercuri. Wajahnya tegar bagai matahari, namun sungguh tiada berseri. Ia terlihat letih. Wanita itu masih muda. Umur sekitar duapuluhdua. Dan, ia terus melangkah …

Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Hujan mencucuri bajunya basah. Hujan membuat tubuhnya basah. Langit tersapu sepi tanpa bintang. Gigil menghempas menusuk tulang. Dingin mendekap alang kepalang. Jalanan yang tampak samar. Lolongan anjing yang lamat-lamat terdengar. Hitam yang memar. Kelopak jalan yang beriak. Jalanan berlubang yang terinjak. Air yang berkecipak. Angin yang berkesiuran. Daun gugur sepenuh jalan. Pepohonan yang sekilas terlihat. Pepohonan tepi jalan yang sekilas terlihat oleh kilat. Reranting yang berderak. Reranting yang patah. Hujan, gelap, sepi, dingin ….

***
Malam begitu mencekam. Suara tangisan itu menjadi-jadi. Malam begitu mencekam. Tangisan itu menyayat-nyayat hati. Sebuah kesedihan yang menyatu dengan suram tangis hujan. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Ia menatap ke arah luar. Hujan begitu derasnya. Memang tidak jelas sebab gelap, namun bunyinya begitu kuat. Ia menatap ke arah luar melalui bilik jendela kamar rumah kayunya. Ia menatap dengan nanar. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Sebentar-sebentar ia menatap lagi. Jelas sekali kini ia tengah menanti. Jelas sekali ia kini tengah menanti seseorang.

Malam begitu mencekam. Dari dalam gubuk yang kecil itu kini suara tangisan tersebut semakin menjadi-jadi. Tangisan seorang bayi. Wanita itu tengah menanti seseorang. Ia cemas secemas-cemasnya. Sejak malam kemarin lakinya pergi dan belum juga kembali. Sejak malam kemarin suaminya pergi dan hingga malam ini belum juga pulang. Dada wanita itu berdebar-debar keras. Tangisan bayi itu menjerit-jerit keras. Hati mereka sama-sama cemas.

Malam begitu mencekam. Sejauh mata memandang hanyalah gelap yang tampak di luar sana. Sesekali kilat yang menyambar menunjukan rupa ciptaan Tuhan. Dalam kilas cahaya itu, dia berharap bayang suaminya akan segera muncul memecah pekat malam. Sebenarnya, ia bukan mencemaskan perihal keadaan suaminya. Sebenarnya, ia tidak terlalu mencemaskan keadaan suaminya. Namun, yang ia pikirkan adalah keadaan putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Sejak pukul empat sejak sore tangisnya tak putus-putus, sedang hujan tak kunjung jua reda.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia ingin pergi mencari suaminya ke luar. Tetapi, kemanakah ia akan mencari di malam pekat serta hujan begini? Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia kembali menatap putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Bayi itu terlihat pucat dan menangis. Andai tidak sedang menangis, bayi itu akan terlihat begitu manis, alisnya tipis wajahnya simetris. Badannya mungil berselimutkan kain tebal yang lembut. Kain itu menutupi seluruh tubuhnya, hanya wajah dengan mata mungil yang menangis dan mulut kecilnya yang menjerit terlihat. Ibunya mendekat, mengusap dan mencium keningnya. Gadis mungil itu diam sejenak. Badan gadis kecil itu panas, ia terkena demam. Badan gadis kecil itu panas, pastinya ia terkena demam yang lumrah dialami bayi.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Bilakah tidak segera diobati ia takut akan terjadi apa-apa pada anaknya. Apakah ada yang dapat menjamin akan baik-baik saja anaknya tanpa diobati? Ratih, ibu bayi ini pun tak tahan lagi berdiam diri. Ia beranjak menuju lemari membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di sana guna mencari barangkali ada uangnya yang terselip, tersisa di sana. Ratih, ibu bayi ini pun tak bisa lagi berdiam diri. Ia kembali membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di lemari guna mencari barangkali ada sisa uangnya yang terselip, di sana. Meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja sama; meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja nihil ...

Ratih lelah, ia melangkah meletakkan kembali pantatnya di muka kasur berseprai putih yang lusuh itu. Ratih lelah, ia duduk di samping anaknya yang sedari tadi terus saja menangis tak henti. Ratih kembali mengecup kening anaknya. Mata gadis kecil itu begitu bening …

Ratih mendesah, ia merenung menggamit bibir. Matanya menerawang menatap ke atas. Jelas sekali kalau Anda perhatikan, atap rumah mereka sudah banyak yang berlubang. Air jatuh sesukanya berkecipak ke dalam rumah. Angin yang berhembus pelan begitu keramat pastilah akan membuat kuduk menjadi dingin dan merinding. Bila ia terus menghayati maka terbayang olehnya saat setahun lebih yang lalu.

Bermula pada sebuah acara pesta perkawinan temannya di kampung seberang, Ratih berkenalan dengan seorang pemuda. Pemuda itu sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang pemuda yang memang berbudi sangat baik. Satu bulan setelah perkenalan itu mereka telah resmi berpacaran.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Berulang kali kedua orangtua Ratih berusaha menasihati, mengingatkan anaknya itu bahwa sesungguhnya lelaki tersebut tidaklah benar-benar baik seperti apa yang terlihat padanya.

“Ratih, pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Ibu punya teman di dusun seberang yang persis tetangga dekatnya. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Kamu carilah lelaki yang lain saja, Ibu lebih setuju jika kamu dekat sama ustad Somad-anaknya Haji Afsya- syukur-syukur kamu bisa jadi mantunya Haji Afsya. ‘Kan Ayah dan Ibu jadinya bisa bangga itu punya mantu seorang Ustad.”

Ratih hanya terdiam. Telah khatam ratusan kali Ayah dan Ibunya menasehati, mengingatkan kepada dirinya bahwa lelaki itu tak baik – tak baik – selalu saja tak baik, namun Ratih tak pernah percaya dan tetap tak pernah mau mendengar. Akhirnya ia pun mengajak kekasihnya itu untuk kawin lari.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Ratih tak lagi peduli akan kata orangtuanya, ia merasa ia yang paling tahu dan juga pikirnya ia yang akan menjalani hidupnya itu. Sekiranya nanti akan ada masalah, biarlah itu menjadi masalah dan tanggungjawabnya.

Dua bulan setelah pernikahan ratih pun mengandung. Suaminya yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu pun makin bertambah menyayanginya. Sekarang mereka tinggal pada sebuah desa pemekaran yang baru berkembang, delapanpuluh kilometer jaraknya dari desa mereka yang dahulu.

Setelah mereka menikah dua bulan lalu, mereka menyewa sebuah gubuk ala kadarnya di desa kediaman mereka tersebut. Lelaki yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan memang seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu belum mendapatkan pekerjaan. Sehari-hari mereka menyambung hidup dengan hanya mengandalkan sisa uang dari hasil menjual perhiasan-perhiasan emas Ratih.

Menjelang usia kehamilan yang menginjak bulan kedelapan lelaki itu tetap saja belum mempunyai pekerjaan—bertani ia tak mau, berkebun juga ia tak mau—sehari-hari kerjanya hanya memancing atau menghilang dari rumah entah kemana. Namun, ia pernah pulang dengan senyuman bangga seraya memamerkan segenggam uang yang ia bilang dari hasil menjual ikan pancingan, tapi pernah pula ia kembali dengan raut muka semrawut seolah-olah baru saja tertimpa kesialan yang paling maha sial.

Hari-hari menyulam hari, waktu tak pernah mundur dan berhenti. Tibalah masanya Ratih melahirkan. Dengan dibantu oleh seorang dukun beranak di kampung setempat, bayi mungil itu lahir dengan selamat. Seorang bayi perempuan yang begitu manis: alisnya tipis, rambutnya tipis, kulitnya bersih klimis, matanya mungil bola tenis, wajahnya simetris, perpaduan yang sungguh harmonis. Manis … Manis … Manis … sangat manis!

Sekarang, ia kembali mendesah, menggamit bibir. Matanya menatap si mungil itu. Satu hari setelah ia melahirkan si mungil itu suaminya selalu keluyuran malam. Ia tak tahu dan tak berniat mencampuri urusan suaminya. Ia juga tak tahu persis kemana tujuan suaminya. Namun, kata orang-orang, suaminya suka nongkrong di pos ronda ujung desa. Kumpul-kumpul kata orang. Sekarang ia cemas secemas-cemasnya. Sudah sejak malam kemarin suaminya pergi dan belum juga kembali. Ia tak lagi punya persediaan uang. Persediaan susu anaknya yang terakhir pagi tadi telah habis. Dan anaknya kini terus menangis, sedang ASI-nya hanya mampu membuat bayi itu diam sekejap. Mungkin, bayi itu memang tak terlalu lapar. Mungkin ia menangis karena demam, karena panas badannya. Namun Ratih tak punya uang untuk membeli obat, untuk membawanya ke Puskesmas di kota. Hatinya kini cemas secemas-cemasnya.

“Aku harus mencari suamiku, ia harus tahu keadaan anaknya. Meski mungkin ia juga sedang tak punya uang, tapi aku percaya ia pasti bisa mengusahan solusinya. Yang jelas, ia harus tahu dulu bagaimana keadaan putrinya.”

Sejauh mata memandang hanyalah gelap. Ratih membulatkan tekad menjemput suaminya. Ia bingung harus kemana melangkahkan kaki, mencari suaminya di malam hujan begini, namun setidaknya dari pos ronda ia akan mengawali. Anaknya telah tertidur, mungkin kelelahan menangis, mungkin demam telah memberatkan matanya hingga ia lekas tertidur. Wajah anak itu pulas dan damai, namun ia terlihat malang.

Wanita itu keluar seorang diri. Tanpa payung. Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Ia berharap segera bertemu dengan suaminya. Tiba-tiba ia teringat keluarganya, ia teringat akan Ayah dan Ibu. Lalu muncul pikiran-pikiran liar, muncullah perkataan-perkataan, “pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Pria itu bukan pria baik, Nak. Dia suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk juga. Bukan pria baik, Nak! Bukan! ...”

Pikiran-pikiran itu menjadi sangat mengganggu. Entah kenapa kemudian Ratih merasa kepalanya terasa sangat menyut. Ia berjalan sempoyongan. Hujan, gelap, sepi, dingin … melintaslah wajah anaknya yang terlihat sangat malang. Tiba-tiba, Ratih merasa sangat ingin sekali membunuh suaminya. ***

(Sekayu, Mei – Oktober 2011) Herdoni Syafriansyah

ESOK KITA SELALU BERSAMA

Aku ucapkan salam paling indah kepada yang
terindah yang melewati indahnya gugur pelangi di senja hari.

Apa kabar dirimu di sana? ...

Apakah kau tahu … Jujur, aku merinduimu di setiap detik tergelar. Di sepenuh galau lalau waktu, rindu ini berdenyut ngilu nyesak mendesak ingin bertemu.

Apakah pernah kau merasakan rindu yang begitu berat seperti halnya rinduku kepadamu?

Sungguh, sekedar menatap manis rona wajahmu pada foto ini saja telah begitu menghangatkan aliran rasa cintaku. Andai saja engkau ada di sini, akan kupaut erat jari jemarimu yang lembut itu. Akan kurangkul engkau masuk ke dalam rumah hati kita, dan kupersilahkan kau duduk pada seliri merah itu, lalu kupandangi engkau puas-puas agar pupus beban rinduku. Bila sekiranya saja mata ini dapat memandang langsung keanggunan dirimu, maka pasti bermekarlah kelopak kuncup rindu hari-hari hatiku yang menunggu. Tetapi malang, semua ini seakan begitu sulit sekarang.

Perlip cintaku. Barangkali … bersamaku ada banyak sekali lara yang dikau rasa, ada banyak duka yang menyiksa. Dan setiap kali dulu kita bertemu, setiap kali aku menatap kamu, kenapa ya yang selalu tampak darimu itu hanyalah senyum, selalu saja senyum. Kau seolah tak pernah ada keluh, tak pernah ada susah. Kasihsayangmu terasa amat besar kepadaku, dan kasihsayangmu yang senantiasa hadir itu benar-benar telah membuat aku tertawan. Makhluk terkejam pun pasti akan tertawan bila disayangi, apalagi aku ini.

Dari sini aku membayangkan bening matamu. Entah kenapa tiba-tiba hatiku serasa teduh dan damai bagai selingkup dedaunan yang mendamaikan bumi kala panas. Kasih sayang semulia halimun surga yang engkau berikan dan kesetiaanmu yang hadir dengan kepulan romansa merah muda itu adalah suatu kemestian yang terus membakar semangatku, membakar harap yang akan dan harus kita wujudkan: harapan indah bahagia bersama seorang kekasih yang mencintai dan yang kita cintai.

Gadisku, maafkan aku bila ada lara yang tergurat di hatimu. Akh, seharusnya tak perlu kutulis: bila ada, sebab tentunyalah pasti ada. Hanya saja, ya … wanita memang makhluk yang paling pandai menyembunyikan rasa. Rasa cinta, rasa sakit, rasa lara, rasa rindu, rasa ini, rasa itu … dan bermacam-macam rasa hati lainnya yang selalu pandai untuk kalian sembunyikan. Aku sendiri terkadang berpikir, darimana ya kalian bangsa wanita belajar semua itu?

Cinta … maafkan aku yang mungkin penuh lemah, penuh luka di tubuh ini. Ya Sayang, kadang-kadang terlintas juga di benakku bahwa mungkin ayahmu itu benar. Aku mungkin memang tak sepantas dengan peri seindah dirimu. Seelok kamu dan semanis kamu. Kamu seorang calon dokter muda yang punya masa depan cerah, sementara aku … hanyalah seorang penulis tak dikenal yang sekedar menambatkan hidupnya pada angan, dan berharap dapat membuatmu selalu bahagia kelak waktu. Oh ya, sehabis ini kau juga berniat melanjutkan studimu menuju spesialis pediatri, ‘kan? Astaga, memang apalah artinya aku ini dibandingkan dengan dirimu. Andai seandainya bukan karena kepercayaan dan keseriusan dirimu padaku, niscayalah aku tak akan sanggup bertahan.

Sabar ya Sayang!... Nanti kita pasti bersama. Sabar! Nanti kita akan terbang bahagia selaksa sepasang merpati yang membawa surat ini. Riang seperti merekalah kita pastinya nanti.

Dahulu, tiga tahun yang lalu kita berjumpa, tanpa sengaja— atau tepatnya Tuhan memang menyengaja. Aku tengah tamasya ke negerimu. Pada sebuah halte di depan kampusmu. Hari hujan, tajam menikam, kau berteduh dan akupun berteduh. Waktu itu kursi panjang di halte itu telah penuh. Siapapun yang baru datang seperti aku mau tidak mau pilihannya berdiri. Kau juga telah berdiri duluan. Kita berdiri bersampingan. Awalnya kita sama-sama tak saling memedulikan. Namun, kemudian entah sebab kenapa kau menoleh pandang padaku; aku menoleh kepadamu: mata kita beradu tatap.

Kau tersenyum manis, sangat manis, betapa sangat manis yang tentu saja kubalas dengan senyuman manis, sangat manis, dan betapa sangat manis pula. Lalu ada yang membuka suara, entah siapa. Kita pun memulai obrolan ringan, dan kemudian entah sebab kenapa kita berdua bisa segera menjadi akrab. Sepertinya, ai … bukan, aku yakin Tuhan memang menyengaja.

Sayang, aku di sini telah sangat lama menantimu. Merindui kamu. Menanti untuk dapat bertemu. Untuk dapat segera menatap senyuman manis di atas dagu tirusmu. Cuap-cuap lucu seorang dara yang teramat teduh di hati teruna pecintanya.

Telah begitu lama aku tidak melihat senyummu sesudah terakhir senja itu kita bersua. Pertemuan terakhir kita sebelum ini di kala senja yang indah dengan tebaran cahaya kasih sayang yang merona berbinar. Andai seandainya hidup tidak pernah punya masalah, alangkah cerianya paras megah semesta yang indah ini.

Sayangku, aku sangat dan sangat sayang padamu!! Mungkinkah adanya kita bisa menuntaskan mimpi-mimpi indah kita ini?! Mimpi indah akan hidup yang menyenangkan. Mimpi indah berdamping di pelaminan. Mimpi menjadi keluarga yang bahagia. Keluarga yang indah Perlipku.

Setelah sekian tahun waktu berlalu dari hari ini, ketika putra kita mulai mengucapkan kata ‘Mama’ kepadamu, saat kita bersama-sama melihat lucu-lucunya ia belajar berjalan, suap demi suap kasih sayang selalu dan terus selalu kau berikan kepadanya. Pada saat itu hidup kita telah berjalan indah, sungguh telah berjalan sangat indah. Kau bahagia, aku bahagia. Kita bahagia bersama-sama.

Mengapa aku memimpikannya? Sayangku, jauh di sana kau tentu telah mengerti. Betapa sudah terlalu banyak kebencian dan kekejian di dunia ini. Sudah terlalu banyak. Misalkan, lihatlah saja tentang berita-berita korupsi di teve yang tak pernah usai, tentang orang khianat yang sibuk berjanji-janji lalu tidak lagi peduli, tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang akan makin terlantar meski kata undang-undang mereka dipelihara (atau memang beginilah cara mereka memeliharanya? mungkin, kalau orang miskin habis tak akan ada lagi yang bisa dibodohi?), tentang kekerasan yang hancurkan sana hancurkan sini, tentang cerita-cerita pembunuhan, cerita-cerita perkosaan, cerita penganiayaan, cerita-cerita yang …

Akh, lupakanlah saja semuanya Sayangku. Semua cerita buruk itu tak penting karena memang hal-hal buruk itu tak perlu penting buat kita. Menurutmu, di dunia ini selain kita, apakah masih ada ya orang yang saling mengasihi dan menyayangi se-eksentrik kita? Apa iya hanya tersisa kita berdua pasangan kekasih yang benar-benar dapat tulus dan apa adanya dalam mencinta? Apakah zamannya yang sekarang telah salah ataukah kita ini yang telah salah zaman?

Kekasihku, bersamamu aku merindukan keluarga yang damai. Merindukan keluarga yang sejuk-sejuk menentramkan hati. Aku tahu Perlip pun pasti ingin begitu, iya ‘kan? Tetapi, kita berdua masih harus berjuang dan bersabar bersama ya sayang ... Jalan terjal bercuram berliku menikung masih penuh di muka kita. Untuk sementara hanya kasih sayang inilah yang bisa selalu dan akan selalu bisa kita ukirkan.

Nanti, aku dan kamu pasti bisa berlayar di atas kapal cinta kita yang indah itu, berdua kita menjadi nahkoda meski mungkin saja setiap waktu lidah-lidah ombak yang ganas selalu menderu menerjang kapal kita. Jangan sedih gadis manis. Hidup akan terasa indah kalau kita nikmati. Bersama berdua akan kita hadapi.

Hei, kamu tersenyum ya? Meski jauh darimu di sini aku tahu kamu pasti tersenyum. Hehe.. kamu memang harus begitu. Jangan pernah bersedih ya Sayang, aku bingung kalau kau bersedih. Perlip harus selalu yakin akan harapan kita, kelak di hari esok kita pasti akan bersama. Kita menikah dan pindah ke sebuah pulau paling indah yang memang sungguh sangat terindah. Pulau yang tak ada lagi tandingan indahnya di dunia ini, di semesta ini bahkan. Suatu pulau yang memiliki keindahan seindah surga di bagian terselubung kehidupan ini. Di sana nanti hanya akan ada kita: aku dan hanya kamu, juga anak-anak kita tentu. Tidak lebih dan seharusnya memang tak perlu menjadi lebih bagi kita para pecinta.

Nanti, bilakah sore menjelang kita berdua menikmati manisnya waktu. Menikmati sedapnya kebersamaan. Bersama dengan saling bersandar kita duduk di tepian pulau menatap getaran ombak yang berkecipak basah, menghirup pekat aroma laut bergaram, menjuntaikan kaki supaya terasa lebih santai, pasir-pasir yang putih, ombak berdebur menghantar mestika.

Lalu, kita juga menikmati mulus elusan angin yang sendu di pulau, menggenggam segelas cappuccino hangat lalu kita bagi berdua, tentu saja kita akan menatap pantulan indah keemasan matahari sore pada permukaan air yang terkadang lucu serupa telur buatanmu yang bergelombang, pastinya pula pada suatu sore akan turun gerimis lalu kita bermain kejar-kejaran dan tertawa dalam rinainya, mungkin pula suatu saat kita akan memancing tanpa umpan— hanya sekedar untuk menikmati kebersamaan, atau mungkin juga kita akan bersikap serius melukis kembang edelwais walau kita berdua sama-sama tak pernah bisa melukis. Haha …

Lalu sayangku kita pulang, pulang menuju gubuk dari bambu berhias bunga-bunga yang sudah aku dan kamu dirikan. Menikmati semua keadaan yang ada tanpa sepotong pun percakapan hangat yang terucap dari bibir, namun hati kita selalu mampu merasakan hangatnya.

Di sana, di pulau itu aku hanya ingin ada kita berdua yang pertama, lalu nanti keturunan kita tanpa siapapun yang lain, tanpa iblis juga inginnya. Setelah itu kita akan membangun sebuah peradaban yang baru: Peradaban Cinta Kasih. Kejahatan tidak boleh dan tidak akan pernah diajarkan di pulau kita. Andai seandainya di dunia ini tak pernah ada iblis, Sayang …

Saat-saat kamu jauh dariku seperti sekarang ini, aku minta kamu jangan terlalu berlebih ya memikirkan aku. Percayalah aku selalu baik-baik di sini. Kata seorang penyair yang bernama Afsya Kemilau, “hidup hanya mengulang kisah, menanti lelah dalam sejarah”.

Kita ini hidup hanyalah sebagai pengembaraan. Engkau hanyalah pengelana. Aku hanyalah pengelana. Kita sama-sama mengembara dalam dunia yang fana. Jiwa aku, jiwa kamu, jiwa kita ini tidaklah utuh sempurna, dan tak akan pernah bisa menjadi utuh sempurna. Maka jangan pernah kita mencari ujung pelangi. Segala kesempurnaan terkadang bukanlah jaminan hati yang bahagia, Sayangku. Kebahagian itu datang ketika kita berkenan bersyukur. Seperti aku bersyukur memilikimu.

Perlip, aku hanya ingin bahagia bersama denganmu. Cukup hanya seorang denganmu. Karenanya di sisa masa sepiku yang ada, aku akan selalu bersujud memohon berdoa kepada Tuhan. Sekiranya saja aku bisa pergi menghadap Tuhan, Sayang. Pastilah aku akan segeranya menemuinya.

Kita akan pergi bersama-sama agar semua malaikat dan bidadari tahu bahwa betapa kita berdua benar-benar saling mencintai. Pabila nanti kita sudah bertemu langsung dengan Tuhan, aku akan meminta dengan segala kerendahan hatiku agar Tuhan berkenan mempermudah hubungan kita.

Kemudian, bidadari serta malaikat yang melihat kita pasti akan turut berdoa pada Tuhan sebab haru pada kisah cinta kita. Coba sejenak pikirkan Sayang, aku yakin pertemuan pertama kita waktu itu bukanlah tanpa kesengajaan. Tuhan pasti memang merencanakannya. Oleh karena itu, bila kesusahan ini adalah mauNya, mari kita jalani saja dengan indah. Astaga, sepertinya aku ini terlalu terbawa hati hingga rasanya ada air di pelupuk mata ini.

Sungguh, betapa terjal langkah-langkah yang sudah kita lalui hingga bisa berdiri kini. Sekian tahun lebih kita mencari tujuan sama dengan sisi yang berbeda. Ai … Seandainya ayahmu itu bisa di ajak berkompromi. Aku memahami perihal rasa sayangnya kepadamu. Seumpama sebuah pelukan begitulah cara ia menyayangimu. Tetapi sedihnya adalah beliau memelukmu dengan sungguh sangat eratnya, hingga kau pun sulit untuk bernapas. Dan lebih celakanya beliau tak pernah sadar akan hal itu?

***
Sayang, tengoklah merah lembayung di ufuk kota kita ini. Entah sekian tahun ke depan apakah masih mungkin kita bisa menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang manis ini, setelah nanti akan ada banyak gedung-gedung yang berdiri dengan angkuh. Keangkuhan yang begitu buruk, yang membatasi indahnya karunia Tuhan. Keangkuhan juga selalu berusaha membatasi cinta lewat perbedaan, namun aku tahu ia tak akan pernah menang. Dari sini sayup-sayup senja telah mengaji pertanda petang ini akan berakhir, pertanda waktu masih mengalir, dan malam akan lahir, maka surat ini juga akan berhenti berakhir. Aku harus berdo’a untuk cinta kita, Sayang. Tersenyumlah. Percayalah gadisku. Esok kita selalu bersama, pasti selalu kita bersama…***

(Sekayu, April 2010 – Agustus 2011) / Dimuat Sumatera Ekpres dan Harian Muba November 2011.
-Herdoni Syafriansyah