Rabu, 14 Desember 2011

Ratih

Dalam dekapan gigil di malam pekat, seorang wanita menerobos aral penuh nekat. Lidah petir menjilat-jilat. Tinjuan guntur memecah angkasa gelap. Langit yang gulita sekilas berkejap-kejap. Kilat dan guntur turun lagi. Paras wanita itu sesekali tercuri. Wajahnya tegar bagai matahari, namun sungguh tiada berseri. Ia terlihat letih. Wanita itu masih muda. Umur sekitar duapuluhdua. Dan, ia terus melangkah …

Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Hujan mencucuri bajunya basah. Hujan membuat tubuhnya basah. Langit tersapu sepi tanpa bintang. Gigil menghempas menusuk tulang. Dingin mendekap alang kepalang. Jalanan yang tampak samar. Lolongan anjing yang lamat-lamat terdengar. Hitam yang memar. Kelopak jalan yang beriak. Jalanan berlubang yang terinjak. Air yang berkecipak. Angin yang berkesiuran. Daun gugur sepenuh jalan. Pepohonan yang sekilas terlihat. Pepohonan tepi jalan yang sekilas terlihat oleh kilat. Reranting yang berderak. Reranting yang patah. Hujan, gelap, sepi, dingin ….

***
Malam begitu mencekam. Suara tangisan itu menjadi-jadi. Malam begitu mencekam. Tangisan itu menyayat-nyayat hati. Sebuah kesedihan yang menyatu dengan suram tangis hujan. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Ia menatap ke arah luar. Hujan begitu derasnya. Memang tidak jelas sebab gelap, namun bunyinya begitu kuat. Ia menatap ke arah luar melalui bilik jendela kamar rumah kayunya. Ia menatap dengan nanar. Wanita itu cemas secemas-cemasnya. Sebentar-sebentar ia menatap lagi. Jelas sekali kini ia tengah menanti. Jelas sekali ia kini tengah menanti seseorang.

Malam begitu mencekam. Dari dalam gubuk yang kecil itu kini suara tangisan tersebut semakin menjadi-jadi. Tangisan seorang bayi. Wanita itu tengah menanti seseorang. Ia cemas secemas-cemasnya. Sejak malam kemarin lakinya pergi dan belum juga kembali. Sejak malam kemarin suaminya pergi dan hingga malam ini belum juga pulang. Dada wanita itu berdebar-debar keras. Tangisan bayi itu menjerit-jerit keras. Hati mereka sama-sama cemas.

Malam begitu mencekam. Sejauh mata memandang hanyalah gelap yang tampak di luar sana. Sesekali kilat yang menyambar menunjukan rupa ciptaan Tuhan. Dalam kilas cahaya itu, dia berharap bayang suaminya akan segera muncul memecah pekat malam. Sebenarnya, ia bukan mencemaskan perihal keadaan suaminya. Sebenarnya, ia tidak terlalu mencemaskan keadaan suaminya. Namun, yang ia pikirkan adalah keadaan putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Sejak pukul empat sejak sore tangisnya tak putus-putus, sedang hujan tak kunjung jua reda.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia ingin pergi mencari suaminya ke luar. Tetapi, kemanakah ia akan mencari di malam pekat serta hujan begini? Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Ia kembali menatap putrinya yang baru berumur empat minggu itu. Bayi itu terlihat pucat dan menangis. Andai tidak sedang menangis, bayi itu akan terlihat begitu manis, alisnya tipis wajahnya simetris. Badannya mungil berselimutkan kain tebal yang lembut. Kain itu menutupi seluruh tubuhnya, hanya wajah dengan mata mungil yang menangis dan mulut kecilnya yang menjerit terlihat. Ibunya mendekat, mengusap dan mencium keningnya. Gadis mungil itu diam sejenak. Badan gadis kecil itu panas, ia terkena demam. Badan gadis kecil itu panas, pastinya ia terkena demam yang lumrah dialami bayi.

Wanita ini mulai tak lagi dapat menahan sabar. Bilakah tidak segera diobati ia takut akan terjadi apa-apa pada anaknya. Apakah ada yang dapat menjamin akan baik-baik saja anaknya tanpa diobati? Ratih, ibu bayi ini pun tak tahan lagi berdiam diri. Ia beranjak menuju lemari membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di sana guna mencari barangkali ada uangnya yang terselip, tersisa di sana. Ratih, ibu bayi ini pun tak bisa lagi berdiam diri. Ia kembali membolak-balik membongkar lipatan kain-kain di lemari guna mencari barangkali ada sisa uangnya yang terselip, di sana. Meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja sama; meski ratusan kali ia mencoba, akhirnya tetaplah saja nihil ...

Ratih lelah, ia melangkah meletakkan kembali pantatnya di muka kasur berseprai putih yang lusuh itu. Ratih lelah, ia duduk di samping anaknya yang sedari tadi terus saja menangis tak henti. Ratih kembali mengecup kening anaknya. Mata gadis kecil itu begitu bening …

Ratih mendesah, ia merenung menggamit bibir. Matanya menerawang menatap ke atas. Jelas sekali kalau Anda perhatikan, atap rumah mereka sudah banyak yang berlubang. Air jatuh sesukanya berkecipak ke dalam rumah. Angin yang berhembus pelan begitu keramat pastilah akan membuat kuduk menjadi dingin dan merinding. Bila ia terus menghayati maka terbayang olehnya saat setahun lebih yang lalu.

Bermula pada sebuah acara pesta perkawinan temannya di kampung seberang, Ratih berkenalan dengan seorang pemuda. Pemuda itu sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang pemuda yang memang berbudi sangat baik. Satu bulan setelah perkenalan itu mereka telah resmi berpacaran.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Berulang kali kedua orangtua Ratih berusaha menasihati, mengingatkan anaknya itu bahwa sesungguhnya lelaki tersebut tidaklah benar-benar baik seperti apa yang terlihat padanya.

“Ratih, pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Ibu punya teman di dusun seberang yang persis tetangga dekatnya. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Kamu carilah lelaki yang lain saja, Ibu lebih setuju jika kamu dekat sama ustad Somad-anaknya Haji Afsya- syukur-syukur kamu bisa jadi mantunya Haji Afsya. ‘Kan Ayah dan Ibu jadinya bisa bangga itu punya mantu seorang Ustad.”

Ratih hanya terdiam. Telah khatam ratusan kali Ayah dan Ibunya menasehati, mengingatkan kepada dirinya bahwa lelaki itu tak baik – tak baik – selalu saja tak baik, namun Ratih tak pernah percaya dan tetap tak pernah mau mendengar. Akhirnya ia pun mengajak kekasihnya itu untuk kawin lari.

Sebagaimana pada umumnya manusia yang sedang dilanda asmara, maka bagi mereka segalanya adalah terasa indah, apalagi bagi pecinta yang masih muda. Pasangannya akan menjadi orang yang paling baik di mata mereka serta juga paling benar, apalagi bagi mereka pecinta yang masih muda. Ratih tak lagi peduli akan kata orangtuanya, ia merasa ia yang paling tahu dan juga pikirnya ia yang akan menjalani hidupnya itu. Sekiranya nanti akan ada masalah, biarlah itu menjadi masalah dan tanggungjawabnya.

Dua bulan setelah pernikahan ratih pun mengandung. Suaminya yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu pun makin bertambah menyayanginya. Sekarang mereka tinggal pada sebuah desa pemekaran yang baru berkembang, delapanpuluh kilometer jaraknya dari desa mereka yang dahulu.

Setelah mereka menikah dua bulan lalu, mereka menyewa sebuah gubuk ala kadarnya di desa kediaman mereka tersebut. Lelaki yang sangat sopan, gagah, berbudi baik, dan kelihatan memang seperti seorang lelaki yang memang berbudi sangat baik itu belum mendapatkan pekerjaan. Sehari-hari mereka menyambung hidup dengan hanya mengandalkan sisa uang dari hasil menjual perhiasan-perhiasan emas Ratih.

Menjelang usia kehamilan yang menginjak bulan kedelapan lelaki itu tetap saja belum mempunyai pekerjaan—bertani ia tak mau, berkebun juga ia tak mau—sehari-hari kerjanya hanya memancing atau menghilang dari rumah entah kemana. Namun, ia pernah pulang dengan senyuman bangga seraya memamerkan segenggam uang yang ia bilang dari hasil menjual ikan pancingan, tapi pernah pula ia kembali dengan raut muka semrawut seolah-olah baru saja tertimpa kesialan yang paling maha sial.

Hari-hari menyulam hari, waktu tak pernah mundur dan berhenti. Tibalah masanya Ratih melahirkan. Dengan dibantu oleh seorang dukun beranak di kampung setempat, bayi mungil itu lahir dengan selamat. Seorang bayi perempuan yang begitu manis: alisnya tipis, rambutnya tipis, kulitnya bersih klimis, matanya mungil bola tenis, wajahnya simetris, perpaduan yang sungguh harmonis. Manis … Manis … Manis … sangat manis!

Sekarang, ia kembali mendesah, menggamit bibir. Matanya menatap si mungil itu. Satu hari setelah ia melahirkan si mungil itu suaminya selalu keluyuran malam. Ia tak tahu dan tak berniat mencampuri urusan suaminya. Ia juga tak tahu persis kemana tujuan suaminya. Namun, kata orang-orang, suaminya suka nongkrong di pos ronda ujung desa. Kumpul-kumpul kata orang. Sekarang ia cemas secemas-cemasnya. Sudah sejak malam kemarin suaminya pergi dan belum juga kembali. Ia tak lagi punya persediaan uang. Persediaan susu anaknya yang terakhir pagi tadi telah habis. Dan anaknya kini terus menangis, sedang ASI-nya hanya mampu membuat bayi itu diam sekejap. Mungkin, bayi itu memang tak terlalu lapar. Mungkin ia menangis karena demam, karena panas badannya. Namun Ratih tak punya uang untuk membeli obat, untuk membawanya ke Puskesmas di kota. Hatinya kini cemas secemas-cemasnya.

“Aku harus mencari suamiku, ia harus tahu keadaan anaknya. Meski mungkin ia juga sedang tak punya uang, tapi aku percaya ia pasti bisa mengusahan solusinya. Yang jelas, ia harus tahu dulu bagaimana keadaan putrinya.”

Sejauh mata memandang hanyalah gelap. Ratih membulatkan tekad menjemput suaminya. Ia bingung harus kemana melangkahkan kaki, mencari suaminya di malam hujan begini, namun setidaknya dari pos ronda ia akan mengawali. Anaknya telah tertidur, mungkin kelelahan menangis, mungkin demam telah memberatkan matanya hingga ia lekas tertidur. Wajah anak itu pulas dan damai, namun ia terlihat malang.

Wanita itu keluar seorang diri. Tanpa payung. Hujan mencucuri rambutnya basah. Hujan mencucuri wajahnya basah. Ia berharap segera bertemu dengan suaminya. Tiba-tiba ia teringat keluarganya, ia teringat akan Ayah dan Ibu. Lalu muncul pikiran-pikiran liar, muncullah perkataan-perkataan, “pria yang menjadi kekasihmu sekarang ini itu bukan pria yang baik, Nak. Dia itu suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk-mabuk juga. Pria itu bukan pria baik, Nak. Dia suka berjudi, kadang-kadang suka mabuk juga. Bukan pria baik, Nak! Bukan! ...”

Pikiran-pikiran itu menjadi sangat mengganggu. Entah kenapa kemudian Ratih merasa kepalanya terasa sangat menyut. Ia berjalan sempoyongan. Hujan, gelap, sepi, dingin … melintaslah wajah anaknya yang terlihat sangat malang. Tiba-tiba, Ratih merasa sangat ingin sekali membunuh suaminya. ***

(Sekayu, Mei – Oktober 2011) Herdoni Syafriansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar