Berita Pagi Minggu, 15 Mei 2011
PESTA PASTI BERAKHIR
Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?
Seminggu setelah ini aku tak akan lagi kemari. Tak akan lagi aku berdiri kukuh menghadap Sang Saka Merah Putih seperti biasanya senin pagi. Tak akan lagi kupingku mendengar pidato kepala sekolah yang menyala berapi-api. Tak akan lagi mataku memandangi kemilap rambutnya yang hitam dielus sinar matahari. Tak akan lagi aku menatap bola matanya yang berbinar penuh semangat emosi. Tak akan lagi diriku kembali ke dalam kelas ini.
Aku sungguh sangat menyukai kelas ini. Ruangan ini. Bangku yang aku duduki ini.
Indah hias bunga-bunga di atas meja guru. Tumbuhan air menghijau pada empat sudut kelasku. Lantai keramik yang masih baru. Meja-meja yang juga masih baru. Miniatur kayu burung garuda yang gagah. Photo pasangan presiden pria memakai kopiah dengan senyum mengepulkan uap bahagia…
Kalau nanti aku memang takkan kembali lagi kemari, maka selamat tinggal semuanya.
Selamat tinggal kotornya papan tulisku yang belum di hapus kala pagi. Selamat tinggal butiran halus debu di laci mejaku yang sunyi. Selamat tinggal kisah kaca kelas pecah. Selamat tinggal gaduhnya udara kelasku kala pelajaran kosong. Selamat tinggal wajah kesal guru mata pelajaran akuntansiku. Selamat tinggal wajah kesal guru matematikaku, guru yang memukul meja jika marah lalu menyembunyikan sakit di telapak tangannya. Selamat tinggal wajah santai guru pendidikan kewarganegaraanku, guru yang kerjanya hanya menyuruh kami mencatat lalu berlalu pergi ke ruang guru. Selamat tinggal semua…
Oh Tuhan,
Selamat tinggal juga guru favoritku Pak Afsya, guru mata pelajaran agama yang mempunyai kemampuan menggambar jin dengan mata batinnya. Seorang guru yang selalu memberikan nasehat-nasehat teduh yang dapat menentramkan hatiku.
***
Na Na Na…
Waktu ini terasa demikian singkat. Perputaran tiga ratus enam puluh derajatnya pun begitu cepat. Napas ini mengalir semakin berat. Arteriku serasa tersumbat. Malam berlalu dan pagi telah kembali bagai kilat. Menggeliat. Sangat cepat. Semua ini sungguh sangat cepat. Tepian suka masa remajaku semakin dekat. Bukan tepian permulaan, namun tepian perpisahan. Dekat. Makin dekat namun lajunya tak dapat aku cegat. Kini aku makin terjerat, terikat dalam takdir yang tercatat atas apa yang telah aku perbuat.
Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?
Apapun pilihannya kalaulah ingin jujur sungguh aku sungguh belum siap. Belum siap atas segala yang akan berubah nanti. Belum siap bila harus bangun pagi-pagi. Belum siap bila harus tidur larut malam. Pagi-pagi menanak nasi —membuat kopi, sendiri. Malam-malam melayani dia, suami. Belum siap mengurusi bayi. Belum siap melepas hobiku jalan-jalan. Duduk di teras menatap lucu rupa-rupa awan. Sore-sore mengelilingi bundaran. Siang-siang pulang sekolah makan model, bakso, tekwan bersama kawan-kawan.
Oh Tuhan…!!
Semua kenangan ini akan pergi. Hanya tinggal menghitung hari. Di alam mimpi pun mungkin tak akan aku jumpai lagi. Menyesal betapa menyesal aku kini. Hidup tak bisa membawa diri. Terlampau nafsu akan materi. Hingga kini aku merugi. Maaf Ayah-Ibu, kepada kalian aku pahatkan permohonan maaf !! Bukan salah kalian, bukan, bila aku seperti ini. Akh… coba aku menjadi papan tulis itu. Papan tulis yang beku serupa batu. Aku tak perlu merasa keras dan kejamnya hidup ketika masalah datang membelenggu.
Sunguh teramat sungguh aku masih ingin bersantai. Aku masih ingin bersantai membantu ibu di dapur. Aku masih ingin bersantai main boneka di kasur. Aku masih ingin bersantai bersama kawan-kawan membeli baju tidur, membeli baju retur, pakaian dalam front clousure. Aku masih ingin…
Satu bulan lagi!! Ya… sekitar waktu itulah aku akan menikah. Tepat katanya di paksa menikah oleh lelaki yang menjadi kekasihku kini. Lelaki yang sepuluh tahun umurnya lebih tua dari aku.
Mengapa?!
Pernikahanku, bukan musabab aku tak lagi dikunjungi oleh tamu bulananku yang terkadang hadir melilit perutku, dismenorea. Bukan pula perihal kisah barter orangtua yang terlilit hutang hingga anak perawannya menjadi pelunasan, atau karena ayah kekasihku tengah berdiri menanti maut di seberang ajal hingga beliau berpesan ingin melihat anak lakinya segera menikah, bukan. Oh, mungkin karena... ?! Tidak bukan pula itu!!
Andai seandainya dahulu aku tidak terlalu mengejar kesenangan. Berpacaran dengan seorang lelaki yang hampir kepala tiga sedang aku masih seorang gadis kelas dua SMA.
Delapan bulan lalu, tepatnya sore sabtu tanggal 14 April aku mengenal lelaki itu. Berdasarkan perantara kawan dari kawanku. Ah… si Brengsek itu pandai sekali bermanis-manis memikatku. Mengumbar dan memberikan semua kebutuhanku dengan kata peduli. Cih, anggun sekali ia bertingkah. Seolah aku paling berharga. Hingga aku terlena lupa diri. Hingga tidak pernah sempat aku sadari. Bahwa itu adalah hukum kekekalan energi. Oh, tidak… tentu saja bukan itu!! Ia telah menipuku, ia telah memperdayaku atas nama cintanya. Sedang aku dan dia: cinta?
Petang minggu dua pekan yang lalu lelaki itu menemui ibuku. Mengeluarkan segala macam daftar pengeluarannya selama berpacaran denganku. Uang habis makan bakso sekian rupiah, nasi goreng sekian rupiah, minum es, jus, susu, kiranti sekian rupiah, beli lingerie sekian rupiah, buku sekolah sekian rupiah, beli bensin sekian rupiah, main game di pusat perbelanjaan, beli kosmetik, uang habis...
Edan… kupingku yang bermasalah atau aku yang salah dengar? Dia yang menawarkan semua zona nyaman itu padaku: ambillah semua ini pakailah semua itu, apa yang aku miliki ini juga adalah milikmu dan tentu saja akupun tak akan menolaknya. Sekarang, ia begini, memaksaku untuk segera menikah seraya mengancam kami (aku dan Ibu) bila menolak maka kami harus mengganti semua biaya pengeluarannya kala berpacaran denganku.
Apa tidak gila?! Beginilah bila hidup menjadi orang susah. Beginilah bila hidup menjadi wanita. Beginilah bila hidup dengan niat yang tak baik. Maaf Ayah…
Dan yang lebih membuatku sungguh sangat kesal kepada lelaki itu adalah ketika ia menjumpai Ibu dan menyanggah permintaannya. Aku baru saja pulang sekolah kala itu. Siang itu mereka banyak berbincang namun yang paling nyata aku ingat adalah ketika Ibu berkata: tak bisakah Anak tunggu lima bulan lagi, biar Putri selesaikan dahulu sekolahnya!! Akh, Ibu!! Tamat sekolah atau tidak, itu sama saja. Wanita itu kerjanya hanya di dapur—sumur—kasur.
Ibu hanya bisa merenggut bersedih. Aku menangis menguping di balik pintu.
Tak mengertikah ia kalau aku juga punya mimpi. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin berjuang bersama kawan-kawan saat ujian nasional. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin menikmati riang rasa kelulusan. Tak mengertikah ia kalau akupun juga ingin corat-coret baju, kemudian baju itu kusimpan untuk kujadikan kenang-kenangan. Tak mengertikah ia kalau aku juga ingin ketika anakku mendaftar sekolah nanti : pendidikan terakhir ibu adalah SMA (cukuplah saja itu setidaknya). Dan tak mengertikah ia bagaimana aku dan Ibu memikirkan pandangan dari para tetangga, teman-teman serta guru-guruku nanti menilai aku, memvonis ku atas pernikahan yang nantinya pasti akan terkesan mendadak ini.
Ya, setelah aku melakukan penyelidikan sesaat kepada teman-temannya, akupun mengerti. Aku peroleh jawaban rupanya ia takut kehilanganku. Ia takut kehilangan setelah apa yang tak pernah sungguh hati ia berikan kepadaku. Ia inginkan tumbal ganti.
Oh Tuhan… sekiranya aku bisa memperbaiki diri. Sekiranya aku bisa mundur melawan waktu. Aku ingin hidup biasa-biasa saja. Dengan pakaian yang biasa. Dandanan yang biasa. Pergaulan yang biasa. Kesenangan yang biasa. Gadis yang biasa-biasa saja. Mungkin itu akan bertentangan dengan naluri hidupku, namun setidaknya aku tidak harus kehilangan hidupku.
***
Na Na Na…
Andai seandainya setelah Ayah meninggal aku mengamalkan pesan terakhirnya, pesan sebelum dirinya terbang ke langit. Mungkin, sekarang dan nanti aku masih tersenyum bahagia melihat kerlap-kerlip hidup ini. Mungkin aku tidak akan segelisah ini. Mungkin nanti aku masih bisa melihat kelucuan teman-temanku. Melihat anak laki-laki: Adit, Bogek, Chandra, Dapi, Dedi, Faizin, Fauzan, Fauzi, Hendra, Leo boy, Rizki, Yuda, Yupika, Zul, atau juga yang lain sembunyi di kolong meja paling belakang kala istirahat sekolah diam-diam merokok, memonyongkan bibir mereka yang berwarna ungu untuk membuat huruf: O.
Melihat kekesalan guru kala menagih uang buku kepada Doni Akazu: Hei… Akazu!! Kapan kamu akan bayar uang bukunya? emm… mungkin besok Pak Guru kalau tidak ada halangan. Besoknya, ya tentu saja Dia kembali mengulang jawaban, “mungkin besok Pak Guru kalau tidak ada halangan…”
Melihat kecentilan F. Asmi Kandji kala guru bilang punya anak lelaki: “Bu, anaknya uda punya pacar belum? Aku mau lho jadi pacar Anak Ibu.”
Melihat Somad yang tidak pernah mencatat (kecuali Pendidikan Kewarganegaraan), namun selalu bertanya seolah mengerti. Entah apakah anak itu benar-benar memperhatikan pelajaran atau bertanya hanya sekedar topeng kamuflase.
Sekarang aku melihat, aku merasa benar kata Ayah dahulu: “Nak, jadilah gadis yang baik yang punya prinsip hidup. Jangan berlebihan dalam mengejar kesenangan karena sesungguhnya setiap pesta itu cepat atau lama pasti akan berakhir seperti kata pepatahnya. Tuhan telah mengatur hidup kita ini dengan adil dan bijaksana. Hindarkanlah dirimu dari perilaku menyusahkan orang lain agar dikasihi Tuhan, agar tidak turut mendapat susah.”
Apa perbedaan antara kebetulan dan takdir?
“Maaf Ayah, maafkan anak gadismu yang tak pandai berbakti ini. Oh Tuhan… Aku sungguh tak mengerti apakah ini hanya kebetulan ataukah ini memang takdirmu.”
( Sekayu, Mei-Juni 2010 )
Dikait-katakan dengan : Herdoni Syafriansyah
Minggu, 15 Mei 2011
Senin, 31 Januari 2011
Berita Pagi, halaman Gesit -- 30 Januari 2011
Andai Kasih Mereka Mampu Kau Terjemahkan
Sebegitu dalamkah ia membenciku. Tidak adakah niatnya untuk sekilas saja melihatku. Salahkah bila aku rahasiakan semua perihal itu. Pandangan tua ini semakin waktu semakin lamur dan tubuh lemah ini pun semakin renta. Mungkinkah kita bisa bersama. Mungkin punya waktu untuk bercerita. Pohon di pekarangan ini telah begitu besar, pohon yang kutanam seiring cinta yang kutanam atas satu tahun kelahirannya dahulu. Dari langit hujan pagi turun merintik, rebah dimuka bumi serta dedaunan. Silir semilir halimun menulusup pagi. Orang-orang berlalu-lalang pergi ke surau. Oh, anak itu…
***
Pulang sekolah. Ardi menggerutu, lagi-lagi tidak ada lauk di rumah. Tas dilemparkan ke kursi, sepatu tak di lepas. Mau atau tak mau percuma saja, tak punya pilihan. Lapar telah memanggil sedari beberapa jam yang lalu. Nasi kecap atau nasi garam air : menu favorit keluarga terlanjur miskin. Demi hidup, Ardi terpaksa harus makan. Enak tidak enak ya ditelan. “Begini lagi!! Begini lagi…!!” Ardi menggerutu, “Miskin!! Memang malang nasibku”.
Ardi masuk dan membanting pintu kamar, nasi tak dihabiskan. Ayahnya pilu menatap kelakuan putranya. Setiap hari semenjak masuk sekolah, kelakuan anak satu-satunya itu pelan-pelan berubah: kasar. Lelaki paruh baya itu ingin menangis, namun tak jadi dan kemudian ia malah tersenyum. Pandangannya tertuju pada sebuah figura di atas meja, di samping radio hitam petak ketinggalan jaman. Andai saja istrinya masih hidup, apa yang akan ia katakan. Apakah ia selalu bahagia tinggal disana?
Ardi kembali keluar, lelaki itu tersenyum menatap putranya. Ia harap anaknya itu akan kembali menghabiskan sisa makanannya. Ternyata salah, Ardi hanya melempar sepatu ke arah pintu. Oh, anak itu…
***
Ardi kesal. Ia sangat membenci keadaan diri yang menurutnya begitu miskin itu. Ardi ingin hidup kaya, berpunya. Menyenangkan pikirnya bila ia bisa punya segala. Ardi membenci keadaannya, Ardi membenci ayahnya.
“Oh Tuhan!! Mengapa aku harus terlahir dari keluarga yang miskin. Mengapa aku harus punya ayah yang miskin? Mengapa aku tidak menjadi anak dari kepala sekolahku saja: Pak Somad ya Tuhannnnn…?!
Ardi berdoa, mengadu atas kemiskinan hidupnya. Ia kini membenci ayah yang menurutnya adalah penyebab dari derita lara yang ia rasa. Sebenarnya Ardi tidak pernah sungguh-sungguh membenci ayahnya itu. Bilakah ayahnya telah masuk ke dalam kamar, pelan-pelan Ardi sering membuka pintu kamar itu—memandangi lelaki itu secara diam-diam. Bilakah sudah begini hati kecil Ardi akan menangis dan ia ingin sekali mengucapkan kata maaf kepada ayahnya. Namun, kokohnya ego yang bertunas itu selalu mengalahkan secercah rasa cinta Ardi.
Dari celah pintu sering Ardi memperhatikan ayahnya bilakah ia berada di dalam kamar. Sering ia lihat lelaki itu larut dalam tangis sambil menggendong dan mengelus-elus lembut sebuah kotak kayu. Lelaki itu memperlakukan kotak kayu itu dengan sangat istemewa. Mengapa? Ardi tidak tahu dan tidak pernah ingin mengetahuinya lagi. Dahulu, saat ia masih cukup dekat dengan ayahnya—ia tidak pernah mendapatkan ijin. Jangankan menyentuh melihat isinya, sekedar sepintas saja menatap pun maka ayahnya akan melarang.
Dua tahun lulus SMA, Ardi berusia dua puluh. Sangat bosan ia hidup susah. Ardi berontak. Ingin sukses, ingin kaya, pergi ke kota. Dengan seluruh kepedihan hati, dengan ribuan peluru sungkawa yang menikam hati terpaksa dia relakan Ardi pergi.
“Semoga kelak kau temukan hidup yang kau dambakan anakku,” serak pelan suara lelaki itu merestui putranya yang pergi memunggunginya. Ia terus memandangi sosok itu hingga akhirnya lenyap tertelan tikungan jalan. Sosok yang pergi tanpa sedikit pun menoleh kembali padanya.
Sendu angin yang bertiup masih saja pemalu. Air yang mengalir masih saja begitu. Mentari tetap datang dan mentari tetap pergi. Semua tetap terjadi dan akan tetap terjadi, satu minggu pun tergenapi. Uang Ardi semakin tipis. Pikiran Ardi semakin kacau, semakin suntuk. Ia beranjak dalam gigil menuju pikuknya keramaian pusat kota kala malam. Separuh perjalanan terdengar suara keributan di depan, seperti pertengkaran. Tak pasti, suasana gelap dan agak jauh. Ardi mendekat, merunduk, mengendap. Rupanya di sana ada seorang wanita kaya, wanita yang membawa mobil tengah dirampok oleh dua orang begundal. Dirampok apa? Harta. Jiwa. Raga. Semuanya bisa mungkin kalau hanya dibiarkan saja. Ardi tak bisa berdiam diri. Naluri membuatnya berani…
Mereka menikah. Kepada istri dan mertua Ardi mengaku sebatang kara, “saya yatim-piatu,” kata Ardi. Ia malu mengakui. Malu karena ayahnya terlanjur miskin. Mereka tak peduli Ardi sebatang kara. Ratih terlebih lagi. Bagi mereka, bagi Ratih terkhususnya Ardi adalah pahlawan. Andai dirinya tak muncul malam itu mungkin tak akan ada lagi kisah hidupku, Ratih membathin.
Ardi tak mau kembali. Ia sangat menikmati hidup barunya. Kekayaan; mimpinya. Satu tahun Ardi tak pulang awalnya hati terasa biasa. Sewindu tak pernah pulang, rindu perlahan menembus tulang. Ardi tak pernah pulang-pulang. Ardi rindu lelaki itu. Entah bagaimana jalannya suatu ketika saat Ardi bersama dengan anak dan istrinya berjalan di pusat kota, melintasi deretan butik dijalanan Machu Picchu, Ardi berpapasan dengan ayahnya. Mereka saling tatap, lekat-lekat. Sama-sama terbelit rindu; teriris pilu perpisahan. Lelaki tua itu mendekat. Anak-anak Ardi ketakutan, mendekap, berlindung pada ibunya, “Ma… Ma… takut!! Ada gembel... ,” Ardi bingung, spontan membentengi anaknya. Ardi membentak, “ Hey!! Pergi pengemis…!!”
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibu yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapih dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah (sesungguhnya) kalian kembali.”
Ardi tertegun mendengarkan potongan lantunan suci Alqur’an surah Luqman ayat 14 yang dibacakan oleh Ustad Khaidir beserta artinya tersebut. Kata ayah, ibunya meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Kalau begitu, beliaulah yang selama ini pasti tertatih-tatih merawat dan menyapih dirinya. Sepulang tarawih bersama keluarga, potongan kalimat itu terus menyergap pikiran Ardi. Rindu yang terpendam itu kini makin bergelolak. Lima tahun lalu Ardi berjumpa dengan lelaki itu dan ia terpaksa membentak, mengusirnya karena malu.
Namun sejujurnya setelah ia membentak itu, hatinya mendadak dingin bagai tersiram bulir-bulir air es yang jernih dan pilu. Kini buah hati Ardi telah berumur belasan tahun. Ardi sudah tak sanggup lagi. Biar bagaimana pun, sebetapa pun bencinya Ardi kepada lelaki itu ia tetap adalah ayahnya. Ardi merasa rindu: orang tua, kampung halaman, saat-saat berlebaran.
Ardi tak lelap tidur. Uring-uringan. Ia terus tercenung.
“Aku akan pulang tahun ini, akan kujumpai ayah. Entah bagaimana keadaan dirinya sekarang. Semoga dalam keadaan baik. Aku ingin berbakti, ingin minta maaf!!” Ardi berniat.
Dua hari sebelum Idul Fitri. Ardi makin gelisah, tak kuat lagi. Ardi mengutarakan maksud hati kepada istri.
“Ma… besok Papa mau….
Ardi terpaksa harus berbohong, demi menutupi kebohongan jati dirinya dahulu.
Senja keemasan terlukis manis dari tatapan sendu di dalam kereta. Hanya senja dan cakrawala yang kosong, tak ada kepak sayap di sana. Burung-burung sepertinya lebih senang di dalam sangkar. Ardi kembali ke desa. Pelan-pelan semua nampak berubah. Pohon Waru yang dahulu penuh tumbuh dimana-mana, kini hanya sesekali Ardi temui. Rumah-rumah penduduk juga sudah mulai rapat. Melangkah satu kilometer lagi Ardi akan tiba di rumahnya. Menapaki tanah coklat yang basah seperti habis diguyuri hujan pagi. Melewati barisan pohon pisang. Melewati areal pekuburan, “Hmm, telah semakin banyak saja shaf-shaf nisan rona kelabu di sini” gumam Ardi.
Dari arah Surau terlihat rombongan orang-orang berlalu-lalang untuk pulang. Memakai kopiah yang terlihat baru, memakai jilbab yang terlihat baru, baju yang terlihat baru, sendal yang terlihat baru, entah apakah hatinya juga ikut menjadi baru: fitri.
Langit menjadi gelap oleh mendung yang menyimpan kedukaan. Ardi mempercepat langkah, takut kehujanan. Semakin dekat. Dari kejauhan, sayup-sayup Ardi melihat rumahnya. Pohon di pekarangan juga pastinya. Ardi tersenyum membayangkan pelukan hangat dari ayah.
“Setelah ini akan aku belikan ayah pakaian yang bagus. Akan aku carikan seorang perawat untuk menjaga ayah. Akan aku pesankan ayah makanan terbaik. Akan aku perbaiki rumahnya. Akan aku urusi ayah meskipun nanti ia tidak tinggal bersamaku. Aku akan berusaha berbakti walau sebenarnya karena dialah dua puluh tahun dahulu hidupku melarat...”
Ardi terus-terusan tersenyum membayangkan pertemuan yang mungkin terasa indah dengan ayahnya nanti. Ardi sudah di teras, menyapa daun pintu. Diam-diam, untuk kejutan.
Udara yang dingin namun tubuhnya terasa panas, keheningan yang ganjil namun serasa sempurna. Absurd. Tak ada sesiapa di ruang depan. Kosong. Ardi celingukan, melangkah pelan ke kamar ayah. Pintu terbuka separuh. Ardi langsung masuk, menatap…
Badan Ardi berguncang hebat. Lemah. Pijakannya hilang daya. Ardi meraung bersimpuh meratap. Lelaki itu telah kaku, membeku. Ardi terlambat. Orang yang sangat dirindu, yang sangat ingin ia temui itu telah tiada. Kawan, teramat perih rasanya menanggung rindu kepada orang yang tak sampai. Ardi sangat sedih. Secarik kertas di tangan ayah. Tangis masih meleleh. Ardi meraihnya.
“Ardi, putraku kebanggaanku. Entah apakah pesan ini akan terbaca atau tidaknya olehmu. Sesungguhnya ada sebuah hal yang Ayah rahasiakan dari dirimu sejak dahulu. Dan kini di ujung gelap Ayah merasa sudah tak bisa lagi untuk terus menyimpan semua ini. Mengapa tak Ayah beritahukannya sejak dahulu? Itu karena engkau adalah darah dagingku dan aku menerimamu sebagai anakku apa adanya meski kita kehilangan segalanya.
Preeklampsia, suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya keracunan dalam kehamilan telah membuat aku, kita kehilangan ibumu. Wanita yang susah mati aku perjuangkan hidupnya. Ibumu teramat sangat menginginkan hadirmu—ia tidak lagi peduli dengan dirinya sendiri dan penyakitnya. Bahkan menjelang Malakul Maut tiba pun ia hanya bilang, “Lakukan apapun untuk hidup anak kita”. Untuk hidupmu, Nak, bukan dirinya. Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada keajaiban yang mampu kuciptakan. Benar-benar tak berguna. Hampir separuh harta kita telah habis untuk menyelamatkan ibumu. Namun segalanya sia-sia. Selang beberapa saat kau dilahirkan, ibumu berpulang kepada-Nya. Saat terlahir pun ternyata cobaan belum berakhir. Kau selalu sakit-sakitan, bobotmu sangat ringan, kau sangat kurus. Sesuai dengan permintaan ibumu apapun Ayah lakukan untuk hidupmu. Seluruh materi Ayah gelontorkan demi sehatmu. Hingga harta kita habis, hingga semuanya habis. Namun semuanya juga tetap sia-sia. Benar-benar tak berguna.
Ayah bangkrut, perusahaan pailit. Linglung. Ayah membawamu kembali ke desa. Pasrah. Anehnya begitu tiba disini, kampung kita ini, penyakitmu tiba-tiba lenyap—pergi entah kemana. Anugerah dari Tuhan rasanya. Anakku, maafkan ayah yang tak bisa bahagiakan dan tak bisa banggakan dirimu. Engkau putraku, kebanggaanku, curahan kasihku. Semoga kau bisa bahagia dengan hidupmu, Nak. Semoga rahmat-Nya selalu tercurah padamu.”
Bulir tangis Ardi menetes pelan tak terasa. Kesal, sesal, panik, bingung, sedih, bercampur aduk tak jelas rasa di benaknya. Ardi menatap sekitar. Kotak kayu. Ya, kotak kayu diatas lemari. Dengan sedikit menjulurkan tangan berhasil lah ia mengambil kotak kayu itu. Pelan-pelan Ardi membuka dan melihat lekat-lekat isinya. Beberapa lembar foto pasangan berpakaian mewah ala pengusaha yang mirip dengan wajah ayah—dan foto ibunya diruang depan, beberapa lembar surat pemberitahuan dokter mengenai diagnosa penyakit, dan kemerincing mainan bayi. Ardi terisak serak. Satu hal yang bertahun-tahun luput dari pengetahuannya, satu hal yang bertahun-tahun tidak pernah ia sadari: rasa kasih yang tak mampu ia baca.
Tanpa peduli lagi dengan apapun Ardi segera memeluk jasad ayahnya yang sudah membujur kaku dan dingin. Sendiri ia terisak sedu meratapi semua itu. Tangisan Ardi makin pilu bagaikan sebuah senandung lirih. Senandung yang bila semakin kau dengar akan semakin dalam dan pedih.***
Sekayu, Ramadhan 2010 / Herdoni Syafriansyah
Sebegitu dalamkah ia membenciku. Tidak adakah niatnya untuk sekilas saja melihatku. Salahkah bila aku rahasiakan semua perihal itu. Pandangan tua ini semakin waktu semakin lamur dan tubuh lemah ini pun semakin renta. Mungkinkah kita bisa bersama. Mungkin punya waktu untuk bercerita. Pohon di pekarangan ini telah begitu besar, pohon yang kutanam seiring cinta yang kutanam atas satu tahun kelahirannya dahulu. Dari langit hujan pagi turun merintik, rebah dimuka bumi serta dedaunan. Silir semilir halimun menulusup pagi. Orang-orang berlalu-lalang pergi ke surau. Oh, anak itu…
***
Pulang sekolah. Ardi menggerutu, lagi-lagi tidak ada lauk di rumah. Tas dilemparkan ke kursi, sepatu tak di lepas. Mau atau tak mau percuma saja, tak punya pilihan. Lapar telah memanggil sedari beberapa jam yang lalu. Nasi kecap atau nasi garam air : menu favorit keluarga terlanjur miskin. Demi hidup, Ardi terpaksa harus makan. Enak tidak enak ya ditelan. “Begini lagi!! Begini lagi…!!” Ardi menggerutu, “Miskin!! Memang malang nasibku”.
Ardi masuk dan membanting pintu kamar, nasi tak dihabiskan. Ayahnya pilu menatap kelakuan putranya. Setiap hari semenjak masuk sekolah, kelakuan anak satu-satunya itu pelan-pelan berubah: kasar. Lelaki paruh baya itu ingin menangis, namun tak jadi dan kemudian ia malah tersenyum. Pandangannya tertuju pada sebuah figura di atas meja, di samping radio hitam petak ketinggalan jaman. Andai saja istrinya masih hidup, apa yang akan ia katakan. Apakah ia selalu bahagia tinggal disana?
Ardi kembali keluar, lelaki itu tersenyum menatap putranya. Ia harap anaknya itu akan kembali menghabiskan sisa makanannya. Ternyata salah, Ardi hanya melempar sepatu ke arah pintu. Oh, anak itu…
***
Ardi kesal. Ia sangat membenci keadaan diri yang menurutnya begitu miskin itu. Ardi ingin hidup kaya, berpunya. Menyenangkan pikirnya bila ia bisa punya segala. Ardi membenci keadaannya, Ardi membenci ayahnya.
“Oh Tuhan!! Mengapa aku harus terlahir dari keluarga yang miskin. Mengapa aku harus punya ayah yang miskin? Mengapa aku tidak menjadi anak dari kepala sekolahku saja: Pak Somad ya Tuhannnnn…?!
Ardi berdoa, mengadu atas kemiskinan hidupnya. Ia kini membenci ayah yang menurutnya adalah penyebab dari derita lara yang ia rasa. Sebenarnya Ardi tidak pernah sungguh-sungguh membenci ayahnya itu. Bilakah ayahnya telah masuk ke dalam kamar, pelan-pelan Ardi sering membuka pintu kamar itu—memandangi lelaki itu secara diam-diam. Bilakah sudah begini hati kecil Ardi akan menangis dan ia ingin sekali mengucapkan kata maaf kepada ayahnya. Namun, kokohnya ego yang bertunas itu selalu mengalahkan secercah rasa cinta Ardi.
Dari celah pintu sering Ardi memperhatikan ayahnya bilakah ia berada di dalam kamar. Sering ia lihat lelaki itu larut dalam tangis sambil menggendong dan mengelus-elus lembut sebuah kotak kayu. Lelaki itu memperlakukan kotak kayu itu dengan sangat istemewa. Mengapa? Ardi tidak tahu dan tidak pernah ingin mengetahuinya lagi. Dahulu, saat ia masih cukup dekat dengan ayahnya—ia tidak pernah mendapatkan ijin. Jangankan menyentuh melihat isinya, sekedar sepintas saja menatap pun maka ayahnya akan melarang.
Dua tahun lulus SMA, Ardi berusia dua puluh. Sangat bosan ia hidup susah. Ardi berontak. Ingin sukses, ingin kaya, pergi ke kota. Dengan seluruh kepedihan hati, dengan ribuan peluru sungkawa yang menikam hati terpaksa dia relakan Ardi pergi.
“Semoga kelak kau temukan hidup yang kau dambakan anakku,” serak pelan suara lelaki itu merestui putranya yang pergi memunggunginya. Ia terus memandangi sosok itu hingga akhirnya lenyap tertelan tikungan jalan. Sosok yang pergi tanpa sedikit pun menoleh kembali padanya.
Sendu angin yang bertiup masih saja pemalu. Air yang mengalir masih saja begitu. Mentari tetap datang dan mentari tetap pergi. Semua tetap terjadi dan akan tetap terjadi, satu minggu pun tergenapi. Uang Ardi semakin tipis. Pikiran Ardi semakin kacau, semakin suntuk. Ia beranjak dalam gigil menuju pikuknya keramaian pusat kota kala malam. Separuh perjalanan terdengar suara keributan di depan, seperti pertengkaran. Tak pasti, suasana gelap dan agak jauh. Ardi mendekat, merunduk, mengendap. Rupanya di sana ada seorang wanita kaya, wanita yang membawa mobil tengah dirampok oleh dua orang begundal. Dirampok apa? Harta. Jiwa. Raga. Semuanya bisa mungkin kalau hanya dibiarkan saja. Ardi tak bisa berdiam diri. Naluri membuatnya berani…
Mereka menikah. Kepada istri dan mertua Ardi mengaku sebatang kara, “saya yatim-piatu,” kata Ardi. Ia malu mengakui. Malu karena ayahnya terlanjur miskin. Mereka tak peduli Ardi sebatang kara. Ratih terlebih lagi. Bagi mereka, bagi Ratih terkhususnya Ardi adalah pahlawan. Andai dirinya tak muncul malam itu mungkin tak akan ada lagi kisah hidupku, Ratih membathin.
Ardi tak mau kembali. Ia sangat menikmati hidup barunya. Kekayaan; mimpinya. Satu tahun Ardi tak pulang awalnya hati terasa biasa. Sewindu tak pernah pulang, rindu perlahan menembus tulang. Ardi tak pernah pulang-pulang. Ardi rindu lelaki itu. Entah bagaimana jalannya suatu ketika saat Ardi bersama dengan anak dan istrinya berjalan di pusat kota, melintasi deretan butik dijalanan Machu Picchu, Ardi berpapasan dengan ayahnya. Mereka saling tatap, lekat-lekat. Sama-sama terbelit rindu; teriris pilu perpisahan. Lelaki tua itu mendekat. Anak-anak Ardi ketakutan, mendekap, berlindung pada ibunya, “Ma… Ma… takut!! Ada gembel... ,” Ardi bingung, spontan membentengi anaknya. Ardi membentak, “ Hey!! Pergi pengemis…!!”
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibu yang telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapih dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah (sesungguhnya) kalian kembali.”
Ardi tertegun mendengarkan potongan lantunan suci Alqur’an surah Luqman ayat 14 yang dibacakan oleh Ustad Khaidir beserta artinya tersebut. Kata ayah, ibunya meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Kalau begitu, beliaulah yang selama ini pasti tertatih-tatih merawat dan menyapih dirinya. Sepulang tarawih bersama keluarga, potongan kalimat itu terus menyergap pikiran Ardi. Rindu yang terpendam itu kini makin bergelolak. Lima tahun lalu Ardi berjumpa dengan lelaki itu dan ia terpaksa membentak, mengusirnya karena malu.
Namun sejujurnya setelah ia membentak itu, hatinya mendadak dingin bagai tersiram bulir-bulir air es yang jernih dan pilu. Kini buah hati Ardi telah berumur belasan tahun. Ardi sudah tak sanggup lagi. Biar bagaimana pun, sebetapa pun bencinya Ardi kepada lelaki itu ia tetap adalah ayahnya. Ardi merasa rindu: orang tua, kampung halaman, saat-saat berlebaran.
Ardi tak lelap tidur. Uring-uringan. Ia terus tercenung.
“Aku akan pulang tahun ini, akan kujumpai ayah. Entah bagaimana keadaan dirinya sekarang. Semoga dalam keadaan baik. Aku ingin berbakti, ingin minta maaf!!” Ardi berniat.
Dua hari sebelum Idul Fitri. Ardi makin gelisah, tak kuat lagi. Ardi mengutarakan maksud hati kepada istri.
“Ma… besok Papa mau….
Ardi terpaksa harus berbohong, demi menutupi kebohongan jati dirinya dahulu.
Senja keemasan terlukis manis dari tatapan sendu di dalam kereta. Hanya senja dan cakrawala yang kosong, tak ada kepak sayap di sana. Burung-burung sepertinya lebih senang di dalam sangkar. Ardi kembali ke desa. Pelan-pelan semua nampak berubah. Pohon Waru yang dahulu penuh tumbuh dimana-mana, kini hanya sesekali Ardi temui. Rumah-rumah penduduk juga sudah mulai rapat. Melangkah satu kilometer lagi Ardi akan tiba di rumahnya. Menapaki tanah coklat yang basah seperti habis diguyuri hujan pagi. Melewati barisan pohon pisang. Melewati areal pekuburan, “Hmm, telah semakin banyak saja shaf-shaf nisan rona kelabu di sini” gumam Ardi.
Dari arah Surau terlihat rombongan orang-orang berlalu-lalang untuk pulang. Memakai kopiah yang terlihat baru, memakai jilbab yang terlihat baru, baju yang terlihat baru, sendal yang terlihat baru, entah apakah hatinya juga ikut menjadi baru: fitri.
Langit menjadi gelap oleh mendung yang menyimpan kedukaan. Ardi mempercepat langkah, takut kehujanan. Semakin dekat. Dari kejauhan, sayup-sayup Ardi melihat rumahnya. Pohon di pekarangan juga pastinya. Ardi tersenyum membayangkan pelukan hangat dari ayah.
“Setelah ini akan aku belikan ayah pakaian yang bagus. Akan aku carikan seorang perawat untuk menjaga ayah. Akan aku pesankan ayah makanan terbaik. Akan aku perbaiki rumahnya. Akan aku urusi ayah meskipun nanti ia tidak tinggal bersamaku. Aku akan berusaha berbakti walau sebenarnya karena dialah dua puluh tahun dahulu hidupku melarat...”
Ardi terus-terusan tersenyum membayangkan pertemuan yang mungkin terasa indah dengan ayahnya nanti. Ardi sudah di teras, menyapa daun pintu. Diam-diam, untuk kejutan.
Udara yang dingin namun tubuhnya terasa panas, keheningan yang ganjil namun serasa sempurna. Absurd. Tak ada sesiapa di ruang depan. Kosong. Ardi celingukan, melangkah pelan ke kamar ayah. Pintu terbuka separuh. Ardi langsung masuk, menatap…
Badan Ardi berguncang hebat. Lemah. Pijakannya hilang daya. Ardi meraung bersimpuh meratap. Lelaki itu telah kaku, membeku. Ardi terlambat. Orang yang sangat dirindu, yang sangat ingin ia temui itu telah tiada. Kawan, teramat perih rasanya menanggung rindu kepada orang yang tak sampai. Ardi sangat sedih. Secarik kertas di tangan ayah. Tangis masih meleleh. Ardi meraihnya.
“Ardi, putraku kebanggaanku. Entah apakah pesan ini akan terbaca atau tidaknya olehmu. Sesungguhnya ada sebuah hal yang Ayah rahasiakan dari dirimu sejak dahulu. Dan kini di ujung gelap Ayah merasa sudah tak bisa lagi untuk terus menyimpan semua ini. Mengapa tak Ayah beritahukannya sejak dahulu? Itu karena engkau adalah darah dagingku dan aku menerimamu sebagai anakku apa adanya meski kita kehilangan segalanya.
Preeklampsia, suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya keracunan dalam kehamilan telah membuat aku, kita kehilangan ibumu. Wanita yang susah mati aku perjuangkan hidupnya. Ibumu teramat sangat menginginkan hadirmu—ia tidak lagi peduli dengan dirinya sendiri dan penyakitnya. Bahkan menjelang Malakul Maut tiba pun ia hanya bilang, “Lakukan apapun untuk hidup anak kita”. Untuk hidupmu, Nak, bukan dirinya. Tak ada yang bisa kulakukan, tak ada keajaiban yang mampu kuciptakan. Benar-benar tak berguna. Hampir separuh harta kita telah habis untuk menyelamatkan ibumu. Namun segalanya sia-sia. Selang beberapa saat kau dilahirkan, ibumu berpulang kepada-Nya. Saat terlahir pun ternyata cobaan belum berakhir. Kau selalu sakit-sakitan, bobotmu sangat ringan, kau sangat kurus. Sesuai dengan permintaan ibumu apapun Ayah lakukan untuk hidupmu. Seluruh materi Ayah gelontorkan demi sehatmu. Hingga harta kita habis, hingga semuanya habis. Namun semuanya juga tetap sia-sia. Benar-benar tak berguna.
Ayah bangkrut, perusahaan pailit. Linglung. Ayah membawamu kembali ke desa. Pasrah. Anehnya begitu tiba disini, kampung kita ini, penyakitmu tiba-tiba lenyap—pergi entah kemana. Anugerah dari Tuhan rasanya. Anakku, maafkan ayah yang tak bisa bahagiakan dan tak bisa banggakan dirimu. Engkau putraku, kebanggaanku, curahan kasihku. Semoga kau bisa bahagia dengan hidupmu, Nak. Semoga rahmat-Nya selalu tercurah padamu.”
Bulir tangis Ardi menetes pelan tak terasa. Kesal, sesal, panik, bingung, sedih, bercampur aduk tak jelas rasa di benaknya. Ardi menatap sekitar. Kotak kayu. Ya, kotak kayu diatas lemari. Dengan sedikit menjulurkan tangan berhasil lah ia mengambil kotak kayu itu. Pelan-pelan Ardi membuka dan melihat lekat-lekat isinya. Beberapa lembar foto pasangan berpakaian mewah ala pengusaha yang mirip dengan wajah ayah—dan foto ibunya diruang depan, beberapa lembar surat pemberitahuan dokter mengenai diagnosa penyakit, dan kemerincing mainan bayi. Ardi terisak serak. Satu hal yang bertahun-tahun luput dari pengetahuannya, satu hal yang bertahun-tahun tidak pernah ia sadari: rasa kasih yang tak mampu ia baca.
Tanpa peduli lagi dengan apapun Ardi segera memeluk jasad ayahnya yang sudah membujur kaku dan dingin. Sendiri ia terisak sedu meratapi semua itu. Tangisan Ardi makin pilu bagaikan sebuah senandung lirih. Senandung yang bila semakin kau dengar akan semakin dalam dan pedih.***
Sekayu, Ramadhan 2010 / Herdoni Syafriansyah
Langganan:
Postingan (Atom)