Rabu, 14 September 2011

Deradedapak

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Di sini, senja yang kelabu berpendar menipis tersingkir berganti pekat aroma malam. Udara yang dingin terasa mencucuk menembus hingga sumsum tulang rusuk. Perlahan kilau mulai meremang.

Meski hari mulai gelap, namun samar-samar masih bisa kulihat hijau daun jagung yang bergoyang kuyup. Enam kaki sebelah utara dari posisiku duduk santai memandang tenang. Derik-derik jangkrik sepertinya akan memulai pesta di antara damai malam hutan ladang. Langit ungu yang membentang terlukis cerah setelah sore hujan tumpah puas di daerah ini. Lampu duduk kami dinyalakan. Nyala apinya bergoyang terhembus angin. Uwak Anangku masuk ke dalam pondok. Ia selesai mandi di tepian, dari sebuah sungai kecil belakang gubuk kami.

Sekarang ini aku tengah berlibur, tepatnya mencoba suasana baru. Kepenatan kuliah telah berakhir. Teman-teman mengajak ke Palembang, tidak aku ikuti. Aku lebih menginginkan nuansa kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan (tidak kukatakan). Kurasa suasana seperti itu lebih cocok untuk kunikmati sekarang.

Aku memang sudah tidak terlalu berlebihan lagi dalam perkara pergi jalan-jalan. Apalagi ke tempat yang tidak baru. Kalau nanti ada yang mau mengajak pergi ke sebuah kota, aku pengennya keluar provinsi. Tetapi, aku masih seorang pelajar yang belum mapan. Tentu aku tak punya banyak uang, serta juga tak punya tujuan tepat tempat yang bermanfaat. Kalau bisa, bila nanti pergi aku ingin dapat bertemu dengan seluruh –kalau bisa- sastrawan-sastrawan yang hebat.

Bilakah ada jodoh dari Tuhan, aku ingin bisa ikut Temu Sastrawan Indonesia. Sebab keadaan itulah maka libur kali ini aku memutuskan untuk sekedar bersantai ke rumah Uwak, Desa Sindu. Desa tempat Uwakku ini adalah daerah penghasil karet. Seluruh penduduk di sini menyambung hidupnya dengan menyadap karet dan berladang.

Tempat ini, Desa Sindu adalah wilayah yang masih berupa desa swadaya. Jalanan transportasinya masih berupa tanah merah dan rumah penduduk yang ada saling berjauhan, jarak terdekat mungkin sekitar 500 meter. Setiap satu rumah, dikelilingi oleh tanaman karet atau tanaman tani ataupun tanaman kebun. Sehingga, daerah ini akhirnya masih berupa sebuah hutan yang sangat luas. Hutan luas yang alamnya mengalirkan kedamaian, ketenteraman, dan ketenangan.

Malam terus berjalan. Udara di sini begitu dingin. Bintang di langit satu-satu mulai muncul. Bintang kecil kedip-kedip. Paling benderang bintang utara ( bintang itu tak bergerak. Bergeming. Konstan. Semakin menyala…), aku masih duduk di teras depan memandang hamparan langit.

Di dalam pondok tak ada teve, tak ada lampu listrik, tak ada listrik, sebab di sini memang tak ada listrik… damai nuansa malam membuatku merasakan kesejukan hati.
Udara yang mengalir begitu tenang. Kalau di Sekayu, terkadang malam-malam begini, rumah-rumah mengeluarkan lantunan aneka musik. Sebelah kiri remik, kanan dangdut, di sana tembang lawas, di sini karaokean. “Ayo Bik, keong racun… Sikat…!!!”

Uwak menyuruhku masuk ke dalam. Aku menatap Uwak dengan lembut.

“Masih mau di luar, Uwak,” kataku, “biar menikmati malam”.

Tapi Uwak tak acuh, ia bersikeras agar aku harus masuk. Aku tersenyum, tak punya pilihan. Kuayunkan langkah ke dalam pondok. Tidak marah, tidak kesal, biasa saja. Lampu bergoyang meremang-remang. Bayangan pada dinding turut bergoyang. Di dalam pondok kami, Uwak Ine (sebutan kami untuk wanita istrinya Uwak Anang) rupanya sudah menghidangkan kopi panas dan singkong rebus. (Sesungguhnya aku tidaklah suka singkong, tapi aku sangat suka kopi).

Aku tersenyum menatap Uwak Ine. Jadi, ini toh pikirku alasan kenapa aku disuruh masuk? Kami duduk ala kadarnya menghampar di lantai. Uap harum mengepul saat aku mendaraskan air kopi ke dalam gelas. Gelasku terisi hingga kopinya hampir sejajar di bibir gelas.

Meski tak suka, tetap kucoba singkong itu. Kata Ibu, “kalau orang memberi harus hargai.”

Di tengah hangatnya kebersamaan kami, Uwak pun memulai percakapan. Kemudian Uwak bercerita kepadaku mengapa aku tidak boleh berada di luar pondok jika malam. Begitu mendengar, “tidak boleh berada di luar pondok jika malam”, sekejap di pikiranku terlintas wajah Si Jagur, anak ayam jago peliharaan adikku. Lalu, dengan khidmat akupun mulai mendengarkan cerita Uwak.

Maka beginilah yang ia ceritakan padaku malam itu:

Di hutan ini ada seekor makhluk yang mengerikan. Makhluk itu memiliki tubuh yang sama seperti manusia. Hanya saja matanya merah tajam menyala-nyala, kulitnya kuning serupa telur dan ditumbuhi duri-duri lancip yang panjang, tubuhnya setinggi balita, dan makhluk itu memiliki telapak kaki yang terbalik: tumit di depan; jari-jari kaki di belakang. Masyarakat asli sekitar menyebutnya dengan nama Deradedapak atau sekedar Derapak.

Bila malam mulai menitis, ia akan merayau manusia untuk dikunyah. Sebab itulah adalah haram bagi masyarakat Desa Sindu untuk keluar pondok kala malam. Uwak memang belum pernah melihat langsung makhluk bernama Deradedapak ini. Tetapi, begitulah turun temurun rupa kisah yang diwariskan itu. Kisah yang diwariskan kepada anak dan kepada para pendatang.

Waktu Uwak kemari satu tahun lalu pun juga diceritakan begitu. Bukankah di mana bumi dipijak di situ langit di junjung, di mana kita berada di situ kita berhukum? Lebih baik bila kita menuruti ketimbang kita melanggar larangan adat?

Uwak menyeruput kopi panasnya. Aku hanya tersenyum mengangguk. “Apa iya?” pikirku. Aku tak memercayai cerita Uwak. Bagiku dongeng perihal hantu itu tak pernah nyata. Sejak dahulu, orang-orang melayu memang terkenal ahli mendongeng.

Dahulu, waktu kecil, ibuku juga sering bercerita perihal serupa. Ia selalu bercerita padaku bermacam-macam kisah makhluk seperti— kisah hantu terang bulan, hantu gelap balam, hantu wewe magrib, hantu kemang, hantu kung, dan macam-macam kisah lainnya. Aku percaya waktu itu, tapi tidak untuk kini. Aku telah dewasa, juga mengenyam pendidikan sekolah.

Adanya jin aku percaya, tapi tak ada penjelasan ilmiah untuk semua cerita hantu tersebut. (Melainkan demi kepentingan orang tua dalam mendidik anak?). Deradedapak? Akh, itu tidaklah lebih dari hanya sekedar cerita yang diwariskan oleh orang-orang dulu, agar anaknya senantiasa berada di dalam rumah ketika gelap malam. Mungkin supaya terhindar dari bahaya hewan buas sekitar hutan. Ya, lebih baik kita pura-pura bodoh saja.

Malam merangkak perlahan. Derik jejangkrik semakin ramai berlomba-lomba. Laron-laron yang mati di sekitar temaram lampu pun semakin menumpuk. Aku merasa kantuk dan Uwak pun merasa kantuk. (Tak ada hal yang bisa dilakukan di tempat yang tak ada listrik—suasana hari yang malam—serta sempurna tidak boleh keluar pondok, kecuali tidur). Uwak Ine telah tidur, Uwak beranjak masuk ke bilik kamarnya. Dan aku pun ke kamarku.

Aku berbaring menggenggam ponsel. Mengutak-atik pilihan menunya. Biasanya saat di rumah, sebelum tidur aku selalu menyempatkan diri browsing situs-situs cerpen untuk mencari tambahan bacaan. Sekedar karena hobi dan menambah-nambah ilmu. Dan beberapa ruang bacaan yang beruntung karena sering mendapat kunjunganku, ialah: Tukang Kliping, Sriti.com, Lakonhidup. (Ya, ‘mereka bertiga’ sangat beruntung karena bisa mendapat kunjungan dari seorang calon penulis besar seperti aku).

Makin lama badan dan mataku terasa makin lelah. Tanpa listrik dan jaringan selular aku bisa apa? Ponsel kembali kusimpan pada saku celana kanan. Kantuk pelan-pelan mulai merayapi wajahku. Aku membebaskan kantuk, menguap…

Baru saja hendak lelap aku teringat sebuah buku kumpulan cerpen di dalam tas. Buku ini sebenarnya telah khatam akubaca, namun aku tak biasa tidur se ‘sore’ ini. Jam digital pada ponselku tadi, kalau aku tak salah ingat masih menunjukan angka 20.22 WIB.

Teringat akan buku itu membuat kantuk yang tadi menggelayut di kepalaku kini mendadak sirna. Bulan Celurit Api, sebuah kumcer tunggal kedua dari seorang cerpenis Sumsel bernama Benny Arnas. (Sebelum aku berangkat ke sini siang tadi, sebenarnya aku juga ingin membawa sebuah buku kumpulan sajak Eko Putra: Aku Serigala yang Merdeka Karena Cinta. Namun entah mengapa aku terlupa, aku merasa buku itu telah kumasukan ke dalam tas, namun ternyata sekarang tak ada).

Aku mengambil Bulan Celurit Api dan kembali telentang seperti tadi. Mengulang kembali membaca lembaran-lembaran cerpen dalam bukunya, bedanya sekarang aku ingin belajar untuk menganalisis karakter suatu tokoh yang ada dalam tiap-tiap cerita-cerita tersebut.

Menurutku: dengan menganalisis karakter suatu tokoh dalam suatu cerita fiksi, kita dapat belajar memahami karakter manusia secara tidak langsung, setidaknya untuk sekedar pembelajaranku yang masih tertatih-tatih dalam menulis ini. (Pendapat pertama itu aku kutip dari sebuah bacaan yang kemudian aku lupa entah di mana membacanya).

03.05
Angka penunjuk waktu yang tertera di ponselku. Aku mengucek-ngucek mataku dengan malas. Bulan Celurit Api tergeletak di samping lenganku. Tadi sepertinya aku tertidur, entah jam berapa. Aku merasa harus membuang sebagian air dalam tubuhku. Kata dokter aku mengidap nocturia, yaitu sebuah kondisi di mana penderitanya sering terbangun dari tidur untuk buang air kecil di malam hari. Aku ingin membuka pintu belakang dan kencing di luar, namun belum sempat aku menarik kunci pintu mendadak aku ingat akan cerita Uwak sebelum tidur tadi.

Tengkukku terasa merinding. Kucoba mengintip dahulu dari bilik dinding. Ada temaram yang agak terang sebab hari telah menjelang pagi. Pohon jambu klutuk yang samar. Kunang-kunang di kejauhan. Dan… tak dapat kupercaya apa yang kulihat. Jantungku berdegup kencang. Mendadak tubuhku terasa dingin. Nyaliku menciut. Kucari celah ruang di lantai, buru-buru kencing dalam ketakutan. Aku kembali berbaring berniat tidur, akan tetapi, kepanikan melebihi niatku.

***
Paginya aku melihat jejak langkah. Aku turun melalui dapur menyelidiki. Sebuah tapak yang seperti bermuara dari sungai di belakang pondok, lalu langkahnya menuju ke arah pondok, seolah berputar mengitari pondok, lalu menghilang ke arah utara kebun jagung Uwak. Aku tercenung memikirkan hal ini. Kesimpulanpun di dapat: hari itu juga aku pamit pulang ke Sekayu. (Rencanaku menginap di tempat Uwak awalnya empat hari).

Tak ada lagi malam-malam berikutnya di tempat Uwak. Ketika aku pamit dan menceritakan hal itu, kedua uwakku hanya tersenyum dan berkata kompak: menginaplah kembali di lain waktu. Aku pulang naik motorku. Jalanan tak diaspal penuh batu. Dalam hati aku hanya tertawa, dalam takut aku hanya tertawa, sungguh cerita itu...***


( Sekayu, Maret - April 2011 ) Herdoni Syafriansyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar